Jumat, 22 Januari 2010

PEREMPUAN YANG SEMPURNA (Bag.2)

“Pak Daryono, hari ini ada jadwal pengiriman ke Bumi Java Farm, kan?” aku berdiri di samping supir ekspedisi yang biasa mengantar pesanan pelanggan di area kerjaku, Sabtu pagi ini.

“Benar, Mbak. Memang kenapa?”

“Aku titip surat hasil test darah ini buat Bumi Java Farm, ya! Berikan pada Ko Thony. Jangan sampai lupa ya!” aku menyodorkan sebuah amplop yang sudah kulem rapi.

“Ko Tony? Ko Jo barangkali, Bumi Java Farm kan Ko Jo yang punya?”

“Iya, tapi sekarang yang di sana namanya Ko Tony. Ko Jo keluar negeri.”

“Oh….” Pak Daryono mengangguk-angguk. “Lha memang Mbak Val nggak mau ke sana minggu ini?”

“Kemarin Senin aku dari sana. Nah, saya mesti kontrol ke peternakan lain, sementara hasil test darahnya sudah difax ke kantor pagi hari ini, hasilnya sih baik-baik saja, jadi saya minta tolong titip sama Pak Daryono. Saya juga tulis surat di sini, dan nanti saya ke sana minggu depan bawa surat aslinya. Yang penting mereka kan dapat melihat hasilnya yang baik-baik saja, sesegera mungkin.”

“Ya sudah, nanti saya sampaikan, Mbak.” Pak Daryono mengambil amplop dari tanganku.

“Terima kasih.”

“Oh ya, kalau Ko Tony nggak ada, saya berikan sama siapa?”

“Mbak Tuti saja.”

“Oke.”

“Terima kasih ya!”

Pak Daryono tersenyum. Aku menarik napas lega. Ah, syukurlah aku tak harus datang ke sana dalam waktu dekat ini. Entahlah, sejak “tragedi” pengambilan darah kemarin, aku enggan untuk ke sana lagi.

Aku melangkah menaiki tangga ke ruang meeting.

“Val, jangan lupa nanti malam, kamu yang datang ke pesta pernikahan anak Pak Agus Wijaya, ya!” Pak Agung, Sales Manager, di perusahaan ini menyambutku ketika aku baru saja melongokkan wajahku di pintu ruang meeting.

“Sama Pak Agung ke sananya?” aku masuk dan menutup pintu, lalu menghampiri Pak Agung.

“Kamu saja sendiri. Saya kebetulan juga ada pesta saudara di Bandung. Nggak apa-apa, ‘kan? Percaya deh, kamu ‘kan orangnya cuek.”

“Tapi masak sendiri sih, Pak?”

“Ya, ‘kan bisa pergi sama pacarmu! Nggak apa-apa kok!”

Wajahku menghangat. Sama pacar? Pacar dari langit?!

“Ya, sudah.” Ujarku pasrah.

“Kamu ambil uang sumbangannya di Bu Erni, dia sudah siapkan dari tadi. Jangan lupa kamu serahkan langsung sama Pak Agusnya ya, tadi aku lihat sudah ditutup dengan amplop rapi kok sama Bu Erni.”

“Ya, Pak!” ujarku seraya meninggalkan Pak Agung, dan masuk ke ruang keuangan.

“Hai, Mbak Val!” Bu Erni menyambutku dengan ramah. “Mau ambil sumbangan untuk pesta Ko Agus Wijaya pemilik Golden Cahaya Farm, ya?”

Aku mengangguk pasti.

“Ini…” Bu Erni menyodorkan amplop yang tertutup rapi.

“Nggak pakai tanda terima kan, Bu?”

“Ya enggaklah, Val!”

“Ya, abis biasanya kalau berbau sumbangan ‘kan kantor suka minta tanda terima.”

“Enggak, enggak usah!” Bu Erni tersenyum. “Kita percaya kok, kalau sumbangannya pasti sampai. Lagian kalau nggak kamu serahkan sama yang bersangkutan, paling-paling omset penjualan kamu dari peternakannya ‘kan menurun. Ya, nggak?”

“Ya jelaslah, Bu!”

“Kenapa, kamu kok suntuk kayaknya? Capek ya?”

Aku menghela napas.

“Sudah ijin saja minta pulang lebih awal. Kan nanti malam kamu mesti pergi ke undangan juga. Pak Agung pasti kasih ijin.”

Aku menghela napas.

“Ya, cobalah nanti saya minta ijin sama Pak Agung.”

“Iya, minta ijin saja. Sekali-kali nggak meeting mingguan, ‘kan nggak masalah. Yang penting pekerjaan baik-baik saja.”

“Oke deh Bu, terima kasih ya Bu. Saya bawa nih angpaonya.”

“Take care!”

Aku mengangguk pasti, dan meninggalkan ruang keuangan.

“Sudah, Val!” Pak Agung menoleh ke arahku ketika aku masuk ruang meeting kembali.

“Sudah. Oh ya, Pak, saya boleh minta ijin untuk pulang lebih awal?”

“Memang kenapa? Mau ke salon buat persiapan nanti malam?” Pak Agung tersenyum menggoda.

“Bukanlah Pak, cuma saya kan harus cuci mobil dulu segala, masak mau pergi undangan ke hotel berbintang mobilnya kotor. Selain itu juga pengen istirahat saja, habis ntar malam mesti pergi lagi.”

“Ya sudah, kalau kamu mau pulang sekarang, pulang saja.”

“Bener nih, Pak?” tanyaku bersemangat.

Pak Agung mengangguk pasti.

“Terima kasih ya, Pak!” aku mendadak bahagia. “Saya pulang duluan ya, Pak!”

Mencari tempat parkir di Hotel Le Meridien ini ternyata bukan hal yang mudah. Aku benar-benar dibuat mengeluh. Sungguh tak bisa kupercaya jika hotel semewah ini tidak disertai area parkir yang memadai. Untunglah di saat aku hampir putus asa, ada sebuah mobil yang keluar meninggalkan tempat parkir basement ini, sehingga aku dapat memarkir kendaraanku di sana.

Tak lama aku sudah memasuki salah satu ballroom tempat pesta pernikahan putera salah satu pemilik peternakan unggas klien kantorku itu. Aku mengisi buku tamu, dan langsung saja masuk ke ruang pesta setelah menerima cendera mata dari seorang gadis cantik di bagian penerima tamu.

“Val!” kudengar seseorang memanggilku.

Aku menoleh ke arah suara. Ko Hadijaya tersenyum dan menghampiriku bersama istrinya.

“Eh, Ko Hadi, Ci Fanny!” aku langsung menyalami keduanya bergantian.

“Baru datang, ya?”

“Iya, cari parkirnya susah, Ko!”

“Memang. Kenapa ga pakai vallet parking saja, Val!”

“Ya, Ko Hadi! Masak mobil Panther saja pakai divallet parking!” aku tertawa. “Nanti Ko, kalau saya sudah dapat mobil inventaris yang sedan, nah itu baru cocok pakai valet parking!”

Ko Hadi dan istrinya tertawa.

“Iya bener kan, Ci!” aku menatap istri Ko Hadi.

Istri Ko Hadi hanya tersenyum.

“Nanti saya bilang sama Ko Anton bos besarmu, biar kamu dikasih mobil sedan!”

“Ah Ko Hadi…masak iya sih dikasih mobil sedan? Kerjanya saja sudah tengokin ayam ke peternakan di pelosok desa, nggak mungkin dikasih sedan!”

“Eh bener juga ya!” Ko Hadi tertawa lagi.

“Oh ya, Ko, saya tinggal dulu ya, saya antri salaman dulu, sekalian nyerahin angpao dari kantor!”

“Oke..oke!”

Aku melangkah menuju orang-orang yang sudah membentuk antrian panjang untuk bersalaman dengan pengantin. Sambil berdiri menanti giliran, aku mengeluarkan amplop dari Bu Erni yang mesti kuserahkan langsung pada Ko Agus Wijaya yang tampak sumringah di atas pelaminan di samping putra bungsunya yang menikah.

“Ko Agus, selamat ya! Dan ini ada titipan dari kantor, Ko. Oh ya, Pak Agung titip salam, beliau tidak bisa hadir malam ini, karena ada kerabat dekatnya yang juga menikah di Bandung.”

“Terima kasih sudah datang ke sini, Dokter Val. Salam kembali untuk Pak Agung, ya!” Ko Agus dengan ramah menyalamiku. “Oh ya, bos besar kamu, Ko Anton Wijaya ada datang juga lo. Cuma saya nggak tahu dia orang duduk di mana sekarang.”

“Begitu ya? Sekali lagi selamat ya, Ko!”

“Terima kasih. Silakan dinikmati hidangannya, Dokter Val!”

Aku mengangguk, lalu menyalami pengantin dan kemudian pasangan suami istri besan Ko Agus tentunya, untuk kemudian turun menuju tempat perjamuan yang telah di sediakan.

Aku memandang ke arah meja perjamuan, hampir semua tampak penuh, untunglah akhirnya kulihat Ko Hadi yang melambaikan tangannya ke arahku mengajakku untuk bergabung dalam meja perjamuannya. Serta merta aku menghampiri mejanya.

“Val, ini ada bosmu duduk sama kita-kita juga.” Ko Hadi menunjuk Pak Anton Widjaya, pemilik perusahaan tempat aku bekerja.

“Kamu beda ya Val, kalau pakai gaun pesta begitu!” komentar Pak Anton sambil menatapku. “Saya biasa lihat kamu pakai celana panjang saja sehari-hari.”

Aku hanya tersenyum, dan menyalami Pak Anton dan istrinya. Kusalami juga Ko Andre dari Sari Murni Farm dan kekasihnya yang duduk satu meja. Ko Andre juga salah satu pelanggan vaksin dan obat unggas di area kerjaku.

“Duduk sebelah sini, Val! Masih kosong satu, bisa untukmu!” Ko Hadi menunjuk kursi kosong di samping kursi istrinya.

“Terima kasih, Ko Hadi!” Aku melangkah ke arah kursi kosong.

“Oh ya, kamu sudah kenal dia, Val?”” Tambahnya kemudian sambil menunjuk laki-laki yang duduk di samping kursi yang hendak aku duduki.

Aku menoleh sekilas. Jantungku mendadak berdebar hebat. Anthony! Laki-laki yang kubenci itu tengah berdiri dari tempat duduknya dan menatapku tak berkedip. Aku sendiri cepat mengalihkan pandangan mataku. Entahlah, aku merasa enggan untuk bertatap mata dengannya. Di luar dugaanku, dia lalu menarik kursiku agar memudahkanku duduk di situ. Sungguh tak kuduga, malam ini dia jauh lebih baik kepadaku dibandingkan waktu sebelumnya. Aku tak tahu pasti, mungkinkah dia sudah menyadari kesalahannya yang menuduhku bahwa aku menyukai Ko Jo?

“Terima kasih,” ujarku pelan padanya.

“Dia Anthony, Val, adiknya Ko Johannes, Bumi Java Farm!” Ko Hadi memperkenalkanku.

“Kami sudah kenal Ko Hadi!” tiba-tiba Anthony cepat menjawab sambil duduk kembali di kursinya. “Dia rajin datang ke peternakan kami.”

“Oh, Val memang dokter hewan andalan!” puji Ko Hadi. “Makanya, Ko Anton, kasih dia mobil inventaris sedan dong, dia bilang tadi cari parkir di sini susah, aku bilang pakai valet parking saja, eh dia bilang masak mobil Panther pakai valet parking!” Ko Hadi memandang Pak Anton dengan serius.

Wajahku menjadi hangat, Ko Hadi memang terlalu terbuka jika bicara, tak kusangka dia benar-benar akan mengatakan keluhanku pada Pak Anton bos besarku itu.

Pak Anton hanya tersenyum.

“Val, kamu jadi menantuku saja, nanti dijamin pakai sedan! Mau nggak, sama Ernest, anakku yang sulung?” Ko Anton berceloteh sambil tersenyum-senyum. “Dia suka tanyain kamu, Val. Gimana?”

Aku hanya tersenyum simpul. Kalau sudah begini, aku benar-benar harus bersabar, menahan hati.

“Kamu datang sendiri, Val?” tiba-tiba kudengar suara dari sebelah kananku, Anthony.

Aku mengigit bibir, menoleh ringan ke arah suara itu lalu mengangguk.

“Oh ya, aku sudah terima hasil uji serologi yang kamu kirim titip supir tadi siang. Terima kasih.”

“Sama-sama. Sebetulnya saya biasa kirim hasil tes via email dengan Ko Jo, setelah saya dapat hasil tes via email dari laboratorium virologi di Bogor, tapi kan Ko Jo tidak ada, sementara saya tidak punya alamat email Ko Thony. Jadi, saya hanya kirim copy hasil tes laboratorium, dan kalau Ko Thony menginginkan hasil tes yang asli, saya baru bisa antar minggu depan. Tidak masalah ‘kan Ko?”

“Oke, saya tunggu.” Komentarnya. “Tadinya saya pikir, kamu nggak mau datang lagi ke Bumi Java Farm, karena Ko Jo sudah tidak di sana lagi!” bisiknya kemudian.

Aku menggigit bibir. Membungkam. Ruangan mendadak terasa gerah meski full AC. Hm, mulai lagi dia membuka konfrontasi denganku, bahkan di sebuah pesta sekali pun!

“Ayo Val, dicicipi hidangannya!” istri Ko Hadi menepuk pundakku, dan bahkan tak segan-segan mengambilkan aku salah satu hidangan dari meja ke piringku. Dia seakan tahu benar, bahwa aku agak sungkan berada di sini.

“Oh ya, Ci Fanny! Terima kasih!”

“Kapan mau menyusul nikah, Val?” tiba-tiba istri ko Hadi bertanya.

“Pacar saja belum ada, Ci, boro-boro mau nikah.” Ujarku tanpa beban.

“Waktu kuliah nggak punya pacar?”

Aku menggeleng.

“Malas Ci, sama teman sekampus.”

“Sudah sama Irawan saja, Irawan dari Surya Hidup Satwa, dia juga single lo!”

Aku tersenyum.

“Dia teman sekampus saya, Ci!”

“Oh ya?”

Aku mengangguk.

Lalu kudengar istri Ko Hadi bicara dengan bahasa Mandarin dengan Ko Hadi.

“Val, kenapa repot-repot!” lalu ko Hadi menatapku, begitu juga istrinya. “Sama Anthony saja, dia juga masih single, usianya juga pas buat kamu, ganteng, baik hati lagi! Dia juga sedang cari istri, bukan begitu, Thon!” Ko Hadi menatap Anthony sambil tersenyum-senyum.

Wajahku mendadak panas. Apalagi ketika semua mata memandang ke arahku.

“Ah, Ko Hadi!”

“Ya kan, Thon!” Ko Hadi kembali menegaskan. “Kamu mau nggak jadi suami dokter Val? Asyik juga nanti, ayam-ayam Bumi Java Farm punya dua dokter hewan, Dokter Hewan Anthony dan Dokter Hewan Valentine!” Ko Hadi mengerlingkan matanya pada Anthony. “Percaya, Ko Jo pasti juga sangat setuju. Ko Jo ‘kan pengen kamu cepat punya istri, Thon! Dia sering cerita tentang kamu sama saya!”

Anthony hanya tersenyum.

“Susah Ko Hadi, dokter Val nggak suka sama saya,” komentarnya kemudian sambil cengar-cengir. “Dia sukanya sama…” dia tak meneruskan kalimatnya, membuat aku menoleh dan menatap ke arahnya. Bisa kurasakan sekujur tubuhku memanas dan debar jantung terpacu. Sungguh, mendadak aku khawatir benar mulut laki-laki ini akan berkicau mengenai kecurigaannya yang tak mendasar atas hubungan pekerjaan antara aku dengan Ko Jo, kakaknya. Jika itu terjadi, maka aku akan amat tidak nyaman sama sekali di pesta ini.

Tak kusangka, Ko Thony balas menatapku tajam, dengan sorot yang tak bisa kumengerti.

“Dia sukanya sama siapa, Thon?” Istri Ko Hadi tampak penasaran, begitu juga yang lain yang duduk dan mendengar pembicaraan kami termasuk Ko Anton, bosku.
“Dia sukanya sama ayam!”

Spontan semua tertawa, sementara aku hanya tersenyum dan menarik napas lega. Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku.

Aku menoleh.

“Ernest!” sapaku. “Ke sini juga?”

“Yap, sebentar ya, aku ‘say hallo’ sama teman-teman papa dulu!” dia langsung saja menyalami satu persatu penghuni kursi yang duduk di meja ini, terkecuali aku tentunya.

Ernest adalah anak sulung Pak Anton Wijaya, aku cukup sering bertemu dan berbincang dengannya, karena pada hari Sabtu kadang-kadang dia datang ke kantorku.

“Tumben ikut datang ke pesta, Nest!” Ko Hadi mengelus-elus pundak Ernest.

Ernest kulihat hanya tersenyum-senyum.

“Nest, kapan menyusul menikah?” Ci Fanny menggoda.

“Belum ada calonnya, Ci. He he he!”

“Sama Dokter Val saja, Dokter Val juga single!”

“Ah, Ci Fanny, saya jadi malu nih sama Val.”

“Pakai malu-malu segala, jadi laki kalau nggak cepat bertindak, perempuan yang diincar keburu disikat laki-laki lain lo.”

“Begitu, ya?” Ernest kulihat menanggapi agak serius.

“Jadi gimana, Val? Kita jadian aja yuk!” Ernest melirik dan tersenyum ke arahku.

Aku tersipu-sipu, dan sesaat wajahku terasa menghangat. Sungguh malam ini aku benar-benar menjadi bahan godaan orang-orang, sehingga aku harus sanggup menahan hati. Ya, ini semua karena gara-gara statusku yang masih sendiri! Karena aku belum menjadi perempuan yang sempurna!

“Jadi benar, kata papamu, kalau kamu naksir Dokter Val?” Ko Hadi ingin mendapatkan kepastian.

“Ah, Ko Hadi pengen tahu saja!” Ernest nyengir. Lalu berbisik ke telinga Ko Hadi, entah apa yang dibisikkannya, sehingga Ko Hadi tertawa gelak.

“Bisa saja kamu, Nest!” komentarnya kemudian.

“Oh ya, Val, temani aku ke meja prasmanan, yuk!” Ernest berdiri di sampingku, di antara aku dan Ko Anthony.

“Wah, pintar juga si Ernest, datang-datang langsung menggaet si Val!” Ci Fanny cengar-cengir.

“Iya…, Ko Anthony jadi kalah cepat deh!” Ko Hadi menambahkan. “Dokter Val sudah digaet si Ernest duluan.”

Sempat kulirik Anthony hanya tersenyum tipis. Ernest langsung saja menarikku untuk meninggalkan meja ini, lalu kulihat wajah Anthony yang melirik sinis padaku dan juga Ernest. Ah, andai saja aku tak perlu ada di tempat ini!

“Saya tinggal dulu ya…” pamitku pada semua yang masih duduk di meja ini seraya mengekor Ernest. “Kamu gila Nest, aku jadi nggak enak mereka semua, nih. Ntar jadi ramai beredar gossip kalau aku jadi pacarmu di kalangan peternak.” Celotehku.

Ernest tertawa gelak.

“Biarin saja, bagus malah. Itu artinya, kamu ‘kan nggak single lagi!”

Oh my God! Batinku. Susah memang bicara dengan Ernest, jawaban selalu seenaknya, tidak pernah serius, dasar anak muda!

Aku berdiri dan meneguk soft drink sambil menemani Ernest yang melahap steak yang telah dipilihnya dari meja prasmanan.

“Kamu pulang sama siapa, Val?”

“Sendiri.”

“Coba aku tahu kamu mau datang ke sini, aku ‘kan bisa jemput kamu sekaligus mengantarmu pulang.”

“Thanks anyway.”

“Parkir di mana?”

“Kebetulan dapat di basement.”

“Hebat dong! Aku susah dapat parkir, jadi aku parkir di seberang, entah gedung apa. Terus pakai shuttle bus ke sini dari tempat parkir itu.”

“Oh ya? Repot juga ya.”

Ernest menaruh piringnya yang kosong.

“Kamu nggak nambah, Nest?”

“Kenyang, ntar buncit lagi! Kalau sudah jadi suamimu buncit sih nggak masalah!”

“Ngaco kamu, Nest!”

Aku melirik Elle di pergelangan tanganku. Hampir pukul sembilan.

“Kenapa?” Ernest menatapku, “Mau pulang?”

Aku mengangguk.

“Ayo aku antar sampai ke mobilmu.”

“Tapi aku pamit sama orang-orang ke meja di tempat dudukku tadi dulu, ya!”

“Siip!”

Pukul sembilan lewat tiga puluh menit malam, aku baru memarkir mobil di rumah kosku.

“Val, tadi ada yang kirim telur satu peti untukmu!” Ayudya menyambutku saat kuturun dari mobil. “Orangnya cakep banget lo, pakai pakaian formil, berjas dasi! Namanya Anthony! Ya…Anthony! Aku saja sampai nggak bisa ngomong, karena terpesona melihat wajahnya. Kayaknya, aku baru kali ini melihat pria keturunan cina yang ganteng banget!”

Aku mengernyitkan kening.

“Anthony?”

Ayudya mengangguk.

“Dia tadi mencarimu, dan dia….”

“Tadi aku juga ketemu dia di pesta,” potongku cepat, “tapi dia nggak bilang apa-apa.”

Ayudya mengangkat bahu.

“Oh ya, telurnya kusimpan di dapur.”

“Oke, thanks ya Ayu! Oh ya, kalau kamu bikin mata sapi ambil saja. Be free.”

“Thanks!”

Aku masuk ke dalam kamarku. Melepas high heel dari kakiku, lalu kulempar tubuh ini ke pembaringan begitu saja, tanpa terlebih dulu mengganti gaun pestaku. Ah, nyaman sekali rasanya bisa meluruskan kaki seperti ini, setelah lelah selama di pesta tadi!

“Val…ada yang mau ketemu kamu!” tiba-tiba kudengar pintu kamarku yang diketuk bersamaan dengan suara Arina yang melengking. “Laki-laki, aku nggak tanya siapa, aku suruh dia duduk di teras.”

Aku menghela napas. Malam-malam begini ada tamu untukku? Rasanya aku nggak ada janji dengan siapa pun!

Aku bangun dan merapikan rambut sekejab, lalu melangkah keluar kamar menuju teras.

“Selamat malam!”

Mulutku ternganga. Anthony sudah berdiri tegak di hadapanku. Masih mengenakan pakaian yang dikenakannya di pesta tadi, hanya saja jasnya sudah dicopot.

“Ko Anthony?” sapaku tak yakin.

Laki-laki itu mengangguk.

“Ada apa, ya? Apa ada ayam yang sakit, Ko?”

Dia menatapku lama. Membuatku jadi kikuk sendiri.

“Oh…hm… duduk, Ko.”

“Hm, nggak usah, saya cuma mampir sebentar. Tadi saya ke sini antar telur dari Ko Jo untukmu.”

“Oh ya ya, tadi teman kos saya juga bilang begitu. Ehm, terima kasih ya! Semestinya nggak perlu repot-repot mengantar ke sini.”

“Nggak apa-apa. Itu amanat Ko Jo. Jadi harus dijalankan.”

Aku mengangguk-angguk.

“Kok bisa tahu alamat saya di sini?”

“Dari kartu namamu di kantor. Kamu tulis alamat lengkap rumah ini di baliknya, ‘kan?”

“Oh…”

“Saya nggak menganggu?” lagi-lagi dia menatapku.

Aku menggeleng.

“Duduk dulu,Ko!”

Kali ini dia yang menggeleng.

“Sudah malam, selamat malam!”

Aku mengernyitkan kening, menatapnya pergi sambil bergumam, “Selamat malam!”

Entah mengapa, di pembaringan aku jadi memikirkan laki-laki yang kubenci yang bernama Anthony itu. Aneh, menyebalkan sekali mulutnya di awal perkenalan kami, begitu juga ketika di pesta tadi, tapi mengapa malam ini dia datang ke sini? Mungkinkah dia menyadari kesalahannya, dan ingin memperbaiki hubungan di antara kami agar menjadi lebih menyenangkan?
(BERSAMBUNG KE BAG.3)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar