Kamis, 08 Juli 2010

FIONA

Aku duduk di kursi beton di samping pintu gerbang taman kanak-kanak ini, menanti saat-saat pintu gerbang gedung TK ini dibuka, tanda para penjemput diperkenankan masuk menjemput anak-anak ke kelasnya masing-masing. Di sebelahku duduk pula tiga orang ibu-ibu yang agaknya juga hendak menjemput anaknya. Mereka asyik mengobrol membicarakan buah hati mereka masing-masing, entah kehebatannya, kegemarannya juga kenakalannya yang membuatku iri hati!

“Ghea, anakku yang kedua, yang kelas enam itu benar-benar bela pati padaku! Bayangkan, setiap malam, sejak suamiku ketahuan olehku main sms dengan bekas pacarnya ketika sma, anakku itu selalu menyempatkan diri mengecek ponsel suamiku, ketika suamiku pergi mandi. Setelah itu, dia akan lapor padaku ‘Ma, bersih Ma, nggak ada sms dari perempuan!’. Hebat, kan?” Ibu yang memakai baju merah jambu itu berkomentar.

“Ha..ha..ha…, kamu yang menyuruhnya, kan?” Ibu yang berbaju biru tertawa. “Soalnya, kamu nggak enak mau mengecek ponsel suamimu, jadi kamu suruh anakmu! Aku juga begitu, menyuruh Anggia, anak perempuan tunggalku, untuk mengecek ponsel suamiku.”

“Hus…nggak!” kilah si Ibu berbaju merah jambu lagi. “Dia sendiri yang punya inisiatif, karena katanya dia nggak mau suamiku direbut perempuan lain!”

“Itu dia enaknya punya anak perempuan!” komentar ibu-ibu temannya yang lain, yang berbaju kuning. “Kenapa ya, kok aku nggak punya anak perempuan. Anakku lima lelaki semua, mana bandelnya minta ampun!”

Si ibu yang berbaju biru tertawa.

“Sudah, tambah satu lagi, mana tahu anakmu yang keenam nanti perempuan!”

Ibu berbaju kuning itu memonyongkan mulutnya, “Capek! Lima saja sudah setengah mati bayar spp sekolahnya!”

Aku menghela napas. Aduh…Mbak, Mbak semestinya bersyukur, bisa mempunyai lima orang anak, walau semuanya lelaki, batinku, aku saja yang sudah lima belas tahun menikah, sampai detik ini belum memiliki momongan!

Ya, lima belas tahun sudah aku menikah dengan Fritz, namun hingga detik ini aku belum mendapatkan tanda-tanda untuk mempunyai momongan, meski segala upaya sudah kami lakukan, mulai dari konsultasi pada dokter ahli hingga mencoba terapi tradisional. Semua menyatakan kami baik-baik saja, tak ada kelainan apa-apa. Aku subur, begitu pula Fritz, namun aku tak mengerti mengapa kami belum juga dikaruniai seorang anak. Ingin rasanya aku mencoba untuk mendapatkan momongan dengan cara bayi tabung, namun aku sungguh sangat mengerti biaya untuk hal semacam itu bukan tidak sedikit, dan tentu saja keuangan Fritz sungguh terbatas untuk itu. Maka ketika otak dan hatiku telah lelah, kuputuskan saja untuk menanti dengan pasrah dan tulus kapan pun kelak Tuhan mengijinkan kami memperoleh momongan. Aku sangat percaya bahwa kuasa Tuhan-lah yang menentukan segalanya.

Sunyi memang hidup berumah tangga, tanpa kehadiran seorang anak pun di dalam rumah kami. Apalagi ketika Fritz melarangku untuk berkarir dua tahun yang lalu. Maka ketika titik kejenuhanku mencapai kulminasinya, akhirnya aku memohon pada suamiku agar aku diijinkan untuk menjalankan usaha antar jemput anak sekolah taman kanak-kanak, dengan kendaraan kami. Untunglah suamiku mengijinkan, hingga akhirnya sudah hampir setahun ini, kujalani hidupku dengan menjadi supir antar-jemput untuk anak-anak sekolah taman kanak-kanak, sebagai pelarianku untuk menghilangkan rasa kerinduanku pada anak-anak. Ya, sejak itu memang hidup terasa lebih menyenangkan, daripada aku hanya di rumah saja sejak pagi hingga sore, berteman sunyi, menanti suami pulang kantor.

“Brakkk!” aku tersentak ketika tiba-tiba kudengar pintu gerbang utama gedung TK ini dibuka. Aku pun segera mengangkat pantatku dari kursi beton ini dan bergegas masuk ke dalam.

Aku terkaget-kaget ketika Fiona berlari ke arahku, dan langsung menghambur memeluk pahaku, saat aku masih melangkah di koridor TK ini. Ada apa gerangan dengan anak TK yang selalu pulang dan pergi mengikuti mobil jemputan yang kusupiri ini?

“Maaf, Bu. Ibu, ibunya Fiona?” seorang guru menghampiriku. Mungkin ia guru baru di kelas Fiona, karena guru yang biasa kutemui sudah teramat mengenalku.

Aku menggeleng, sambil mengelus-elus kepala Fiona.

“Bukan, saya supir jemputannya. Ada apa, Bu? Apakah Fiona membuat masalah di kelas?”

Gurunya tersenyum ramah.

“Itu…Bu, tadi dia bercanda dengan Gadis, teman sekelasnya. Lalu entah kemudian gemas atau bagaimana, Fiona mencakar pipi Gadis, sehingga pipi Gadis baret dan berdarah.”

Jantungku langsung berdebar kencang. Aku memang tahu persis kebiasaan Fiona jika kesal, karena Helena, Ibunya yang juga sahabatku, selalu mengeluh kepadaku, bahwa jika anaknya merasa kesal maka tangannya sering mencakar. Di rumah pun, kakak dan adiknya sering menjadi sasaran cakaran Fiona. Alhasil, cakar-cakaran menjadi suatu tradisi, jika terjadi pertengkaran antar anak-anak di rumah Helena sahabatku itu. Wajah Fiona yang cantik pun akhirnya jadi memiliki cedera bekas cakaran di beberapa tempat. Aku tak tahu, entah itu buah cakaran kakak atau adiknya di rumah sebagai pembalasan perbuatannya. Yang membuatku heran, Helena dan suaminya terkesan menganggap biasa-biasa saja menghadapi tradisi unik itu. Entahlah, mungkin karena keduanya seorang manager senior di perusahaan farmasi terkemuka, maka saking begitu sibuknya mereka tak sempat lagi memikirkan perilaku anak-anaknya, bahkan terkadang hari Sabtu dan Minggu pun berdinas ke luar kota.

“Maaf, Bu…saya bisa titip surat panggilan untuk orangtua Fiona, Bu?”

Aku tersentak. Guru muda itu tersenyum padaku.

“Karena Fiona sudah ketiga kalinya membuat onar mencakar teman dalam seminggu ini.”

Tentu saja aku mengangguk.

“Mari, kita ke dalam dulu, Bu!” Guru muda itu mengajakku ke kelas, aku mengekornya, sambil menggandeng Fiona.

Pulangnya, di dalam mobil jemputan, aku dari hati ke hati mengajak bicara Fiona, tentu saja hal ini kulakukan setelah teman–teman satu mobil jemputannya selesai kuantar pulang.

“Fiona, memang kenapa tadi di sekolah, sayang?” tanyaku pada anak cantik yang duduk di sampingku, seraya kuusap-usap kepalanya.

“Itu… Tante, Gadis kan main sama Fiona, lalu Gadis nggak mau kasih pinjam boneka beruangnya, Fiona jadi kesel, ya…Fiona rebut. Eh…Gadis ngerebut lagi, ya jadinya Fiona cakar.”

Aku tersenyum.

“Eh…kenapa harus pakai mencakar, sih?” Aku menggelitik pinggangnya dengan telunjuk kiriku. “Memangnya Fiona beruang, ya?”

Anak itu terkekeh.

“Ya…enggak, Tante.”

“Makanya, jangan mencakar teman dong! Ngomong-ngomong, sakit nggak kalau Fiona yang dicakar?”

“Ya…sakitlah!”

“Nah, Fiona kan cantik. Anak cantik nggak boleh berbuat seperti itu, berbuat yang membuat orang lain sakit. Coba deh Tante tanya, di sekolah ada yang suka mencakar Fiona, nggak?”

Anak itu menggeleng.

“Paling-paling, di rumah kakak ama adik yang mencakar Fiona.”

“Fiona sih yang mulai duluan? Iya, nggak?”

Anak itu menganggukkan kepalanya.

“Anak cantik, jangan sedikit-sedikit mencakar orang lain lagi, ya? Nggak baik, lho?”

Anak itu terdiam.

“Dikasih tahu ya… tangannya jangan suka mencakar orang lain! Kan nanti orang lain jadi sakit. Ada bekasnya lagi. Wah, temanmu yang tadinya cantik jadi ada baretnya deh!” nasehatku sambil tetap mengusap kepalanya. “Jangan kayak beruang, ya!” ujarku kemudian. “Nanti, kalau Fiona suka mencakar teman di sekolah, Fiona nggak punya teman. Nggak enak, kan!”

Anak itu terdiam, aku pun terus saja mengusap-usap kepalanya. Entahlah, aku diam-diam merasa iba dan juga sayang pada anak sahabatku ini.

Tak lama, mobil yang kukemudi ini tiba di rumahnya. Tak kusangka, tiba-tiba Fiona berulah. Kali ini ia enggan turun dari mobil jemputanku. Bahkan rayuan si Mbok pun tak lagi mempan untuk membuat anak kelas TK B ini turun. Aku pun terpaksa menelepon Ibunya, kuceritakan pula kejadian di sekolah sekaligus surat panggilan dari sekolah untuk Ibunya. Tentu saja aku membicarakannya di tempat lain yang agak jauh dari Fiona, agar percakapan kami tak terdengar Fiona.

“Audrey, boleh aku numpang bicara dengan Fiona?” Helena, Ibunya, di seberang sana terdengar habis akal menghadapi si anak yang bertingkah siang ini.

“Oke, saya ke tempat Fiona.” Aku melangkah masuk mobilku. “Fiona, ini Mama mau bicara sama Fiona.” Ujarku pada anak itu, sambil memijit tombol agar loadspeaker handphoneku menjadi aktif, sehingga Fiona bisa mendengar ucapan Ibunya, melalui handphoneku.

“Fiona…, ini Mama mau bicara!” Tak lama kudengar suara Helena. Mengomel. “Fiona, cepat turun dari mobil dan makan sama si Mbok! Jangan bikin Mama pulang kantor nanti kasih kamu hukuman!”

Fiona dengan enteng menjawab.

“Mama, aku nggak mau turun, aku mau ikut Tante Audrey. Aku mau main di rumah Tante Audrey! Aku mau belajar sambil main di sana!”

“Kalau kamu nggak turun, Mama akan buang semua mainanmu nanti!”

“Nggak apa-apa, buang saja!”

“Mama nggak mau beli mainan lagi untuk Fiona!”

“Biarin!”

“Mama nggak pulang ke rumah!”

“Nggak apa-apa, masih ada Tante Audrey. Fiona bisa tinggal sama Tante Audrey.”

Aku bergidik mendengar jawaban spontan Fiona yang terkesan cuek, dan keras kepala itu.

Akhirnya Helena tak bisa berbuat banyak, diijinkannya Fiona untuk main di rumahku. Anak ini memang lumayan sering main ke rumahku. Aku sendiri tak keberatan dia berada di rumahku, karena kehadirannya membuat kerinduanku pada seorang anak sedikit terobati. Aku seakan memiliki sahabat kecil untuk menemaniku di rumah. Aku bahkan dengan senang hati mengajarinya menulis, membaca, berhitung, mewarnai, dan kami melakukannya bersama-sama dengan suka cita dan canda tawa. Dan dalam setiap kesempatan, tak kulupa kusuntikkan nasihatku agar ia membuang jauh kebiasaannya mencakar teman. Entahlah Fiona memang bukan anakku, tapi aku menyayanginya seperti anakku sendiri.

Berbekal perlengkapan baju ganti, akhirnya Fiona tetap berada di mobilku dan ikut ke rumahku!

***

Hari ini hari pesta pentas seni TK, aku beruntung karena semua orangtua yang anaknya ikut jasa jemputanku menelepon agar aku tak perlu mengantar dan menjemput mereka, karena mereka sendiri yang akan mengantar, menjemput sekaligus melihat pementasan anaknya di panggung pentas seni TK. Hanya satu, Fiona. Helena tak meneleponku, itu artinya, aku tetap seperti biasa melakukan antar jemput padanya. Ingin sebetulnya aku menyarankan agar Helena, sebaiknya ijin sehari ini atau membolos kantor jika perlu, demi melihat penampilan Fiona, tapi aku tak punya nyali untuk itu. Aku kuatir ia mengira aku mengguruinya, atau jangan-jangan dikiranya aku enggan mengantar-jemput anaknya untuk hari ini.

Benar saja, jam tujuh lewat lima belas ketika kujambangi rumahnya, anak itu sudah berdandan cantik dengan memakai kostum thinker bell.

“Aih, cantiknya!” pujiku.

Fiona tersenyum girang.

“Fiona mau tampil juga nanti, ya?”

“Ya…Tante, mau baca puisi! Puisi buatan Fiona sendiri di sekolah!”

“Oh ya?” aku terperanjat. “Hebaat! Tante bangga deh! Wah…Tante boleh lihat, nggak?”

“Lihat saja, Tante! Kan Papa sama Mama Fiona nggak ada. Tante pura-pura jadi Mama Fiona!” Jawabnya lugu.

Aku tersenyum.

“Coba nanti Tante tanya sama Bu Guru, Tante boleh lihat nggak. Tante kan cuma supir Fiona!”

Anak itu mengangguk. Aku pun segera melarikan mobilku menuju sekolahnya. Di sepanjang perjalanan menuju sekolah, tak seperti biasanya Fiona lebih banyak terdiam. Sesekali aku melirik anak sahabatku itu yang tengah duduk di sampingku sambil menggigiti kuku jempol tangan kanannya.

“Kenapa? Tegang mau baca puisi, ya?” godaku ambil menggelitik pinggangnya.

Anak itu menggeleng, cuek, dan terus saja menggigiti kukunya.

“Tenang saja, Fiona. Tante percaya, Fiona pasti oke banget nanti saat tampil. Fiona kan pintar!” aku membesarkan hatinya.

Fiona tak menjawab, pula semakin asyik menggigiti kukunya.

Tiba di halaman parkir sekolah, ketika mobilku telah kuparkir rapi, entah mengapa Fiona mendadak memegang tanganku erat.

“Tante…Tante jangan pulang, ya! Tante lihat Fiona tampil!”

Aku ternganga-nganga. Aku tak mungkin mengiyakan, bukan karena aku ingin segera pulang selesai mengantarnya, tapi kusadari aku sendiri hanya seorang supir jemputan anak-anak, yang belum tentu boleh masuk menonton acara di aula TK-nya.

“Fiona…Tante harus bicara dulu dengan Bu Guru, kalau Bu Guru kasih ijin, Tante tentu saja akan dengan senang hati melihat Fiona tampil.”

“Ah…Fiona nggak mau turun kalau begitu!”

Dor! Aku bagai terkena tembakan sebuah pistol. Matilah aku! Batinku kelu. Serta merta kubujuk Fiona, tapi anak itu benar-benar keras kepala, dan bujuk rayuku sia-sia. Kularikan kakiku ke kelasnya menemui gurunya, gurunya pun datang ke mobil jemputan ini dan membujuknya. Akhirnya setelah terjadi negoisasi bahwa aku, yang hanya sang supir jemputan Fiona, diijinkan masuk melihat pentasnya nanti, - barulah Fiona ‘nakal’ ini mau turun.

Acara pentas seni TK ini luar biasa heboh. Ada operet Cinderella, ada pentas tari, ada pentas pianica, juga senam irama, bahkan pentas percobaan ipa sederhana yaitu membuat gunung meletus. Sungguh sangat luar biasa anak-anak masa kini, walau banyak terjadi kelucuan di sana sini, maklumlah namanya juga anak-anak TK, dan itu mengundang geli para orangtua yang hadir, tak terkecuali aku. Semua itu menjadi obat rinduku, sekaligus desah doa yang terus menerus kupanjatkan dalam hatiku di saat ini, agar Sang Khalik mengabulkan keinginanku untuk segera memiliki seorang anak dari rahimku ini.

Tibalah saat Fiona tampil. Ia tampil terakhir. Aku mendadak cemas, meski anak itu bukan anak kandungku, meski anak itu bukan anak asuhku, meski anak itu hanya anak jemputanku, namun kedekatan kami dan kekurangperhatian Helena padanya, membuatku memiliki perasaan sayang yang dalam padanya. Entahlah, aku merasa iba dengan Fiona, karena aku bisa merasakan betapa ia haus akan kasih sayang dan perhatian orangtuanya. Ya, aku bisa merasakannya, karena di saat-saat ia pentas pun saat ini, yang hanya setahun sekali saja, orangtuanya tak punya waktu untuk menyempatkan diri melihat penampilannya.

Fiona tampak penuh percaya diri tampil ke depan, dengan secarik kertas di tangan. Kurasa catatan puisi yang akan dibacakannya.

“Hallo….nama saya Fiona Valentina. Saya akan baca puisi judulnya ‘Jika Aku Bisa’.” Ujarnya lantang. Ia membungkukkan badannya, sebagai tanda hormat pada penonton.

Semua bertepuk tangan, tak terkecuali aku.

Kulihat ia menarik napas panjang, lalu

Jika Aku Bisa

Jika aku bisa,

Aku ingin selalu bersama Mama

Tapi betapa sayang,

Mama selalu mencari uang

Uang untuk beli mainan

Jika aku bisa,

Aku ingin mencari uang,

Mencari uang untuk membeli mama

Agar mama selalu bisa bersamaku

Selalu menemaniku

Fiona menatapku sejenak. Senyumnya tampak sumringah, tanda lega ia melewati tugas tampilnya dengan sempurna. Sementara aku berlinang menghayati puisi yang dibacakannya tadi.

Pembawa acara memerintahkan kami untuk bertepuk tangan, sementara Fiona menundukkan badan memberi hormat sebelum meninggalkan panggung.

Sang pembawa acara yang juga guru TK itu, kemudian mengumumkan bahwa acara pentas seni ini telah berakhir, dan akan segera ditutup dengan penampilan nyanyi bersama seluruh murid TK disertai pemberian tanda kasih pada Mama dan Papa oleh anak-anak. Ia berpesan, agar Mama atau Papa yang nama anaknya disebut, dimohon untuk maju ke pentas untuk menjemput anaknya sekaligus mendapatkan sekuntum bunga dan peluk cium dari sang anak masing-masing, lalu kembali ke kelas masing-masing.

Tak kusangka acara penutupan ini sungguh teramat syahdu. Anak-anak yang menyanyikan “Lagu Untuk Mama” dengan begitu tulus, dan kemudian orangtua maju ke pentas menjemput anaknya, sementara sang anak memberikan sekuntum bunga dan pelukan cinta pada orangtuanya. Aku sungguh terharu menyaksikan acara penutup ini.

Kulihat Fiona yang juga berada dalam barisan. Namun ia tampak tak bersemangat. Sinar matanya tampak resah. Terlebih-lebih ketika tiba namanya disebutkan, tentu saja tak satu pun lelaki atau wanita yang maju menghampirinya, karena orangtuanya tak hadir di acara ini. Fiona tetap tersenyum, senyum yang dipaksakan dengan sinar matanya yang tampak tak bahagia. Ingin aku maju ke depan, namun aku ragu. Layakkah???

“Mana Mama atau Papa Fiona?” Sang pembawa acara memanggil, berhubung tak seorang pun tampil ke depan.

Fiona tiba-tiba berteriak dengan polosnya, matanya memandang sang pembawa acara,

“Bu Guru, kenapa masih memanggil Mama dan Papa saya? Mereka tidak ada. Panggil saja Tante Audrey!” ujarnya lantang, selantang ketika ia membaca puisi tadi, meski tak memakai pengeras suara.

Aku terhenyak. Tanpa menunggu panggilan, aku beranjak ke depan, ditemani tatapan berpuluh-puluh pasang mata.

Fiona memelukku.

“Aku sayang Tante Audrey!” ujarnya sambil memelukku dan memberikan sekuntum mawar di tangannya yang telah dibagikan gurunya (yang semestinya untuk diserahkan kepada mama atau papanya).

Air mataku berlinang, bergulir. Kupeluk Fiona erat, penuh kasih, walau dia bukan anakku, walau dia hanya anak jemputanku. Detik itu juga, aku berjanji dalam hati, jika aku dikaruniai seorang anak oleh Sang Khalik, maka aku akan sumbangsihkan waktu dan kasih sayangku setulusnya untuk anakku. Aku tak ingin anakku akan mengalami saat-saat yang menyedihkan seperti yang dialami Fiona!

SELESAI

Cerita ini dimuat di Kartini edisi 2272 terbit 10 Juni 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar