Selasa, 26 Januari 2010

FROM SOUTH WITH LOVE (BAGIAN 2)

“Gimana Makassar, Drin?” suara Fem, adikku, di Jakarta sana mendayu-dayu, ketika malamnya aku menelepon ke rumah.

“Asyik. Aku tadi dari Pantai Losari, makan es pisang ijo.”

“Sama siapa?”

“Sama Seno, anaknya Oom Pras.”

“Hati-hati nanti kamu kecantol dia, lagi!” Fem cekikikan. “Oh ya, tadi Nestor ke sini.”

Jantungku mendadak berdebar keras. Nestor? Huh!

“Ada urusan apa lagi? Aku kan sudah putus sama dia!” ujarku penuh emosi.

“Enggak tahu, pokoknya cari kamu.”

“Kamu bilang aku ke sini?”

“Iya. Dia tanya nomor handphonemu yang kaubawa.”

“Lalu kamu kasih tahu?”

“Enggak, meskipun dia tadi memaksaku. Malah minta alamatmu di situ, tapi nggak kuberi tahu.”

“Lain kali kalau dia datang lagi, bilang aku sudah punya pacar baru!”

“Oke-oke, tapi oleh-oleh untukku nanti jangan lupa ya, Drin.”

“Beres, bawel!” aku menutup telepon, lalu melemparkan tubuhku ke pembaringan.

Sulit mataku untuk terpejam malam ini. Entahlah, mungkin karena ini malam pertamaku menginap di rumah Oom Pras. Sejenak aku teringat kesan pertama Seno yang menyenangkan, dan membuatku merasa nyaman di tempat baru ini, juga teringat sikap Sapto yang angkuh dingin tapi usil, yang membuatku tercebur ke dalam kolam renang tadi, juga teringat telepon Fem yang mengingatkanku pada Nestor yang telah mengecewakanku.

Sesungguhnya aku amat menyayangi Nestor, mahasiswa Arsitektur semester enam di kampusku itu. Aku sudah mengenal baik keluarganya, pun sebaliknya. Bahkan ketika mamanya terkena stroke dan di rawat di rumah sakit Medistra, aku turut ikut menjaganya bergantian dengan Nestor. Maklumlah, kakak-kakak Nestor sudah menikah semua dan tinggal di luar Pulau Jawa, jadi tinggallah Nestor atau aku dan papanya yang menjaga.

Selama mamanya dirawat, aku memaklumi jika Nestor jarang datang ke rumahku atau pulang dari kampus bersamaku. Aku begitu percaya bahwa Nestor memang begitu sulit membagi waktu untukku, untuk menjaga mamanya, juga untuk kuliah.

Sayang, kepercayaanku padanya dipaksa hilang oleh perbuatannya sendiri, yang kulihat di depan mata kepalaku, saat Sabtu malam dua minggu yang lalu.

Aku baru saja meninggalkan mamanya, dan hendak pulang tengah malam itu. Aku menanti lift yang akan membawaku turun, dan saat pintu lift terbuka, di hadapanku kulihat Nestor dan Angie, mantan kekasihnya tengah berpelukan mesra.

“Nestor?!” pekikku dengan jantungku yang berdebar kencang dan hati yang seakan mendadak pecah!

Aku segera berlari memasuki lift lain yang kebetulan terbuka, meski lift itu membawaku ke lantai atas.

Dengan jantung yang terpacu karena emosi dan air mata yang meleleh di pipi, aku berusaha untuk bisa secepatnya menuju tempat parkir sesaat setelah turun dari lift di lantai dasar. Nestor yang telah menungguku di lantai dasar mengejarku, membuatku bagai di kejar hantu dan segera berlari keluar ke arah lobby dan buru-buru masuk ke dalam mobilku.

Aku tak peduli ketika dia mengetuk-ngetuk kaca mobilku, langsung saja kustater Swift kesayanganku ini, dan kutinggalkan tempat parkir ini secepatnya. Ah, Nestor si pengkhianat!

Handphoneku pun tak hentinya bernyanyi di sepanjang perjalanan pulang itu, aku tahu persis pasti Nestor peneleponnya yang ingin berbicara padaku. Serta merta telepon kumatikan. Aku muak padanya, teringat adegan mesra di lift tadi.

Tiba di rumah, Fem menyambutku dengan mengatakan bahwa Nestor meneleponku.

“Bilang saja aku tidak pulang!”

Fem terbengong-bengong.

“Mana mungkin, baru saja aku dengar suara mobilmu datang, jadi kubilang agar dia menunggu karena kamu baru datang.”

“Pokoknya aku nggak mau bicara sama dia. Bilang saja ‘ It’s over’ dan jangan telepon aku lagi!”

Fem masih menatapku keheranan.

“Ada apa sih, Drin?”

Aku tak menjawab, dan langsung masuk ke kamar.

Fem memburuku.

“Drin, aku nggak tahu kamu ada masalah apa dengan Nestor. Tapi kumohon, kalau kamu ada masalah sama dia selesaikan sendiri deh.”

Aku masih terdiam.

“Sana kaujawab dulu telponnya. Kalau mau berantem di telepon juga bisa diatur, kan?”

Aku menghela napas, lalu dengan malas menyeret kakiku menuju telepon di ruang keluarga.

“Mau apa lagi sih?!” suaraku tak ramah ketika kudekatkan gagang telepon di telingaku.

“Drin, aku mau minta maaf,” suara Nestor terdengar serak di seberang sana. “Aku khilaf di lift tadi, tapi itu terjadi begitu saja. Aku memang ketemu Angie di rumah sakit tadi, karena kebetulan ayahnya juga dirawat di rumah sakit ini. Kebetulan malam ini dia jaga, dan kami jumpa ketika kami sama-sama mau cari makan malam, lalu kami makan malam bersama, lalu…”

“Nestor, I love you. But It’s over now. Good night!” kututup telepon, dan mataku kembali basah.

Tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara ketukan di pintu kamarku. Kutengok Casio-ku. Hampir pukul dua belas malam. Serta merta aku bangun dan membuka pintu kamar.

“Belum tidur, Drin?” Tante Prastowo tersenyum.

“Baru mau tidur, Tante.”

“Oh….ya sudah. Selamat tidur, ya!”

“Terima kasih, Tante.”

Aku menutup pintu, menguncinya, dan kembali melompat ke pembaringan.

***

Hampir tengah malam, ketika Seno memarkir Hardtop-nya di halaman rumah.

“Capek ya!” komentar Ritzon, teman kuliah Seno di Unhas, sambil membantuku menurunkan ransel-ransel kami, juga tas kantong asesori dinding khas Tana Toraja yang kuborong untuk kubawa ke Jakarta jika pulang nanti.

“Ya, tapi asyik.”

“Besok kita ke mana, Drin?” Seno menantangku lagi. “Ada tiga alternatif nih. Air terjun Malino, hutan wisata Bantimurung, atau Pulau Khayangan dan Pulau Samalona dengan pasir putihnya? Yang paling asyik sih kalau kemping ke Pulau Samalona.”

“Betul, Sen. Kita kemping, bawa ikan dan kita bakar, terus makan ikan bakar rame-rame.”

“Asyik sih asyik!” komentarku. “Cuma menurutku, besok kita istirahat dulu, Sen. Aku kuatir kau capek, kecuali kalau kamu kasih aku kepercayaan buat gantian setir Greyhound-mu.” Greyhound adalah panggilan sayang Seno pada Hardtop abu-abu metalik yang telah didandaninya ala off road style.

“Enggak, aku nggak capek kok. Kalau pun besok aku capek, boleh saja gantian kita setir mobilnya.”

“Siplah!”

“Sekarang kamu istirahat dulu, Drin. Azka tidur di kamarmu, ya! Dia nggak usah pulang sudah kemalaman. Ritzon dan Andi tidur di kamarku.”

“Beres.”

Kuajak Azka ke kamarku. Sementara cewek tomboi itu membersihkan diri di kamar mandi, aku sibuk mengutak-atik kamera digitalku yang penuh dengan foto-foto perjalanan ini. Lidahku tak hentinya berdecak kagum, sementara hatiku bersyukur pada Illahi atas keindahan alam Sulawesi Selatan ini.

Ada foto keindahan Pantai Barru yang masih perawan dengan laut biru dan pasir putihnya yang bersih tanpa sampah. Sayang, pantai indah di tepi jalan menuju kota Parepare itu belum dikelola untuk pariwisata.

Ada juga kota Parepare yang memukau kebersihannya. Lalu ketika kuabadikan kota Parepare dari jalanan yang agak meninggi, hm… pemandangan itu tak kalah indahnya dengan pemandangan Pulau Sentosa jika kita memandangnya dari tempat wisata How Par Villa atau Tiger Balm di Singapura.

Sungguh aku tak menyesal menyusuri negeri selatan ini, banyak pemandangan baru yang sungguh menarik, bayangkan saja saat dalam perjalanan menuju Tana Toraja aku menemukan Gunung Nona yang luar biasa eksotiknya.

Di Tana Toraja sendiri, aku bisa mengabadikan kuburan gantung di daerah yang bernama Lemo. Lantas di Londa, aku dapat mengabadikan kompleks pemakaman adat leluhur Toraja, dimana terdapat patung-patung kayu yang terbuat sedemikian rupa sehingga amat menyerupai wajah orang yang dimakamkan di sana yang juga lengkap dengan ukiran pakaian adat Torajanya.

Yang lebih dahsyat lagi adalah ketika kami menelusuri gua pemakaman dengan menggunakan petromaks yang dibawa oleh pemandu makam. Kami dapat menyaksikan langsung makam-makam yang berisi tengkorak yang tampak masih utuh dan hebatnya tidak bau! Ya, konon, leluhur Toraja memiliki ramuan khusus yang diturunkan sejak dahulu kala, yang menjaga agar mayat yang dimakamkan tidak berbau. Fantastik bukan?

Puncak kedahsyatan yang kuabadikan adalah foto-foto rangkaian Festival Budaya Toraja yang luar biasa menariknya. Ada upacara adat pemakaman, yang didahului dengan penyembelihan sejumlah kerbau dan babi. Konon pemakaman itu adalah pemakaman orang yang cukup berpengaruh dan kaya raya di Toraja sehingga upacaranya sungguh amat meriah, dan tentu saja tidak sedikit pula turis asing yang tertarik untuk menyaksikannya. (Bersambung ke bagian 3)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar