Selasa, 26 Januari 2010

FROM SOUTH WITH LOVE (BAGIAN 3)

“Halo, Drin?” Tante Prasowo menyapaku ke kamar pagi itu. “Eh, ada Azka juga?”

“Iya, Tante. Semalam kan sudah kemalaman, jadi Seno ajak Azka menginap di sini.” Aku menjelaskan.

“Nggak apa-apa. Temen-temen Seno, memang suka menginap di sini kok.” Tante Prastowo menepuk pundakku. “Seru jalan-jalannya?”

“Pokoknya asyik, Tante. Kami pulang dari Tana Toraja juga mampir di Soppeng, kota kelelawar di Sulawesi ini.”

“Ah ya, Tante! Malah Aldrin asyik foto-foto di rumah tua di dekat alun-alun yang mengerikan itu.”

“Benar, Tante. Habis, Seno bilang kalau foto-foto di situ, katanya nanti cepat ketemu jodoh.”

Tante Prastowo tertawa.

“Seno ada-ada saja.”

“Lantas, kalian semalam pulang lewat mana?”

“Lewat Camba, Tante.” Azka yang menjawab.

“Iya, Tante. Asyik, jalannya berliku-liku, Tante!” komentarku.

“Ya, sudah, Tante sih senang kalau kalian mencintai keindahan negeri sendiri! Lantas hari ini pada mau jalan ke mana?”

“Ke Malino, Ma!” Seno tiba-tiba muncul ke kamarku.

“Ya sudah, sana sarapan dulu!”

Pukul sebelas, aku melarikan Greyhound Seno menuju Malino. Seno, yang kali ini menjadi sang navigator, duduk di sampingku dengan mengangkat kaki sementara kaca mata hitamnya bertengger di kepalanya. Di belakang duduk Azka, Andi dan Ritzon.

Wisata Malino kira-kira 60 km dari kota Makassar. Jalan menuju lokasi tak semulus jalan menuju Tana Toraja. Seno sempat menujukkan kepadaku lokasi peternakan ulat sutera yang menjadi komoditi daerah Makassar ini.

Dua jam kemudian, kami tiba di Malino. Lokasi wisata itu mirip Puncak, Jawa Barat. Banyak Villa dan Penginapan, tapi tak semewah dan seramai Puncak tentu saja. Di tepi jalan juga ada hutan yang banyak ditumbuhi pohon cemara, dan kedai kopi yang juga menjual jagung bakar.

“Kita langsung ke air terjun saja, ya. Nah, nanti di depan sana, kita belok ke kanan, Drin.”

Aku mengangguk saja, dan menuruti perintahnya.

“Sekarang lurus saja kan, Sen?”

“Yap, lurus saja sudah. Di ujung sudah tempat untuk parkir mobil.”

Dari tempat parkir, kami berjalan satu kilometer lagi untuk dapat mencapai air terjun yang suaranya sudah sayup-sayup terdengar itu.

“Barangkali tadi malam hujan, maka terdengarnya airnya deras banget.” Komentar Azka sambil menggandengku.

“Iya. Kamu pernah kemping di sini, Ka?” Ritzon menyamakan langkah dengan kami, sementara Seno dan Andi di belakang.

“Belum. Kamu pernah, Ritz?”

“Iya, dulu sama anak-anak pecinta alam.”

“Kamu pernah kemping sini, Sen?” tanyaku pada Seno.

“Belum juga.”

Akhirnya kami tiba di air terjun Malino, airnya yang bening dan deras bermuara membentuk telaga yang lumayan lebar sebelum akhirnya mengalir kembali menjadi aliran sungai. Kulihat orang-orang yang bermain air, bahkan berenang di telaga itu.

“Mau berenang nggak, Drin?” Seno menepuk pundakku.

“Ha ha ha, jadi ingat berenang di rumahmu dulu, karena ditarik sama Sapto.” Aku tertawa, Seno jadi ikut tertawa pula.

“Kamu akan mengingat Sapto terus gara-gara peristiwa itu ya, Drin?”

Aku hanya tersenyum simpul.

Andi menggelar tikar yang dibawanya, lalu kami duduk bersama. Sementara Azka yang sudah tak sabar, sudah duduk-duduk di tepi telaga dengan kaki terendam air telaga.

“Berenang, Ritz?” Andi mengajak Ritzon yang merebahkan badan.

“Ayo!”

Mereka melepas kaos, sehingga dengan hanya bercelana jean selututlah, mereka melompat ke telaga.

“Gila apa nggak dingin, Sen?”

Seno tak menjawab, malah dia menyusul melakukan hal yang sama. Aku segera mengambil kamera digitalku, lagi dan lagi aku asyik memotret pemandangan di air terjun Malino ini, juga memotret teman-teman seperjalananku yang asyik bercanda di telaga.

Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku.

“Kapan datang, Drin?”

Aku menoleh.

“Eh…. Sapto! Kamu ke sini, juga?” Sudah pasti aku terkaget-kaget.

Dia hanya menaikkan alisnya.

“Kenapa tadi nggak bareng kita-kita saja?”

“Kamu kan senangnya jalan sama Seno!” jawabnya ketus kemudian.

Aku sedikit kaget.

“Ah enggak juga. Kamu yang nggak mau menemani aku jalan-jalan di sini.”

“Oh ya? Kukira kamu lebih senang jalan sama Seno!”

“Hai, To!” Seno yang naik dengan basah kuyup menghampiri kami. “Kamu ke sini juga?”

“Heeh. Sama anak-anak naik motor.”

“Mana?”

“Mereka masih di atas, di hutan cemara, makan jagung bakar. Aku yang sendiri ke mari. Tadi aku sempat lihat mobilmu lewat di hutan cemara.”

“Kamu nggak berenang, To?” tanyaku kemudian.

“Enggak. Dingin, ah!”

“Begitu, ya?” Aku menaruh kamera digitalku. Entah bagaimana, tiba-tiba saja dengan secepat kilat kutarik tangan Sapto, sehingga dia ikut bersamaku tercebur di telaga dingin itu.

“Hey…hey…!” Sempat kudengar teriakan Seno. “Rupanya Aldrin bisa membuat seri satu-satu, ya!”

“Sialan kamu, Drin!” omel Sapto, ketika kepalanya muncul dari air telaga.

Aku yang kemudian muncul juga tertawa gelak, dan kegirangan atas keberhasilanku membalas keusilannya.

“Gantian, ya?” godaku, sambil berenang ke arah batu besar yang ada tak jauh dari tepi telaga.

Namun, Sapto tak mau menyerah kalah, dia berenang mengejarku, bahkan ketika aku hendak menggapai untuk menaiki batu, ditariknya kembali tubuhku sehingga tercebur kembali ke dalam telaga dingin itu.

“Curang kamu, To! Kan sudah satu-satu!” protesku, ketika kepalaku muncul dari air.

Sapto tertawa gelak.

“Sapto…mana bisa dilawan?”

Aku mencengkeram rahangku, menahan kesal.

“Aku sebel sama kamu, To!”

Sapto masih tertawa-tawa. Sementara Seno kulihat sibuk memotret kami.

“Marah, Drin?”

Aku tak menjawab.

Sapto mencipratiku dengan air telaga. Aku menghapus wajahku yang basah.

“Sorry, ya…” ujarnya cengengesan kemudian.

Aku tak menyahut, dan buru-buru berenang ke tepi, lalu naik ke tempat Seno. Sapto membuntutiku.

“Drin, jangan marah dong! Aku kan cuma bercanda.”

Aku memasang wajah kesal padanya.

“Iiih!” teriakku seraya mencubit lengannya keras-keras.

Sapto berteriak kesakitan, membuat hampir semua orang menoleh ke arahnya.

Seno tertawa gelak.

“Rasakan balasannya, To!”

Azka dan Ritzon dari jauh hanya tersenyum-senyum.

Kulihat Sapto yang tampak ‘panas’ ditertawakan adiknya. Tiba-tiba dia meraih pundakku, dan tanpa kuduga dikecupnya pipiku, lalu dia berlari meninggalkan kami.

“Hah?!” Wajahku terasa menghangat, darahku berdesir kuat. Hatiku sendiri tak karuan. “Kok….?” Aku meraba pipiku. “Dasar curang!” omelku.

Seno tersenyum.

“Olala, barangkali dia suka ganggu kamu, karena dia suka sama kamu, Drin.”

Aku masih meraba-raba pipiku. Suka sama aku? Ah, tidak! Sapto paling-paling hanya usil dan iseng kepadaku. Kalau dia suka kepadaku, sejak awal dia akan bersikap manis! Bukannya bikin kesal!

***

“Halo? Mama ada, Fem?” tanyaku pada Femmy yang mengangkat telepon di seberang sana.

“Mama arisan. Ada apa?” jawabnya nyaring di telingaku. “Oh ya, kapan kamu pulang, Drin?”

“Enggak ada apa-apa, aku kangen saja sama Mama. Pulangnya mungkin dua atau tiga hari lagi.”

“Lama amat? Betah di sana, ya?”

Aku tersenyum sendiri.

“Betah dong! Ini sekarang aku mau kemping ke Pulau Samalona!”

“Wow asyik amat! Oh ya, banyak teman-temanmu telepon ke rumah cari kamu!”

“Kamu bilang aku ke Makassar?”

“Iya. Eh, kamu tahu, kemarin di Hard Rock aku ketemu Nestor jalan sama cewek rambutnya sebahu. Kamu kenal dia, Drin?”

“Ah, sudahlah jangan cerita tentang dia lagi. It’s over. Bosan aku!”

“Wah…yang sudah putus!”

“Ya iya lah!” ujarku ketus. “Yang sudah ya sudah, jadi sejarah dan tak perlu dikenang, karena bukan pahlawan!”

Fem tertawa di Jakarta sana.

“Sudah ah, salam buat Mama dan Papa, ya! Bilang aku baik-baik saja!”

“Oke. Hati-hati, Drin.”

“Thanks, bye!”

Aku menutup handphone. Tak terasa Seno sudah memarkir Greyhoundnya di depan pangkalan perahu motor di seberang Benteng Fort Rotterdam ini.

Satu persatu kami turun dari mobil sambil membawa segala peralatan kemping kami.

Andi menawar sewa perahu motor yang akan mengantar kami ke Pulau Samalona. Dan setelah harga cocok, aku langsung membayarnya.

Kami segera menaruh barang-barang ke dalam perahu. Tenda, tikar, lampu gantung, ransel-ransel dan yang terpenting kontainer berisi jagung, ikan segar dan segala bahan makanan untuk pesta ‘bakar-bakaran’ malam nanti.

Kurang dari tiga puluh menit, perahu motor kami tiba di Pulau Samalona. Pulau berpasir putih ini sungguh menawan dan amat sangat bersih. Aku dan Azka segera saja melompat turun dan berteriak gembira, lalu kami bersama-sama menurunkan muatan.

“Sen, jangan lupa besok sore, perahu harus jemput kita lagi, ya?” teriakku berlari ke arah tepi pantai, mengingatkan Seno yang masih berbincang dengan supir perahu tadi.

“Beres!”

Dengan bekerja sama, kami memasang tenda, tentu saja dua tenda karena aku dan Azka tak mungkin untuk tidur bersama tiga laki-laki berbadan besar-besar itu. Selesai memasang tenda kami makan bersama, karena tadi sebelum berangkat kami membeli nasi box untuk makan siang di sini.

Aku merebahkan tubuhku di atas tikar di depan tenda kami sore itu. Azka tertidur pulas di dalam tenda, sementara Seno, Andi dan Ritzon asyik berenang di pantai.

Dalam kesendirianku ini, entah mengapa aku teringat Sapto, kakak Seno. Huh! Benar-benar cowok yang menyebalkan! Belum pernah ada satu cowok pun selama ini yang berani mencuri kecup pipiku, kecuali dirinya! Sialan! Dasar cowok kurang ajar! Makiku dalam hati. Kalau saja dia bukan kakak Seno atau bukan anak keluarga Om Prastowo, sudah pasti sudah kugampar saat itu juga!

“Drin, ayo main di pantai!” tiba-tiba Ritzon menghampiriku, dan tentu saja aku tak menolak ajakannya.

Ombak yang datang bergulung-gulung ke arah pantai serta angin pantai yang berhembus sejuk sore ini, benar-benar kunikmati, sambil bersyukur atas karunia-Nya yang telah menciptakan keindahan pantai Samalona ini. (Bersambung ke bagian 4)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar