Jumat, 22 Januari 2010

PEREMPUAN YANG SEMPURNA (BAG. 1)

Sudah pukul dua belas siang, ketika kupacu Panther inventaris kantor ini untuk meninggalkan peternakan unggas Legok Mandiri. Tak lama aku sudah tiba di daerah jalan pedesaan Ranca Iyuh yang kurang bagus, sehingga dengan terpaksa harus kukurangi kecepatan tungganganku. Perutku yang mulai terasa perih mau tak mau memaksaku untuk segera mencari tempat yang pas di sepanjang jalan pedesaan yang sunyi, agar dapat kunikmati nasi bungkus yang telah kubeli di sebuah kedai nasi sebelum memasuki areal pedesaan di kabupaten Tangerang ini.

Kutepikan Panther ini di bawah sebuah pohon trembesi yang teduh. Sambil menghela napas, kumatikan mesin mobil, sesaat kemudian aku sudah menikmati nasi bungkus, sambil sesekali meneguk air kemasan yang tergeletak di dasbor mobil.

Ya Tuhan, betapa beruntungnya hamba-Mu ini? Betapa banyaknya nikmat hidup yang telah Kauberikan untukku selama ini, meski sejak kecil sebagai anak bungsu seorang petani yang hidup pas-pasan, aku akhirnya berhasil menjadi seorang dokter hewan, lalu begitu lulus langsung mendapatkan pekerjaan mapan dengan penghasilan yang lumayan menggiurkan, serta fasilitas yang memadai dari sebuah perusahaan obat hewan terkemuka di negeri ini.

Banyak teman dan kerabat menyebutku perempuan hebat. Aku tak mengerti arti ‘perempuan hebat’ yang mereka katakan padaku. Entahlah, apakah mungkin karena setiap hari kuhabiskan waktuku berkendara mobil dari satu peternakan ke peternakan lain yang letaknya jauh di pelosok pedesaan seorang diri? Ataukah karena di keluargaku, sebagai satu-satunya anak perempuan , justru aku yang paling berhasil dalam berkarir? Sesungguhnya menurutku, aku adalah perempuan biasa, bahkan sesungguhnya aku perempuan yang belum sempurna! Ya, aku tidak hebat! Sama sekali tidak hebat, karena hati nuraniku tak bisa dikelabui, bahwa sesungguhnya jiwaku sudah lelah dengan semua ini! Ya, aku lelah karena aku hanya memikirkan pekerjaan dan semuanya harus berjalan dengan baik untuk mendapatkan uang. Aku iri bila melihat perempuan lain yang tersenyum bahagia bersama suami dan anak-anaknya! Aku iri melihat perempuan lain yang bisa menjadikan anak-anaknya sebagai manusia unggulan! Ya, bagiku sehebat apa pun karirku, semuanya tetap nihil, selama aku belum menjadi perempuan yang sempurna yaitu menjadi seorang istri sekaligus seorang ibu!

Terbayang betapa dahsyatnya menjadi seorang istri juga menjadi seorang ibu. Dia adalah permaisuri bagi suami, dia adalah motivator utama bagi suami-suami untuk selalu bersemangat dan terus maju menjalani kehidupan, sekaligus pelita bagi anak-anaknya untuk menyongsong masa depan gemilang!

Ah, andai saja aku sudah bersuami dan memiliki anak, tentulah hidupku akan lebih berwarna seperti indahnya warna pelangi. Andai saja aku memiliki suami, tentunya aku akan lebih mudah menjalani hidup ini. Setiap masalah datang menerpa, aku dapat mencari solusi bersamanya. Bukankah dua kepala lebih baik dari satu? Suami juga akan membuatku merasa aman, karena dialah yang akan melindungiku sepanjang nafasku.

Aku menarik nafas dalam. Sungguh, aku merasakan bahwa hidupku masih separuh dari sempurna, semua kejayaan kehebatan yang kuraih, itu hanya separuh dari kesempurnaan yang semestinya dapat kugapai. Ya, aku tetap seorang perempuan, perempuan yang ingin dicintai oleh seorang laki-laki. Perempuan yang ingin dimiliki oleh seorang laki-laki!

Mungkin orang akan menyebutku perempuan kuno, karena di jaman emansipasi seperti sekarang ini, aku masih membutuhkan laki-laki untuk menjadi tempat berbagi sekaligus tempat berlindung. Aku tak peduli, aku hanya berusaha untuk mendengar jeritan hati nuraniku yang sesungguhnya.

Kadang aku merasa hampa dan terpuruk seorang diri. Aku tak tahu sampai kapan aku akan sendiri seperti ini? Di saat usiaku yang semakin lama semakin bertambah, meski aku mempunyai pekerjaan mapan, tidaklah mungkin aku akan bisa terus menekuni pekerjaan ini! Seloyal apa pun pada perusahaan, regenerasi dalam perusahaan pasti layak terjadi. Tenaga muda yang fresh dengan gaji yang lebih murah tentunya lebih diinginkan oleh perusahaan.

Aku juga sudah bosan saat setiap cuti dan bertemu dengan keluarga besar ayah atau ibuku, aku selalu menjadi sorotan karena aku belum juga menemukan pasangan hidup alias berkeluarga. Belum lagi jika bertemu teman yang sudah menikah, ocehannya kadang membuat telingaku panas. Bukan itu saja, ucapan sesama teman lajang di tempat kos pun, kadang-kadang membuat nyeri di hati.

“Makanya, Val, cepat-cepat punya cowok, punya suami! Dan….cari suami yang kaya, jadi nggak perlu capek kerja seperti sekarang ini. Keren sih jadi dokter hewan, memeriksa ayam di peternakan milik orang-orang kaya, gajinya lumayan meskipun kamu merangkap jadi supir juga! Tapi capek kan, datang ke peternakan unggas di pelosok desa dari senin sampai jumat kadang-kadang sabtu juga, sementara kamu tinggal kos di Jakarta?” Aku tersenyum sendiri teringat ocehan Ayudya, teman kos, yang pernah sekali ikut bersamaku berkeliling mengontrol peternakan ayam mulai pagi hingga malam, dan baru kembali ke tempat kos menjelang pukul sembilan malam karena kemacetan di Kebun Jeruk.

“Susah, Ayu!” balasku berusaha sabar. “Bagaimana aku mau punya suami? Kenalan sama cowok juga nggak ada waktu. Kamu tahu sendiri ‘kan, aku kerja berangkat pagi lalu pulang malam hari, sementara kebanyakan laki-laki yang kutemui di lingkungan kerjaku, umumnya sudah berkeluarga. Entah dia yang pengusaha peternakan, atau insinyur yang kerja di peternakan, sama saja! Sudah menikah semua. Paling-paling yang muda-muda ya cuma pegawai kandang alias anak kandang! Mau cari kenalan dengan clubbing sepulang kerja malam, badan rasanya sudah rontok karena capek setir mobil seharian! Lagian, buat jadi suami aku juga harus memilih yang benar-benar baik dan bertanggung jawab, ‘kan? Nggak asal caplok, nantinya nggak cocok terus cerai. Aduh amit-amit, jangan sampai itu terjadi padaku. Aku mau laki-laki baik, bertanggung jawab dan dia satu untuk seumur hidupku.”

“My…My….!” Ayudya mengelus pundakku, sahabatku itu tahu benar bahwa aku benar-benar sedang putus asa. “Jangan kuatir, harus tetap punya keyakinan bahwa suatu saat pasti kamu akan menemukannya!”

“Tapi, diam tanpa usaha juga nggak bisa lo!” Arina yang tengah membaca majalah wanita menambahkan, rupanya gadis itu juga mengikuti pembicaraanku dan Ayudya.

“Maksudmu?” aku mengernyitkan kening.

“Ya, harus banyak mengenal dunia lain selain dunia pekerjaanmu itu, supaya ketemu dengan orang-orang baru.”

“Caranya?”

“Banyak! Kalau kamu merasa buat clubbing udah capek, yang lebih enak kita cari teman dari dunia maya. Kayak aku! Aku punya calon banyak.”

Aku menggigit bibir.

“Nggak deh, kalau aku nggak minat!” Ayudya mencibirkan mulutnya. “Susah buat dipercaya. Kita nggak tahu dia sesungguhnya, sampai kita ketemu secara langsung alias kopdar, kopi darat!”

“Kecuali kita ketemu cowok yang jujur, dan punya itikad baik.” Tambahku kemudian.

“Itu barang langka! Jaman sekarang jaman edan, sulit cari orang jujur!”

“Tepat!” Aku menjentikkan jempol. “Sebetulnya sih….., aku juga nggak apa-apa kalau sampai nggak punya jodoh,” komentarku dengan nada berat kemudian, “Cuma, ya… kalau saja sampai aku harus hidup sendiri, aku ingin aku sudah punya usaha sendiri, misalnya punya peternakan sendiri meskipun kecil-kecilan. Jadi, meskipun capek, ya capek mengurus peternakan sendiri ‘kan beda. Sayangnya untuk saat ini aku nggak punya modal yang cukup buat itu.”

Ayudya terkekeh.

“It’s okay, Val,” Arina memutus tawa Ayudya, “awalnya semua ‘kan dari cita-cita, yang penting kamu juga cari jalan keluar untuk mewujudkannya.” Arina menyemangatiku. “Ora et labora!”

Tiba-tiba handphone di dalam tas bernyanyi, serta merta aku tersentak dan meraih handphone. Ah, habis sudah waktuku untuk melamun saat ini.

“Halo?” sapaku, setelah memijit tombol bicara.

“Bu Val?” suara Iwan, yang kuhapal betul dari kantor pusat terdengar jelas. “Posisi di mana, Bu?”

“Memang kenapa, Wan?”

“Ada sedikit masalah nih dengan peternakan Bumi Java di Dandang, Bu.”

“Masalah apa?”

“Tadi ada pesanan vaksin mendadak untuk dipakai sore ini, sayangnya mereka telepon setelah setengah jam tim ekspidisi harian kloter terakhir jalan, jadi…”

“Minta tolong aku ke kantor, ambil vaksin pesanan mereka dan anter ke peternakan mereka!” potongku cepat.

“Tepat sekali, Bu! Bisa, kan Bu?”

Aku menarik napas dalam.

“Ya sudah, aku jalan ke kantor.” Ujarku pasti kemudian. “Tapi aku datang, barang sudah siap kubawa, ya! Nggak pakai tunggu-tunggu. Aku masih punya jadwal kunjungan satu peternakan lagi soalnya di daerah Rumpin.”

“Barang sih sekarang juga sudah siap angkut, Bu. Jangan kuatir.”

“Oke kalau begitu.”

“Terima kasih, Bu.”

“Sama-sama.”

Selangkah di muka! Motto perusahaan itulah yang memang membuat aku tak bisa berbuat banyak jika menghadapi masalah seperti itu. Kepuasan pelanggan memang nomor satu bagi perusahaan, untuk itu perusahaan memastikan bahwa apa pun kondisinya pelayanan permintaan pelanggan mesti dinomorsatukan, termasuk jasa servis pengiriman barang pesanan. Untuk itu perusahaan sudah menyiapkan armada pengiriman barang yang berangkat dengan jam yang berbeda. Namun tetap saja, kadang ada saja pelanggan yang mendadak memesan barang terutama obat dan vaksin yang di luar jam antar tim ekspidisi, sehingga mau tak mau para veterinary medical advisor, seperti aku ini salah satunya, yang bertanggung jawab untuk mengantarnya sesuai daerah kerja masing-masing.

Setelah satu jam perjalanan aku tiba di kantor. Hanya dalam sepuluh menit, barang yang akan kuantar sudah dimuat ke dalam bagasi belakang, lalu dalam satu setengah jam perjalanan kemudian aku sudah tiba di peternakan unggas Bumi Java di daerah Dandang sana. Sesungguhnya kalau saja jalan raya Serpong yang sudah cukup lebar ini tidak terlalu banyak dilewati kendaraan, dan tidak macet, dalam waktu kurang dari satu jam aku sudah bisa tiba di sana. Luar biasa memang perkembangan Serpong yang pesat dari waktu ke waktu!

Peternakan unggas petelur, dengan kapasitas 100,000 ekor itu kini sudah di depan mataku. Hanya dengan memijit klakson saja, gerbang dari baja yang kokoh itu perlahan dibuka oleh petugas satpam.

“Sore, Pak Tirta!” Aku menyapanya ramah. “Mau antar vaksin, Pak!”

Pak Tirta tersenyum.

“Masuk, masuk saja Bu!”

Aku memasukkan mobilku, melewati kolam desinfeksi yang membersihkan ban mobil, sekaligus menyemprot body mobil yang masuk, agar terhindar dari penyakit unggas menular yang mungkin terbawa dari kendaraanku ini dan dapat menulari unggas di peternakan itu.

Gegas kuturun dari Pantherku dan langsung membuka bagasi.

“Hai, Val!” Ko Johannes yang keluar dari kantor menyambutku. “Kok kamu yang antar sendiri ke sini?”

Aku menoleh.

“Iya, Ko Jo. Soalnya bagian ekspidisi sudah jalan semua, jadi saya sendiri yang antar. Habis katanya urgent, karena Ko Jo mau pakai vaksinnya sore ini?”

“Ya, untung perusahaanmu punya kamu yang berdedikasi tinggi!” Ko Jo tersenyum saat memujiku.

“Ah, Ko Jo bisa aja!” Aku tersipu, meski dalam hati aku merasa tersanjung dan luar biasa bangga.

“War, kamu angkat tuh vaksinnya, jangan diam saja! Masak Dokter Val juga yang mesti menurunkan stiroform vaksin kita yang lumayan berat dari mobilnya!” Ko Jo memerintahkan Kawar, pegawai dari dalam kantor yang kebetulan lewat. Kawar segera saja mengerjakan perintah si bos.

“Ayo masuk Val!” Ko Jo mengayunkan jemarinya. “Santi, kamu buat omelet buat Dokter Val yang sudah susah payah ke sini mengantar pesanan kita!” perintahnya kemudian pada pembantu pribadinya.

“Jangan, Ko. Nggak usah, saya baru saja makan siang tadi!”

Santi tampak ragu.

“Ngga usah Mbak Santi, sungguh saya kenyang.” Tegasku lagi. “Terima kasih.”

“Benar, Val?” Ko Jo menatapku.

Aku balik menatapnya dan mengangguk pasti. Tiba-tiba seorang pria keturunan cina yang tampan keluar dari kamar kerja pribadi Ko Jo. Matanya menatapku sinis sekejab, untuk kemudian masuk kembali ke dalam.

“Tony!” Ko Jo memanggilnya. “Sini, kenalkan ini Dokter Hewan Valentine, yang biasa mengurus program vaksinasi unggas di peternakan ini.”

Laki-laki tadi berbalik, lalu melangkah dengan enggan ke arahku. Serta merta kuulurkan tanganku.

“Val.”

“Anthony!” suaranya nyaris tak terdengar, lalu tanpa permisi dia kembali ke dalam.

“Dia adikku yang bungsu. Sebetulnya peternakan ini punya dia.” Ko Jo menambahkan sambil duduk di ruang tamu. “Dia dulu lulusan kedokteran hewan juga di Surabaya, dan sempat beberapa tahun mengelola peternakan ayam milik orangtua di Blitar, cuma setelah sekarang ini dia lulus sekolah bisnis di Singapura, dia yang akan mengelola peternakan ini.”

Aku hanya mengangguk-angguk, lalu menyerahkan surat jalan pada Ko Jo. Ko Jo membaca sebentar, lalu memanggil Tuti, staf administrasi peternakan.

“Tut, urus surat jalannya, setelah ditandatangani, kertas yang warna kuning diberikan kembali pada Bu Val.”

Tuti mengangguk pasti, dan lima menit kemudian pegawai tata usaha itu sudah menyerahkan kembali surat jalan kepadaku.

“Tony, ayo jalan ke kandang sebentar!” tiba-tiba Ko Jo memanggil adiknya yang sejak tadi berada di dalam kamar kerjanya. “Oh ya Val, kita sama-sama ke belakang sebentar, ya! Kamu bisa tolong kontrol sebentar ayam-ayam usia limabelas minggu di belakang, kan?” tiba-tiba Ko Jo berdiri, serta merta membuat aku juga mengangkat pantat mengekornya ke belakang.

Aku melangkah bersama Ko Jo, sementara Anthony, lelaki yang tampan itu sejak keluar dari dalam kamar kerja pribadi Ko Jo memilih melangkah sendiri agak jauh di belakang kami, dan entah mengapa hal ini membuatku merasa tak nyaman dan sedikit canggung berada di dekat Ko Jo.

“Saya puas sekali dengan ayam yang ini, Val. Tingkat kematiannya paling rendah sepanjang kita punya ternak ayam di sini, Val.” Komentar Ko Jo yang tampak bangga setelah tiba di depan flock ayam usia 15 minggu itu kemudian.

“Tapi sebaiknya ayam-ayam ini sudah masuk kandang batere, Ko Jo!” komentarku, “Bukankah seminggu yang lalu saya sudah sarankan untuk dipindah ke kandang batere daripada di sini sesak. Takutnya kalau sesak, dan cuaca hujan serta banyak petir seperti sekarang ini, ayam jadi kaget, dan mati karena saling injak, Ko Jo. Belum lagi litter -nya yang sudah cukup mengandung ammonia dari kotoran ayam, sehingga takutnya ayam terkena gangguan pernapasan nanti.”

“Iya sih, cuma kandang batere beberapa masih belum siap karena ada perbaikan, jadi masih menunggu dua tiga hari lagi.”

“Ya, diusahakan secepatnya saja, Ko Jo. Sayang kan, kalau ada kematian entah karena saling terinjak-injak, atau penyakit lain?”

Ko Jo mengangguk-angguk.

Aku mengamati kandang dengan teliti, sementara Ko Jo mengambil daftar rekapitulasi populasi ayam dari dinding kandang.

“Sampai saat ini, kematiannya baru di bawah sepuluh persen. Bagus, kan?”

“Ya, tapi harus segera dipindah ya, Ko!”

Ko Jo tersenyum, “Itu kelebihan kamu, Val, punya perasaan memiliki pada ayam-ayam yang sebetulnya bukan milikmu sendiri! Oh ya, kapan ya, ayam-ayam ini akan diambil darahnya untuk cek serologi terhadap penyakit tetelo, Val?”

“Rasa-rasanya saya sudah jadwalkan minggu depan ‘kan, Ko?”

“Begitu, ya?”

Aku mengangguk.

“Jangan kuatir, saya ‘kan yang membuatkan programnya, jadi saya nggak akan lupa Ko.”

“Begitu ya!”

Aku mengangguk pasti. Lalu menoleh dan mendekati Anthony yang hanya terdiam memandang flock sejak tadi.

“Sedang liburan ke sini, Ko Tony?” untuk pertama kalinya aku mengajaknya bicara. Bukan apa-apa, karena aku merasa kurang nyaman sejak sedari tadi aku bercakap-cakap akrab hanya dengan Ko Jo, sementara dia hanya terdiam dan menyendiri.

“Enggak juga,” Itu saja jawabnya. Dingin, dan tanpa memandangku.

Tentu saja sikap seperti itu membuatku menjadi kehabisan ide untuk pembicaraan berikutnya.

“Dia mungkin malas bicara, karena masih capek baru saja datang dari Surabaya, Val!” Ko Jo langsung saja nyerocos, seakan ingin menetralisir keadaan yang membuatku semakin tak nyaman saat ini. Lalu tak lama kemudian, Ko Jo berbisik pelan kepadaku, “Selain itu memang dia agak pendiam.”

Aku mengangguk-angguk, mencoba memahami penjelasan Ko Jo, meski jauh di dalam hatiku aku yakin sekali jika laki-laki yang bernama Anthony, adik Ko Jo ini memang tidak seramah kakaknya, walau memang dia jauh lebih tampan!

***

Kubunyikan klakson mobil di depan pintu masuk Bumi Java Farm, Senin pagi ini. Sesuai jadwal, sekaligus janjiku, hari ini adalah hari jatuh tempo pengambilan darah ayam usia 15 minggu, untuk test serologi terhadap vaksinasi penyakit tetelo.

Tak lama pintu gerbang dibuka. Aku langsung memasukkan mobilku, dan sepuluh menit kemudian aku sudah memasuki kantor peternakan sekaligus membawa satu kantung spuit steril 2.5 cc untuk mengambil sample darah ayam, dan container berisi es untuk penyimpan darah yang telah kuambil dengan spuit nanti.

“Selamat pagi! Ada Ko Jo, Mbak?” sapaku pada Tuti yang tampak sibuk di meja kerjanya.

Brakk!! Suara pintu kamar Ko Jo dibuka dari dalam dengan agak kasar, membuat semua yang ada di ruangan tersentak. Anthony berdiri di depan pintu kamar yang telah terbuka dan dengan wajah dingin menatapku.

“Eh, Ko Tony, selamat pagi. Ko Jo ada? Saya kan sudah janji minggu lalu, mau ambil darah ayam untuk tes serologi tetelo minggu ini.” Aku mencoba untuk tetap ramah, meski jantungku berdebar-debar karena kaget atas pintu yang dibuka dengan kasar.

“Ko Jo pergi!” jawabnya tak ramah. “Tapi kalau kamu mau ambil darah, aku akan antar ke kandang.

“Kalau begitu, bisa sekarang kita ke belakang?” tanyaku penuh hati-hati. Aku memang benar-benar paling takut jika salah bicara dengan pelanggan, karena kadangkala ada juga pelanggan yang senang mengadu ke kantor, pada atasanku langsung, bahkan juga pada direktur perusahaan ini, meski hanya gara-gara masalah sepele. Dan akibatnya lagi-lagi yang menjadi veterinary technical advisor, seperti aku inilah, yang ditegur atasan masing-masing.

Laki-laki tampan namun dingin itu tak menjawab, hanya keluar meninggalkan ruang kantor dan melangkah menuju flock belakang, dan dengan menahan hati aku mengikutinya dari belakang. Hm, sungguh benar-benar berbeda jauh dengan Ko Jo yang ramah! Batinku sambil mencengkeram geraham menahan kesal di dada.

Aku menyamakan langkahku dengan lelaki dingin itu.

“Memang Ko Jo sedang ada urusan ke Jakarta, ya Ko?” Aku berusaha membuka pembicaraan, sambil melangkah bersama adik Ko Jo itu.

“Bukan!”

“Lantas?”

“Sedemikian besar ya, perhatian kamu sama Ko Jo?!”

Aku tersentak. Wajahku terasa menghangat. Sementara Anthony menoleh ke arahku dengan sinis dan bisa kutangkap sorot matanya yang penuh dengan kecurigaan.

Aku menjadi terbungkam.

“Ko Jo ke Singapura, menemani istrinya yang mau melahirkan anak pertama mereka!” Tak kusangka akhirnya kudengar penjelasan panjang itu dari bibirnya.

“Oh..” aku ternganga, kaget karena sungguh aku tak ingat jika memang saat ini sudah jatuh bulan bagi istri Ko Jo untuk melahirkan. Ko Jo memang sering bercerita tentang istrinya padaku, juga tentang kehamilan anak laki-laki pertama mereka.

“Makanya, jangan lagi-lagi mengejar suami orang!”

Plak! Aku seakan ditampar. Kali ini wajahku langsung memanas.

“Jadi maksud Ko Tony….?!” balasku emosi, nemun belum sempat kuteruskan dia sudah memotong pembicaraanku.

“Kamu menyukai Ko Jo, kan? Dan kini kamu baru tahu Ko Jo punya istri dan mau punya anak?! Makanya jangan salah mengerti kalau Ko Jo baik hati, dia memang selalu baik hati sama semua orang, sering memuji orang dan sering orang menjadi jatuh hati padanya!”

“Hah?” Mataku terasa membasah.

“Kenapa? Mau menangis? Penyesalan memang selalu datang terlambat!”

Hatiku benar-benar mendidih.

“Aku tidak seperti yang Ko Tony duga!” ujarku perlahan tapi penuh intonasi, karena menahan amarah saat harga diriku diinjak habis. “Aku memang nyaris perawan tua, di usiaku yang sudah lebih tigapuluh tiga, tapi untuk menjadi istri suami orang, bukan pilihanku!”

Aku melangkah lebih cepat, kutinggalkan Ko Tony begitu saja, agar bisa segera tiba di kandang ayam-ayam yang hendak kuambil darahnya. Aku benar-benar muak berada di dekat lelaki yang baru kukenal belum lagi seminggu, tetapi sudah berani menilaiku dengan tidak bijaksana sama sekali.

“Eh…Mbak Val!” tiba-tiba Jonet, penjaga kandang batere menyambutku.

“Pagi, Jonet!” Aku tersenyum dan bersusah payah menyembunyikan kekesalan hatiku. “Bantu saya tangkap ayam kurang lebih dua puluh ekor, untuk ambil darahnya, ya!”

“Beres, Mbak!”

Jonet menangkap ayam satu persatu, menyodorkan padaku, dan aku langsung merentangkan sayapnya untuk mengambil darah dari pembuluh darah di bagian sayapnya dengan spuit steril yang telah kusiapkan. Sempat kulirik Anthony hanya memerhatikanku sambil menaruh tangannya yang terlipat di dada.

“Sudah dua puluh kan, Mbak?”

Aku menghitung kembali spuit yang telah berisi darah ayam.

“Oke cukup. Terima kasih ya!” ujarku sambil tersenyum. “Oh ya, ada keluhan dengan ayamnya?”

Jonet menggeleng.

“Sehat-sehat kok, Mbak! Seperti juga petugas kandangnya!” Jonet bercanda.

Aku lagi-lagi terpaksa tersenyum.

“Syukurlah kalau semua sehat!”

“’Kan sering ditengokin dokternya!”

“Begitu, ya?” Aku membereskan spuit yang telah berisi darah dan memasukkannya ke dalam container yang berisi es, serta menyimpan spuit steril yang belum terpakai ke dalam tas spuit.

Jonet tertawa.

“Mari, Mbak, saya bawakan semua alat-alatnya, ke dalam mobil Mbak,” Jonet dengan tangkas membawa alat-alatku, dan tak lama sudah melangkah meninggalkan kandang.

“Terima kasih, ya! Tunggu, nanti saya juga ke sana.”

Aku mencuci tangan di keran di samping kandang, lalu selesai mencuci tangan aku melangkah menghampiri Anthony yang masih berdiri di dekat kandang.

“Ko Tony, saya sudah selesai mengambil darah untuk tes serologi, dan saya pamit sekarang. Selamat siang, terima kasih!” pamitku tanpa senyum, sementara dada ini terasa seakan ingin meledak.

Laki-laki itu tak menjawab. Dan tanpa menunggu lama, aku bergegas meninggalkan kandang untuk menuju tempat mobilku terparkir. Tak kuhiraukan beberapa anak kandang yang bersuit-suit menggodaku. Kumaklumi kenakalan mereka, jika kadangkala mereka memang menjadi sedikit liar, karena kaum hawa memang merupakan barang langka hampir di semua kompleks peternakan ayam seperti ini.

“Dokter Val….” Tiba-tiba kudengar suara seseorang memanggilku di belakang. Tapi aku mengabaikannya, aku tahu pasti itu suara Anthony.

“Dokter Val..!” kudengar kembali namaku disebut.

“Mbak, dipanggil Ko Tony tuh!” seorang anak kandang memanggilku.

Aku menghentikan langkahku dengan agak ragu, lalu menengok ke belakang. Ko Tony sudah di belakangku.

“Ada titipan telur untukmu dari Ko Jo!” ujarnya tanpa memandangku. “Katanya telur itu telur pertama dari ayam pullet yang sudah naik kandang batere.”

“Ah, nggak usah, Ko. Terima kasih. Saya harus buru-buru ke laboratorium di Bogor untuk mengantar darah yang akan diperiksa ini!” Tolakku, “Permisi, Ko!” Aku buru-buru berlari ke arah mobilku. Jonet sudah menantiku di sana.

“Dokter Val!”

Aku tak peduli. Yang kuinginkan saat ini hanya ingin cepat pergi dari peternakan ini. Siapa yang tak kesal, mengabdi kepada perusahaan, memberikan yang terbaik untuk pelanggan, malah disangka ingin merebut suami orang!
(BERSAMBUNG KE BAG.2)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar