Selasa, 26 Januari 2010

FROM SOUTH WITH LOVE (BAGIAN 1)

FROM SOUTH WITH LOVE



Garuda yang kutumpangi telah mendarat dengan mulus di Bandara Hasanuddin. Maka ketika akhirnya awak kabin mempersilakan kami untuk bersiap turun, serta merta aku berdiri dari dudukku dan mengambil ranselku dari laci di kabin pesawat ini.

Aku melangkah penuh semangat menuju tempat pengambilan bagasi, dan sepuluh menit kemudian aku telah menenteng koperku.

Kulangkahkan kakiku menuju ruang kedatangan. Mataku dengan sigap mengamati orang-orang yang ada di ruang kedatangan, mencari-cari orang yang telah berjanji akan menjemputku. Orang yang belum kukenal sama sekali, dan yang hanya kutahu wajahnya dari fotonya yang dikirimnya melalui MMS.

Dengan sedikit resah yang bergelora di dada, aku berdiri terpaku sejenak di ruang kedatangan ini. Untunglah tiba-tiba mataku menatap cowok berwajah persis di foto yang dikirim via MMS pagi tadi, yang membawa karton bertuliskan namaku. Segera saja aku menghampirinya.

“Anaknya Oom Prastowo, ya?” sapaku ramah pada seorang cowok yang membawa karton bertuliskan “ALDRIN” yang tak lain adalah namaku, di luar ruang kedatangan bandara ini.

“Aldrin?” cowok tampan itu membelalakkan matanya yang bagus sambil mengulurkan tangan padaku.

Aku mengangguk pasti.

“Seno, anak bungsu Oom Pras.” Cowok itu mengulurkan tangan kanannya.

Kami bersalaman akrab.

“Mana Oom dan Tante, Sen?”

“Mereka sedang rapat kepengurusan panitya acara perkawinan anak atasan papa, jadi aku yang menjemputmu.”

“Oh…” Aku mengangguk-angguk.

“Nggak apa-apa, kan?”

“Terima kasih ya, kamu sudah menjemputku!”

Seno tersenyum.

“Ayo ke mobil!” tanpa permisi tangan kanannya merebut koper di tanganku, lalu tangan kirinya menarikku, membawaku menuju tempat mobilnya diparkir. Senangnya hatiku karena kedatanganku telah disambut dengan akrab olehnya.

“Berapa hari rencana liburanmu di sini, Drin?” tanya Seno ketika sudah melarikan Hardtop-nya meninggalkan halaman bandara.

“Lima hari.”

“Tanggung amat? Seminggu saja, Drin. Banyak tempat menarik di sini, dan menurutku kalau hanya lima hari, kita jalan-jalan tapi diburu waktu, nggak santai!”

“Begitu, ya?” Aku mengangguk-angguk. “Tapi bukankah wisatanya cuma Tana Toraja saja?”

“Wow, enggak Drin. Di Makassar sini juga banyak tempat menarik kok, ada Bantimurung, ada Pulau Khayangan, ada Pantai Samalona. Belum lagi kalau kita ke Malino, ada air terjun di sana. Lagian jalan ke Tana Toraja saja, kalau kita berangkat pagi baru sampai sana malam hari. Otomatis kita nanti cari tempat menginap. Makanya lima hari tidak cukup, Nona! Kita ke Tana Toraja saja paling enggak dua atau tiga hari di sana. Apalagi sedang ada festifal budaya Toraja nih, Drin. Pokoknya kamu ke sini pada waktu yang sangat tepat waktu nih!”

“Well, kalau begitu bagaimana baiknya saja. Pokoknya aku lagi pengen happy selama liburan di sini nih!”

“Nah, begitu dong!” Seno mengacungkan jempol kirinya. “Eh..ngomong-ngomong memang kamu lagi sedih kenapa, Drin?”

“Biasa, putus sama cowokku!” Jawabku nyeplos begitu saja.

“Sudah tenang saja, pokoknya dijamin kamu happy di sini nanti. Kamu bisa punya teman baru juga, nanti aku kenalkan sama teman-teman kuliahku, mereka orangnya asyik-asyik.”

Aku tersenyum. Terus terang kurasakan Seno begitu ramah dan menyenangkan, meski aku baru saja mengenalnya.

“Oh ya, siapa yang nanti menemaniku jalan-jalan, Sen?”

“Kalau enggak sama aku, nanti bisa juga sama Sapto.”

“Oh, Sapto kakakmu, ya?”

“Iya, kakakku.”

Seno tampak konsentrasi benar dengan kemudinya, apalagi ketika lalu lintas mulai tampak ramai.

“Nah, kita mulai memasuki kota Makassar nih. Di sini lain dengan Jakarta, lalu lintas sini padat karena banyak angkutan kota, becak dan sepeda, tapi nggak macet.”

“Oh, berarti bandara tadi di pinggir kota, ya?”

“Iya, Maros namanya.”

“Hey, becaknya lucu ya!” teriakku spontan kala melihat becak Makassar. “Wow, enggak pakai per, apa nggak sakit tuh pantat kalau becaknya kejeblos lubang?”

“Coba saja, nanti sekali-kali naik becak di sini, Drin!”

“Betul ya, Sen! Di Jakarta sudah bebas becak, jadi aku nggak pernah naik becak.”

“Oke. Aku matikan AC mobil saja ya, kita buka kaca jendela mobil, biar terasa angin sore Makassar yang sepoi-sepoi.”

Seno membuka jendela, aku mengikutinya. Lalu dia menyalakan CD dalam mobilnya. Tak lama kudengar Phil Collins mengalunkan ‘Wake Up Call’.

“Hm, Phil Collins album Testify nih!”

“Wah, kamu hafal, penggemar dia juga, ya?”

“Iya, kamu pasti juga suka Phil Collins, ya Sen?”

“Banget! Padahal tadinya tahu dia gara-gara nggak sengaja lihat film kartun Tarzan di tv, eh…terus lagu-lagu soundtrack-nya enak. Pas terakhir, aku lihat music nya digarap Phil Collins. Nah aku jadi cari-cari di internet. Ya…jadinya suka. Lalu aku jadi tahu Genesis juga, dan aku jadi mengoleksi album-album genesis yang Phil Collins jadi lead vokalnya.”

Aku tersenyum.

“Kenapa?” Seno menatapku sejenak.

“Sama. Aku juga. Kalau aku suka gara-gara suka tune in radio yang pas
kebetulan menyiarkan acara back to 80. Nah… dari situ, aku jadi suka Phil Collins dan Genesis. Tapi aku juga suka Firth to Fifth, salah satu album Genesis yang masih ada Peter Gabriel, Sen. Asyik banget pianonya.”

“Percaya. Lagunya memang enak-enak!”

“Heeh!”

Tiba-tiba sebuah angkutan kota yang di depan kendaraan kami berhenti mendadak.

“Awas, Sen!” teriakku cepat. Reflek Seno menginjak pedal rem mobilnya.

Aku menghela napas, “Hampir saja…”

“Pete-pete di sini memang raja di jalanan.”

“Apa sih pete-pete?”

“Itu istilah di sini untuk angkutan kota,” Seno kembali menjalankan mobilnya, setelah berhenti sejenak menanti angkutan kota yang tengah menurunkan penumpang, tanpa memberi sinyal berhenti dan tidak menepi itu, sementara aku sendiri asyik menikmati pemandangan kota Makassar ini.

***

Aku tengah duduk seorang diri di teras sambil membaca LELAKI BERAROMA REMPAH-REMPAH, salah satu buku karangan Tina K, pengarang kesukaanku, yang sengaja kubeli dan kubawa serta dalam perjalananku ke Makassar ini. Tiba-tiba sebuah motor trail memasuki halaman rumah. Pengemudinya, seorang cowok kurus tinggi putih, dengan wajah tampan, lebih tampan dari Seno.

Sekilas kutangkap sinar matanya yang dingin dan terkesan angkuh, saat ia turun dari motor trail itu. Bahkan tak ada senyum maupun sapaan sekedar permisi ketika berlalu di depanku.

Aku menghela napas dalam. Mungkinkah dia Sapto? Uh…bagaimana jika dia memang Sapto, dan dia yang kelak akan menemaniku menikmati masa liburku semester genap di kota ini? Oh…NO!

“Drin, ayo makan dulu!” Seno yang baru selesai mandi menghampiriku.

“Enggak tunggu Oom dan Tante?” tanyaku ragu.

“Mereka mungkin pulang malam. Lagian mereka pasti sudah pada makan. Ayo, nanti keburu kelaparan jadi masuk angin.” Ia menarik tanganku.

Aku tak kuasa menolak. Kuletakkan bukuku di meja teras.

“Anggap saja seperti di rumah sendiri ya, Drin. Tadi pesan Mama juga begitu.”

“Oke. Oh ya, tadi ada cowok baru masuk rumah, siapa ya?”

Seno mengernyitkan keningnya.

“Cowok? Pakai motor trail?”

Aku mengangguk.

“Ah, itu dia si Sapto. Nanti aku kenalkan deh sama dia.”

Kami makan bersama di meja makan. Dan usai mengenyangkan perut kami, Seno mengajakku ke taman belakang.

“Kalau kamu mau berenang, nggak usah ke kolam renang, Drin. Di sini juga ada kolam renang.”

“Hm, boleh juga kapan-kapan deh.”

“Nah, itu dia si Sapto, rupanya lagi berenang!” Seno menunjuk kakaknya yang tengah berenang dengan penuh semangat. “Sapto orangnya agak antik, Drin. Dia introvert, lebih suka menyendiri. Lihat sore-sore begini saja dia berenang sendirian.”

“Nggak apa-apa, itu lebih baik daripada bengong.”

“Sapto…!” Seno menghampiri kakaknya yang tengah berhenti di ujung kolam, tentu saja aku mengekornya. “Kenalkan, ini Aldrin yang Papa bilang kemarin.” Jempolnya menunjuk kepadaku.

Aku tersenyum dan mengulurkan tangan kananku, tapi sayang cowok yang bernama Sapto itu hanya menatapku dingin untuk beberapa jenak, baru kemudian ia mengulurkan tangan kanannya dan menyalamiku. Aku masih tetap tersenyum, meski perasaanku merasa tak nyaman berhadapan dengan Sapto yang tak seramah Seno.

Ya, cowok itu memang benar-benar tak ramah, dia tak tersenyum, bahkan di luar dugaanku, tiba-tiba malah ditariknya tanganku sehingga aku tercebur ke dalam kolam.

“Sapto…!” kudengar suara teriakan Seno.

Aku gelagapan, tapi cepat aku menguasai keadaan. Untung saja aku bisa berenang.

“Ngaco kamu, To!” Seno mengomel, ketika aku berusaha memegang tepi kolam. Dan serta merta ia menolongku dengan menarik tanganku agar bisa segera ke atas. Kududukkan pantatku di tepi kolam.

“Biar cepat akrab ya, Drin,” Sapto mengerlingiku, lalu dia cengengesan.

“Tega benar sih kamu!” Seno tampak kesal. “Aldrin kan sudah mandi!”

Aku berusaha untuk tetap tersenyum.

“Nggak apa-apa. Boleh juga nih kita berenang,” ujarku kemudian. Meski dalam hati aku melontarkan seribu makian atas kekesalanku pada Sapto!

Demi menunjukkan bahwa aku baik-baik saja atas perlakuan Sapto, maka aku kembali menceburkan diri ke dalam kolam, menikmati salah satu fasilitas yang dimiliki keluarga Prastowo itu.

“Maafkan Sapto ya, Drin!” Seno berbisik padaku ketika aku kembali duduk di tepi kolam, sementara Sapto masih lalu lalang di dalam kolam.

“Nggak apa-apa.”

Tiba-tiba handphone Seno berdering.

“Halo, Ma!” suara Seno menyapa. Lalu tak lama kemudian, “Sudah, sudah dong, Ma! Tadi makan berdua denganku. Ini dia Aldrin.” Seno mengulurkan handphonenya padaku. “Mama mau bicara.”

Aku menerimanya.

“Halo, Tante?”

“Drin! Gimana? Senang kan di rumah Tante? Yang betah ya, meski anak-anakku laki semua, tapi mereka baik-baik kok.”

“Senang, Tante. Sungguh! Seno dan Sapto asyik orangnya. Ini saya lagi berenang sama Sapto, Tante. Seno sih nongkrong saja, malas kali.”

“Syukurlah. Pokoknya kalau mau apa-apa bilang sama Seno atau Sapto saja, mereka semua siap membantu.”

“Terima kasih, Tante.”

“Oke, sudah dulu, ya. Tante sama Oom pulang agak malam nanti.”

“Ya, Tante. Hati-hati, Tante.”

Telepon di ujung sana ditutup, aku pun mengembalikan handphone ke tangan Seno. (Bersambung ke bagian 2)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar