Jumat, 22 Januari 2010

PEREMPUAN YANG SEMPURNA (Bag.3)

Semua peternakan yang kujadwalkan untuk kudatangi selama seminggu ini sudah kudatangi, kecuali satu, Bumi Java Farm! Aku enggan sekali untuk mengontrol ayam-ayam peternakan itu. Aku pun tak peduli, meskipun aku sudah punya janji untuk mengantar hasil asli pemeriksaan serologi tetelo yang sudah dikirim dari laboratorium virology Institute Pertanian Bogor.

“Val, tadi ada telepon dari Bumi Java Farm. Ko Thony tanya hasil asli tes darah ayamnya. Dia bilang kamu janji mau antar minggu ini!” Pak Agung menatapku ketika aku memasuki ruang meeting hari Sabtu ini.

“Oh ya?”

“Makanya jangan suka janji.”

“Saya memang janji mau ke sana. Hasilnya juga sudah ada dari Bogor. Hanya kemarin nggak sempat ke farm. Nanti sepulang kantor sajalah, saya ke sana.”

“Ya sudah, sekarang saja kamu ke sana.”

“Lalu saya nggak ikut meeting lagi hari Sabtu ini, Pak?”

“Nggak apa-apa. Kepuasan langganan lebih penting, Val.”

Aku menggigit bibir.

“Ya sudah, saya jalan langsung ke sana, Pak!”

“Oke!”
Kuseret kakiku keluar dari ruang meeting, setelah menyambar tasku. Kuturuni tangga menuju ruang bawah, sambil mengecek isi tasku, demi meyakinkan jika surat tes serologi dari laboratorium virology IPB ada di dalam tasku.

“Darr!”

Aku tersentak.

“Kalau turun dari tangga, jangan sibuk dengan isi tas, nona!” Ernest, anak Pak Anton Wijaya, yang hendak ke ruang atas tersenyum padaku. “Masak aku mau ditabrak?”

“Sorry, Ernest!”

“Forget it. Sudah mau pulang?”

“Boro-boro pulang, mau ke farm! Mesti antar surat ini nih!” aku mengeluarkan surat yang kucari-cari tadi dari dalam tasku, dan mengacung-acungkannya di udara, lalu memasukkannya kembali ke dalam tasku.

“Farm mana?”

“Bumi Java, di daerah Dandang dekat Serpong.”

“Ayo aku temani kalau begitu!”

“Hah?” mulutku ternganga. “Mau ikut?!”

“Iya. Boleh ‘kan, Val?”

“Ngapain ikut ke farm. Bau!”

“Enggak juga. Dulu aku juga sering ke kandang ayam di Serang, ikut papa. Udah lama juga aku nggak ke kandang nih. Boleh, ‘kan?”

Aku menggigit bibir. Mana mungkin aku melarang anak bosku? Tapi aku punya jurus lain untuk menolaknya.

“Tapi mobil kerjaku nggak sebersih mobilmu, Nest! Nanti kamu jijik dan kotor, gimana?”

Ernest menggeleng.

“Ngga apa-apa, atau kalau begitu pakai mobilku saja. Enak juga kita ke farm pakai Wrangler!”

“Jangan, nanti mobilmu kotor!” kukeluarkan jurus jitu yang lain.

“Kotor tinggal dicuci ke bengkel. Apa susahnya sih?” Ernest menatapku sambil menimang kunci kontak. Dasar anak orang kaya! Huh, susah juga bicara dengan anak bos yang satu ini!

“Tapi, nanti aku jadi merepotkanmu karena mesti ke kantor lagi buat ambil mobilku?”

“Aku nggak merasa direpotkan, kok?”

Skak! Aku kehabisan kata.

“Tunggu sebentar ya, Val! Aku mau ke atas dulu, ke ruang papa.”

“Oke.”

Aku menunggu di teras kantor, tak lama Ernest muncul kembali.

“Yuk!” ajaknya penuh semangat. Ditariknya tanganku agar aku cepat mengikutinya.

“Aku saja yang setir, Nest. Kamu ‘kan nggak tahu lokasinya.”

“Nggak usah, aku yang setir, aku tahu jalan ke arah Serpong, aku pernah main ke daerah sana, tapi kalau menuju daerah Dandang nanti kamu bilang saja ke kiri, lurus atau ke kanan, oke?!”

Aku mengangguk.

Tak lama Ernest sudah melarikan Wranglernya, menemaniku menuju Bumi Java Farm.
“Kamu termasuk hebat juga ya, tiap hari bawa mobil berkeliling ke peternakan. Nggak capek, Val?” Ernest menatapku sesaat, lalu menyalakan CD, terdengarlah alunan Phil Collins membawakan lagu ‘True Colour’, salah satu lagu yang dulu dipopulerkan oleh Cindy Lauper.

“Capek sih, ya namanya kerja Nest! Kamu sih enak ya, kerjanya duduk manis di kantor ber- ac!”

“Capek juga, Val. Kadang-kadang jenuh kalau kelamaan kerja di depan komputer.”

Aku tersenyum.

“Jadi sama saja ya, kerja memang capek. Kalau kamu mau nggak capek, sebetulnya ikut di perusahaan orangtuamu saja.”

“Mereka sih maunya aku seperti itu. Tapi aku nggak mau. Aku lebih suka cari kerja sendiri dan bukan dikasih usaha dari orangtua.”

Diam-diam aku kagum juga dengan pendirian anak muda yang satu ini. Ya, walaupun dia anak boss, anak orang kaya, tapi dia enggan memanfaatkan fasilitas usaha yang telah dibina orangtuanya.

“Buatku, orangtua ‘kan sudah cukup repot membiayai sekolah kita dari kecil, jadi ya masak kerja masih juga dibantu orangtua.” Tegasnya lagi. “Oh ya, kamu keberatan nggak nanti kita mampir dulu di Tamani Café di Plaza BSD, ini ‘kan sudah lewat jam makan siang, jadi lebih baik kita lunch di sana dulu?”

“Boleh saja. Tapi aku yang bayar, ya!”

“No. Aku yang ajak, jadi aku yang bayar!”

“As you wish-lah!”

Jam satu siang, kami meninggalkan Tamani Café. Kali ini aku yang mengemudikan Wrangler, itu pun setelah aku setengah mati memaksa Ernest untuk memberiku kesempatan membawa mobilnya.

“Beda ya, rasanya bawa mobil mahal!” komentarku, setelah membawa mobil itu keluar meninggalkan Plaza Bumi Serpong Damai.

“Ah, kamu bisa saja, Val!” Ernest tertawa.

“Swear!”

“Sebetulnya mobil seperti ini memang lebih pantas buat jalan ke peternakan.”

“Cuma, biaya operasionalnya tinggi!”

“Tepat.”

Setengah jam kemudian kami tiba di Bumi Java Farm. Seperti biasa, aku membunyikan klakson dan pintu gerbang peternakan itu langsung dibuka.

“Apa selalu langsung dibuka seperti ini, Val?”

“Iya. Mereka juga sudah kenal.”

“Bahaya juga, kalau tiba-tiba yang datang tujuannya mau merampok?”

“Mereka lihat dulu juga, yang datang sudah dikenal atau nggak.” Ujarku seraya membuka kaca di sampingku dan melambaikan tangan pada Pak Tirta yang membuka pintu.

“Eh, Mbak Val! Mobilnya bagus amat, Mbak?” Pak Tirta menyambutku.

Aku tersenyum.

“Terima kasih, Pak. Tapi ini bukan mobil saya, ini mobil beliau, Pak!” ujarku sambil menunjukkan jempol kiriku ke arah Ernest.

Pak Tirta mengangguk-angguk.

“Wah, calonnya Mbak Val, ya?”

Aku tertawa. Begitu pun Ernest.

“Pak Tirta! Ada-ada saja!” komentarku. Memang pantas aku pacaran dengan laki-laki yang tujuh tahun di bawah usiaku? Anak bosku lagi!

Mobil melaju lambat ke dalam halaman parkir peternakan, seperti biasa kami melewati kolam desinfeksi dan alat semprot desinfeksi mobil. Kuparkir Wrangler di depan kantor peternakan.

“Ayo turun, Nest!” ajakku setelah mematikan mesin, dan menyerahkan kunci kontak pada Ernest.

“Nggak apa-apa nih, aku ikut?”

“Nggak apa-apa. Atau mau kutinggal di sini?” kutatap Ernest lekat. “Ayo turun saja!”

Ernest mengangguk, lalu mengikutiku turun dari mobilnya.

Aku melangkah memasuki kantor peternakan.

“Ada Ko Thony, Mbak?” tanyaku pada Mbak Tuti.

“Eh, Mbak Val. Tumben hari Sabtu ke sini!” Mbak Tuti bangkit dari kursinya dan menghampiri kami. “Ko Thony ada di messnya.”

“Iya, kemaren-kemaren nggak sempet ke sini, jadi hari ini. Oh ya, kenalkan Mbak, ini anaknya bosku di kantor, kebetulan dia lagi pengen jalan ke farm, jadi ikut aku.” Aku menunjuk Ernest. “Ernest ini Mbak Tuti, bagian administrasi farm sini. Farm ini langganan obat dan vaksin dari kantor kita, semua program vaksinasi aku yang buatkan.”

Ernest serta merta bersalaman dengan Mbak Tuti. Senang aku melihatnya, meski dia anak orang kaya, tapi sama sekali tidak sombong dan mau berkenalan dengan pegawai peternakan.

“Tunggu ya, duduk dulu saja, saya mau panggilkan Ko Thony supaya ke kantor.”

“Apa nggak menganggu, Mbak? Kalau mengganggu, saya titip saja surat asli tes serologi darah ayam yang minggu lalu saya ambil.”

“Nggak, justru Ko Thony pesan kalau Mbak Val ke sini, dia minta dikasih tahu.”
“Begitu, ya? Ya sudah, saya tunggu di sini.”

Aku duduk menanti dengan sabar.

“Nest, sorry ya mesti nunggu dulu nih!”

“No problem, Val. Memang pekerjaan kamu harus begitu, namanya orang marketing memang mesti sabar. Pelanggan ‘kan raja!”

Tak lama kemudian Anthony muncul di ruang kantor ini. Matanya menatapku sesaat, kemudian menatap tajam pada Ernest yang duduk di sebelahku.

“Selamat sore Ko Thony!” aku langsung berdiri dan menyodorkan tangan kananku untuk menyalaminya.

“Sore!” balasnya dingin, dan tampak enggan membalas uluran tanganku, walau akhirnya ia membalasnya juga.

“Maaf ya Ko, saya mengganggu sore-sore begini ke sini, saya mau mengantar hasil asli tes serologi darah yang kemaren sudah saya janjikan.” Aku buru-buru memberikan amplop dari dalam tasku. “Hasilnyanya sih sama dengan copy yang kemarin saya kirim. Baik ya, Ko. Cuma ‘kan yang itu hanya copy yang saya buat dari email, sedangkan ini yang asli. Ya, kalau ada surat aslinya dari laboratorium Virologi IPB, kita ‘kan jadi yakin bahwa benar-benar ini hasil pemeriksaan dari laboratorium, bukan manipulasi kantor saya. Oh ya, apa ada keluhan dengan ayam di sini, Ko?”

Laki-laki itu menerima amplop yang kusodorkan.

“Ayam sehat-sehat saja sepertinya!”

“Syukurlah.” Aku tersenyum lega. Senangnya hatiku karena itu artinya aku tidak perlu ke kandang sore-sore begini untuk mengontrol ayam. “Oh ya, Ko, masih ingat Ernest kan, anak Ko Anton Wijaya, bos saya? Kebetulan dia tadi ingin ikut saya jalan-jalan ke peternakan. Aku menunjuk dan menoleh pada Ernest. “Ernest, ini Ko Anthony, pemilik peternakan yang menjadi pelanggan produk vaksin dan obat perusahaan papa, yang dulu ada juga di pernikahan anak Ko Agus Wijaya.”

Ernest bangkit dari duduknya dan menyalami Anthony dengan segera. Mereka bersalaman sesaat.

“Pantas tadi saya lihat kok ada mobil Wrangler masuk ke sini, tapi Tuti bilang dokter Val yang datang. Jadi dokter Val kali ini datang dengan pengawalan khusus dari perusahaan, ya?” laki-laki itu tersenyum sinis.

Mengapa nada bicaranya tak nyaman begini?

“Enggak juga, Ko.” Untunglah Ernest segera menjelaskan. “Kebetulan tadi saya ke kantor papa, eh ketemu Val, jadi ya….. iseng-iseng saja ikut jalan ke peternakan sama Val. Refreshing juga, sudah lama saya nggak ke peternakan, dulu sih sering main ke breeding farm papa di Serang, sekarang nggak sempat.”

Anthony hanya mengangguk-angguk lemah.

“Jadi ayam sehat-sehat saja, Ko? Nggak perlu saya tengok ke kandang?” tanyaku sekali lagi.

Anthony menggeleng.

“Nggak lah, ini ‘kan jelang malam minggu, jadi ayam-ayam juga tahu diri, nggak mau menyita malam minggu dokter hewannya!”

Aku mengernyitkan kening. Memikirkan nada bicara Anthony yang semakin aneh. Sementara Ernest hanya tersenyum simpul.

“Ya sudah kalau begitu, Ko Thony. Saya dan Ernest pamit dulu, Ko!”

Untuk kedua kalinya aku menyalami Anthony.

“Kalau ada apa-apa, telepon saja ke rumah atau ke handphone, Ko. Karena kalau komplain ke kantor, belum tentu saya ada di kantor!” ujarku sambil keluar meninggalkan kantor peternakan itu.

Anthony tak menjawab, sementara aku dan Ernest keluar dan menuju Wrangler yang terparkir di depan kantor.

“Mana kuncinya, Nest? Biar aku yang setir!”

“Enggak usah, aku saja yang setir. Aku ingat jalannya kok.”

Ernest melarikan Wranglernya meninggalkan peternakan ini. Aku sendiri hanya memerhatikan jalanan di depan sambil menikmati lagu-lagu Phil Collins yang mengalun.

“Kamu kenapa jadi pendiam, Val?”

“Nggak apa-apa. Cuma sedikit kesal sama…”

“Aku?” tembaknya. “Karena aku ikut kamu, dan mengganggu pertemuanmu dengan Ko Thony yang tampan tadi?”

Aku menoleh dan mengernyitkan keningku.

“Ya, ‘kan? Pantas, kamu mau sabtu sore-sore begini mengantar hasil tes tadi, rupanya karena yang punya peternakan itu tampan sekali.”

“Apa?” Aku mendelik. “Ih….!” Dengan gemas kucubit lengan anak bosku ini. Tak peduli dia menggeliat kesakitan, dan berteriak minta ampun agar kulepaskan. Aduuh, kenapa jadi ruwet begini sih? Dari nada bicaranya tadi, Anthony mengira aku ada hubungan khusus dengan Ernest, sementara kini Ernest mengira sebaliknya. Gila! Semuanya gila!

“Hayo….kamu suka sama Ko Thony, kan?”

“Suka sama Ko Thony?! Aduuh, Nest, asal kamu tahu saja, orang itu menyebalkan setengah mati!”

“Memang kenapa?”

“Ah, sudahlah, aku nggak mau menjelekkan orang. Cukup aku saja yang tahu.”

“Apa dia pernah menyinggung perasaanmu?”

Mendadak hatiku tersayat teringat prasangka buruk Anthony yang mengira aku menyukai Ko Johanes, kakaknya yang telah beristri itu.

“Yang jelas dia orang baru, Nest. Dan dia nggak seperti Ko Johanes yang baik hati, yang sebelumnya memimpin peternakan itu.”

“Barangkali dia suka sama kamu, Val! Kadangkala laki-laki kalau naksir perempuan, awalnya suka sengaja bikin kesal perempuan yang ditaksirnya!”

“Enggaklah Nest, memang dia nggak suka saja sama aku. Kamu tahu, sebetulnya aku malas antar hasil tes tadi ke sini, meskipun aku sudah janji padanya.” Aku jadi curhat. “Bukan apa-apa, karena dia suka nyinyir kalau bicara denganku. Sialnya tadi dia telepon ke kantor lagi, mana yang terima Pak Agung, jadinya aku ditegur Pak Agung, makanya aku jadi ke sini dan diijinkan untuk tidak ikut meeting hari ini.”

“Sabar, Val.” Ernest menepuk pundakku. “Tapi kalau aku perhatikan sih, dari sorot matanya aku merasa yakin kalau dia menyukai kamu, tetapi dia tidak tahu harus bagaimana untuk bisa dekat sama kamu. Jadi, ya…. mungkin saja dia cari-cari alasan supaya kamu yang datang ke peternakannya. Aku lihat matanya tadi seakan tidak suka kepadaku. Barangkali dia pikir, aku ini pacar kamu, Val.”

“Ah, itu ‘kan menurut pemikiranmu. Menurutku sih, dia memang menagih janjiku untuk mengantar hasil tes itu. Dan dia telpon ke kantor, supaya kantor tahu aku lalai pada janjiku. Aku pikir, barangkali dia senang kalau aku dipecat dari kantor.”

Ernest menoleh dan menatapku tajam sesaat.

“Jangan berpikir seperti itu.”

“Ah, kamu nggak kenal dia, Nest!”

“Memang kamu kenal dekat sama dia?”

“Nggak juga sih, tapi kenyataan yang kualami…”

“Jangan prasangka yang nggak-nggak dulu.” Ernest menenangkan emosiku. “Aku rasa dia cemburu tadi. Aku bisa tangkap kecemburuan di matanya saat aku bersamamu di sana.”

“Ah, kamu ini pintar mengada-ada!”

“Sungguh!”

Aku mencibir. Ernest tiba-tiba menghentikan mobilnya di tepi jalan dan membungkam Phil Collins yang mengalun. Aku tercengang-cengang.

“Ada apa?”

“Dengar,” ujarnya sambil menatapku lekat. “kalau dia menyukaimu, apa kamu juga akan menyukainya?”

“Apa?” tanyaku sambil tertawa.

“Aku serius. Kalau dia menyukaimu, apa kamu mau menerimanya?”

“Dia nggak menyukaiku, Ernest! Sudahlah, jangan berandai-andai. Yang pasti-pasti saja, hidup ini harus penuh dengan kepastian!”

“Oke, kalau begitu kali ini aku serius, aku nggak berandai-andai. Aku menyukaimu, mau menikah secepatnya sama kamu. Kamu mau?”

Blarr! Aku bagai kejatuhan meteor.

“What?”

“Aku menyukaimu, Val. Aku serius.”

Mulutku mendadak kaku. Laki-laki yang pintar bicara dan berusia tujuh tahun lebih muda dariku ini menatapku tak berkedip, menuntut jawabanku saat ini, sementara aku sendiri mati kata.

“A…aku, tak tahu harus jawab apa?”

“Kenapa? Cuma ‘ya atau tidak’, gampang kok?”

“Tapi…”

“Tapi apa lagi? Ada masalah lain yang harus dipertimbangkan tentang aku? Kurang apa sih aku? Aku laki-laki dewasa, normal, sudah punya pekerjaan, aku juga akan sanggup bertanggung jawab mengurusmu, meskipun usiaku jauh lebih muda dari kamu, Val. Orangtuaku juga memberiku kebebasan untuk memilih calon istriku. Kamu tahu, papa juga sudah tahu kalau aku menyukaimu! Aku sudah sering mengatakan hal ini pada papa, dan dia juga nggak keberatan dengan keinginanku ini. Orangtuaku memang orang cina, Val, tapi mereka sudah berpikiran moderen, tidak memaksakan bahwa anak-anaknya harus menikah dengan sesama keturunan cina.” Ernest nyerocos bersemangat. “So?”

Aku terdiam, memandang jauh ke depan.

“Kamu mau ‘kan menerima cintaku?” Ernest menggenggam jemari kananku.

“Aduh….Nest. I don’t know, aku nggak bisa jawab, Nest.”

“Atau barangkali kamu lebih menyukai Anthony yang lebih tampan dari aku, ya?”

“Jangan bawa-bawa dia!” Aku menarik jemariku dari genggamannya.

“Sesungguhnya, aku ingin sekali kamu jawab ‘ya’ sekarang ini. Karena aku sungguh-sungguh mencintaimu, Val. Mungkin kamu berpikir, aku anak kecil karena aku lebih muda dari kamu, tapi usia bukanlah standar yang pasti. Banyak kok, istri-istri yang bersuami laki-laki yang sudah berumur, tapi justru laki-laki itu tidak bertanggung jawab pada keluarganya.”

Aku menjadi semakin bingung. Menggaruk kepalaku yang sesungguhnya tidak gatal, sambil menoleh untuk menatap wajah putra sulung big bosku yang duduk di sampingku ini, yang tampak kecewa karena aku tak sanggup memberikan keputusan.

“Ernest, aku senang kamu menyukaiku, tapi….”

“Kenapa?” potongnya cepat.

“Karena…”

“Orangtuamu melarang kamu dapat suami orang keturunan cina?”

Aku menggeleng pelan, “Rasanya nggak seperti itu, hanya saja di dalam keluarga maupun saudara dekatku, memang belum pernah ada yang menikah dengan orang keturunan cina.”

Ernest terdiam, sementara aku membunyikan persendian jemari tanganku, habis yang kiri lalu yang kanan. Ingin aku mengatakan yang sejujurnya bahwa aku hanya menganggap dia seperti adikku sendiri, tapi aku tak sampai hati mengecewakan anak big bosku ini.

“Sudahlah, masih banyak perempuan lain yang lebih baik dari aku, dan lebih pantas untukmu, Nest.” Tandasku hati-hati kemudian.

“Klise!”

Aku menarik nafas dalam.

“Ernest, apa sih yang kamu harapkan dari aku? Aku hanya perempuan biasa, dan usiaku juga sudah lewat kepala tiga?”

“Selalu saja umur! Persetan dengan umur!”

“Ernest…”

“Val, bilang saja kalau kamu mencintai laki-laki lain, dan aku akan berhenti mencintaimu. Jujurlah, dengar suara hati nuranimu!”

Lidahku kaku. Anak ini memang benar-benar pintar sekali bicara!

“Ya sudah, kalau itu maumu. Kini kukatakan ‘aku menyukai laki-laki yang lain’! Selesai, kan?”

“Siapa?! Anthony?”

Aku tak menjawab. Tapi jantungku terus terang berdebar amat kencang. Sesaat aku jadi teringat wajah tampan laki-laki keturunan cina yang malam-malam setelah pesta pernikahan anak Ko Agus Wijaya itu datang ke rumah kosku.

“Benar, Anthony, kan?” desaknya lagi, matanya menatapku tajam.

“Kenapa kamu berpikir aku menyukai dia?” balikku.

“Karena aku terlalu mencintaimu, maka aku bisa merasakan hatimu!”

Aku menggigit bibirku. Uh, jago ngomong!

“Dia Anthony, kan?” desaknya lagi.

“Sudahlah, aku ingin pulang, Nest!”

Ernest menatapku sesaat, lalu menjalankan Wranglernya kembali. Aku masih saja menggigit bibir. Ah, semestinya aku mensyukuri kepastian cinta dari seorang lelaki yang sudah di depan mata dan menjanjikan kebahagiaan ini, dengan menerimanya menjadi kekasihku, menjadi suamiku. Bukankah itu yang dapat membuatku menjadi seorang perempuan yang sempurna, seperti yang telah lama kuinginkan? Ya Tuhan, haruskah aku mendustai hati nurani ini, hati nuraniku yang tidak mencintainya??
(BERSAMBUNG KE BAG.4)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar