Jumat, 22 Januari 2010

PEREMPUAN YANG SEMPURNA (Bag.5)

Handphoneku bernyanyi nyaring. Nama Pak Anton Wijaya yang tertera di layar LCD handphone menunjukkan bahwa bos besar itu ingin berkomunikasi denganku. Hatiku mendadak berdebar-debar. Ada apa gerangan? Apakah Pak Anton juga akan ikut campur dalam masalah hubunganku dengan Ernest?

“Hallo?”

“Val, apa kamu bisa ke Rumah Sakit Medistra, sekarang?”

Aku kebingungan.

“Memang ada apa, Pak?”

“Ernest kecelakaan, mobilnya selip dan terbalik di jalan tol dalam kota saat hujan deras mengguyur Jakarta siang tadi. Kondisinya parah.”

“Ya Tuhan…” handphone kucengkeram erat-erat.

“Kamu datang ke sini, ya? Siapa tahu, kehadiranmu memberikan kekuatan baginya untuk bertahan hidup, karena dia mencintaimu.”

Tubuhku gemetar.

“Baik Pak, saya akan datang secepatnya.” Ujarku dengan air mata menggenang.

Aku langsung melarikan Pantherku dari Tangerang menuju Rumah Sakit Medistra. Tak peduli janjiku pada beberapa peternakan yang harus aku datangi hari ini, yang ada dalam benakku hanya bayangan Ernest yang begitu baik di mataku. Ya, Tuhan, berikanlah kekuatan untuk dia bertahan hidup di dunia ini lebih lama lagi.

“Val!” Pak Agung rupanya sudah menantiku di lobby rumah sakit.

“Bagaimana kondisinya, Pak?”

“Belum sadar.”

“Hah?” Air mataku meluncur.

“Pak Anton bilang, menurut suster jaga dia sempat mengigau namamu tadi!”

“Sungguh?”

“Ayo ke atas, kita ketemu Pak Anton!”

Aku menuju lantai ICCU, ditemani Pak Agung.

Pak Anton yang melihatku, langsung memelukku.

“Doakan dia kuat ya, Val. Lima hari yang lalu dia bicara, bahwa dia ingin menikah denganmu, tetapi saya tidak menanggapinya secara sungguh-sungguh.”

Lagi-lagi air mataku meluncur.

“Agaknya dia sungguh menyukaimu, Val.”

Aku menggigit bibir.

Tiba-tiba seorang suster memanggil nama Pak Anton. Pak Anton bergegas masuk ke dalam ruang perawatan ICCU. Hatiku semakin kacau. Aku berusaha mengikuti Pak Anton, tetapi suster itu melarangku. Tak lama laki-laki bertubuh tegap itu keluar dengan kuyu dan mata tak bercahaya.

“Dia sudah pergi….”
Pandangan mataku gelap seketika, dan aku merasa tubuhku ringan melayang.

***

Kompleks pemakaman OASIS yang mewah di Jatake, salah satu sudut Tangerang itu menjadi tempat peristirahatan terakhir Ernest. Air mataku tak habis-habisnya meluncur tatkala beberapa kenalan dekat dan juga keluarga turut menyalamiku di antara deretan keluarga Pak Anton Wijaya. Dalam suasana duka ini, aku benar-benar pasrah, jika namaku menjadi buah bibir. Aku sendiri tak menyangka jika hampir kebanyakan kerabat dekat, tahu bahwa Ernest menyukaiku dan ingin segera menikah denganku.

“Val, saya menemukan amplop yang ditujukan untukmu ini, di dalam lemari Ernest. Saya tidak tahu benda apa yang ada di dalamnya, karena saya sendiri tak berhak membukanya. Simpanlah, mungkin ini kenang-kenangan dari Ernest untukmu.”

Aku terkaget-kaget dan gemetar ketika Ibu Anton Wijaya menyerahkan sebuah amplop berwarna biru padaku, benar di bagian depan memang tertulis namaku.

“Simpanlah, dia pasti ingin kamu menyimpannya.”

“Terima kasih, Ibu.” Aku tak sanggup berkata banyak. Kupegang erat amplop itu. Sungguh, aku turut menyesal, mengapa Ernest pergi secepat ini. Andai saja, saat dulu bersamanya aku menerima cintanya, tentunya dia akan bahagia meskipun ia harus pergi jauh saat ini.

Satu persatu manusia meninggalkan komplek pemakaman mewah ini. Aku melangkah menuju Panther-ku. Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku, dan berjalan di sampingku.

“Dokter Val…”

Aku menoleh. Ko Anthony! Rupanya dia juga datang melayat ke sini.

“Terlalu dini dia pergi, ya?”

Aku hanya mengangguk ringan, sambil terus melangkah menuju mobil.

“Padahal dia orang baik, juga berani.”

Aku tak mengerti maksud pembicaraannya, jadi aku memilih diam.

“Dua hari yang lalu dia main ke peternakanku, dia ngobrol lama denganku.”

Air mataku kembali berlinang.

“Dia banyak cerita tentang kamu, Val.”

Aku menarik napas dalam.

“Sudahlah, Ko, saya harus bekerja kembali. Tadi ada sms yang masuk, agar saya mengunjungi peternakan di Serang, karena ada ayam yang sakit. Permisi, Ko Thony.”

Aku membuka pintu mobil, sempat kulihat wajah Anthony yang memandangku seakan berharap agar aku masih punya waktu untuk berbincang dengannya, tapi aku langsung masuk di belakang kemudi, menutup pintu dan tak lama melesat pergi.

***

Aku duduk menghadap meja kerja di kamar kosku. Malam semakin tua, semakin sunyi, dan semakin terasalah kesunyian hidup yang ada dalam lubuk hatiku ini. Tiba-tiba pandanganku tertuju pada amplop biru yang diberikan Ibu Anton Wijaya saat pemakaman Ernest seminggu yang lalu, yang kugeletakkan di atas meja kerja ini. Ah, andai saja dulu aku mengatakan ‘ya’ pada Ernest, barangkali aku tak lagi sunyi sendiri seperti hari-hari yang lalu di kamar ini. Ya, andai saja dulu aku mengatakan ‘ya’, hari ini aku barangkali sudah menjadi seorang istri, seorang calon ibu, yang sesungguhnya telah lama kudambakan.

Perlahan kusobek amplop itu. Sebuah kotak beludru menyembul dari dalam amplop. Kubuka kotak beludru itu dengan rasa keingintahuanku yang tak terbendung. Sebuah cincin bilah rotan berlapis emas putih dengan dua buah batu berlian mungil berkilau indah! Air mataku berlinang. Dengan hati-hati kulepaskan cincin itu dari dudukannya, dan ketika hendak kusematkan ke dalam jari manis kiriku, mataku tertuju pada tulisan grafir di bagian lingkaran dalam cincin. Anthony! Aku terperanjat. Mengapa di situ tertera nama Anthony? Mengapa bukan Ernest, namanya sendiri? Bukankah dia yang mencintaiku?

Sejenak aku jadi teringat kenangan bersama Ernest saat pulang dari peternakan Anthony dulu, saat ia menepikan mobilnya dan menyatakan cintanya. Berkali-kali dia mendesakku agar mengaku bahwa aku menyukai laki-laki tampan itu.

Ah Ernest…apa maksudmu sesungguhnya memberiku cincin bertuliskan nama Anthony ini? Bukankah antara aku dan Anthony tak ada hubungan apa-apa?

***

Kulalui hari-hariku seperti biasa, bekerja dan mengabdi pada perusahaan, mengendarai mobil menjenguk ayam-ayam di peternakan mulai pagi hari dan terkadang hingga malam menjelang.

Siang yang terik ini kularikan Pantherku meninggalkan Indo Makmur Farm milik Ko Sanjaya di daerah Cirarab, dan ketika kumasuki jalan beraspal yang menghubungkan daerah ini dengan Legok, kurasakan mobil terasa oleng ke kiri. Aku membuka jendela kaca di sampingku. Tiba-tiba seseorang yang duduk dari sebuah mobil kijang bak terbuka yang mendahuluiku berteriak, dan memukul pintu di sampingku.

“Bannya kempes!”

Aku terkejut dibuatnya, dan langsung menepikan Pantherku segera. Kumatikan mesin dan turun, mengecek ban sebelah mana gerangan yang kempes. Ah, benar saja, ternyata ban kiri belakang!

Aku menghela napas. Cuaca panas, jalanan yang berdebu, dan tak ada satu pun pohon rindang di tepi jalan ini membuat keringatku sudah bercucuran, padahal aku belum lagi mengganti ban. Dengan malas aku membuka bagasi belakang, menurunkan dongkrak dan tas kunci. Kujongkokkan tubuhku demi membuka ban serep mobil yang terdapat di bagian bawah bagasi belakang, tepatnya di belakang gardan. Sudah lebih lima belas menit aku berusaha membuka tempat penyimpan ban serep ini, namun ban serep ini belum lagi terlepas dari tempat penyimpanannya. Sungguh, seumur hidupku bekerja di lapangan, baru kali pertama ini aku mengalami ban kempes. Oh what a bad day! Gerutuku dalam hati.

“Kempes, Val!” tiba-tiba kudengar suara seseorang di belakangku, rasa-rasanya aku mulai tak asing dengan suara itu.

Aku menoleh dan tersentak. Anthony! Bagaimana mungkin dia bisa ada di sini? Atau barangkali karena aku terlalu konsentrasi dengan urusan membuka tempat penyimpan ban di panas terik ini, sehingga aku sungguh tak memerhatikan kehadirannya.

“Ko Anthony, kok…kok ada di sini?” tanyaku gagap.

“Saya baru pulang dari peternakan Ko Iwan, lalu saya lihat mobilmu berhenti di sini, jadi saya hentikan mobil saya di depan mobilmu. Itu, mobil saya di depan!”

Aku berdiri, melihat ke arah depan mobilku, untuk meyakinkan memang benar apa yang dikatakannya.

“Ko Iwan yang di daerah Babat?”

Laki-laki itu mengangguk, lalu jongkok di sampingku. Diraihnya kunci Inggris dari tanganku yang tadi kupakai untuk membuka tempat menyimpan ban serep tapi tak kunjung terbuka.

“Ayo saya bantu, Val.”

Aku mendadak salah tingkah.

“Hm…nggak usah, saya juga bisa, Ko!” sergahku sambil menarik kunci yang hendak diambilnya dari tanganku. “Ini sudah resiko pekerjaan.”

“Sudahlah, kamu kepanasan, saya yang akan mengganti ban ini.” Nada bicaranya tak seperti biasa, sungguh menyenangkan, bahkan kali ini ia menatapku dengan sorot mata yang teduh.

Aku terheran-heran sendiri, dan semua itu sanggup menghipnotisku untuk melepaskan kunci yang kupegang.

Tak kusangka ia dapat begitu cepat membuka ban serep dari tempatnya.

“Sudah dari tadi ya, Val?”

“Ehm…iya, Ko.”

“Kamu tunggu di pinggir jalan saja, biar saya yang kerjakan semuanya.”

Entah mengapa tiba-tiba aku jadi menuruti perintahnya. Aku melangkah ke pinggir sebelah kiri belakang mobil.

Kuperhatikan Anthony yang membuka sekrup ban, lalu mendongkrak dan tak lama ban kempes telah digantinya dengan ban serep. Aku menatap wajah kulitnya yang putih bersih, menjadi sedikit kemerahan karena tersengat matahari. Peluhnya berjatuhan dari kepala hingga membasahi baju kausnya, sementara celana jean yang dipakainya menjadi kotor di bagian dengkul dan paha.

“Saya jadi merepotkan Ko Thony!” ujarku dengan perasaan berhutang budi, seraya membuka pintu belakang samping kiri mobil ini, untuk mengambil tissue basah yang akan kugunakan untuk membersihkan tanganku yang kotor. Kubiarkan pintu itu tetap terbuka.

“Nggak apa-apa, kamu juga repot mengurusi ayam-ayam saya!” dia menoleh sesaat dan tersenyum. Aku senang melihat senyumnya, senyum indahnya yang pertama kali kunikmati sejak aku pernah mengenalnya. “Mengganti ban sih nggak repot!”

Tak lama Anthony telah membereskan peralatanku dan memasukkannya ke dalam bagasi belakang mobil.

“Bannya aku taruh di sini saja ya, biar mudah kalau mau ditambal nanti. Jangan lupa nanti mampir ke tukang tambal ban!” pesannya yang terasa penuh perhatian kepadaku. “Jadi kalau ada yang kempes lagi, ada ban serep!”

“Ya, Ko. Pasti!”

Tak lama kemudian ia menutup pintu bagasi belakang, lalu menghampiriku. Aku sendiri tengah sibuk membuka cool box penyimpan air mineral yang kusimpan di kursi belakang mobil ini.

“Oh ya, Ko Thony, ini ada tissue basah, bisa untuk membersihkan tangan Ko Thony yang kotor. Habiskan saja kalau perlu, yang penting tangan Ko Thony bersih lagi.” Aku berbalik dan mengulurkan satu dus kecil tissue basah kepadanya.

Ia mengangguk seraya meraih tissue basah yang kuberikan. Terkejut aku, tatkala kulihat di jari manis tangan kanannya tersemat cincin bilah rotan berlapis emas putih dengan dua buah batu berlian mungil yang berkilau terkena cahaya matahari. Cincin itu persis cincin yang Ernest berikan untukku.

Mendadak hancur rasa hatiku. Jadi dia sudah memilih perempuan lain? Oh, betapa malangnya aku, mengharap cinta dari laki-laki tampan yang tak memiliki hati untukku, sementara telah kutolak cinta suci lelaki yang telah pergi jauh meninggalkanku! Terbayang kini, hari-hari esok akan semakin panjang membentang yang harus kulalui sendiri dan sunyi. Ah, harapanku untuk menjadi seorang perempuan yang sempurna itu, pupus sudah.

“Terima kasih!” ia segera saja membersihkan tangannya.

Aku hanya memandangnya dengan perasaan hampa.

“Panas sekali Tangerang, ya Val!” keluhnya.

Aku tak mengomentari, hanya saja aku buru-buru mengambil dua buah botol air mineral dari cool box di kursi belakang mobilku, lalu kusodorkan satu botol air mineral dingin untuknya.

“Minum, Ko Thony!”

Laki-laki di dekatku ini tak menyambut air mineral yang kutawarkan. Aku menjadi semakin yakin, bahwa aku tak berarti apa-apa untuknya. Aku tahu barangkali dia menolak perhatian dan budi baikku padanya, karena ia setia pada perempuan yang telah menjadi pilihannya, yang namanya pasti tertera di lingkaran dalam cincin yang tersemat di jari kanannya itu.

“Minum, Ko Thony!” aku sekali lagi menawarkan budi baik. Sungguh, aku hanya ingin membalas budi baiknya, aku tak bermaksud mencuri hatinya, karena aku tahu ada perempuan lain yang memilikinya. Aku terlalu teguh memegang prinsip hidupku, bahwa tak layak jika diriku menjadi perempuan yang mencuri hati lelaki milik perempuan lain!

Anthony menoleh, menatapku lekat dan lama. Lalu ia menarik sehelai tissue basah dari dos yang sejak tadi masih di tangannya. Tak kuduga, tiba-tiba ia menghapus keringat yang membasahi keningku!

Jantungku melompat-lompat.

“Sesungguhnya…,” Ia menatapku tak berkedip. “Aku mencintaimu, Val! Tapi, aku tak seberani Ernest untuk mengungkapkannya.”

Aku menatapnya dengan mulut ternganga, tanpa sanggup berkata satu patah kata pun.

“Maukah kamu menikah denganku, dan tak akan kubiarkan kamu menghadapi hal-hal seperti ini sendiri di jalanan sepi.”

Aku kaget sekaligus terharu mendengarnya. Inilah kata-kata yang paling indah yang pernah diucapkannya kepadaku, sejak aku mengenalnya!

“Aku mulai menyukaimu sejak pertama melihatmu dulu.” Tambahnya lagi. “Maafkan aku, jika selama ini aku selalu mencurigai kedekatanmu entah dengan Ko Jo atau Ernest. Aku sungguh mencintaimu, sehingga kadang-kadang aku menjadi cemburu melihat kamu akrab dengan Ko Jo atau Ernest, atau bahkan Ko Hadi sekalipun.”

Mulutku masih ternganga.

“Aku bersungguh-sungguh, Val. Menikahlah denganku, dan peternakanku akan menjadi milikmu, milik kita. Kita berdua bisa bahagia tinggal di sana, mengurus ayam-ayam kita, juga anak-anak kita. Kau ‘kan tahu, selama ini Ko Jo yang mengelolanya untukku. Kini, setelah Ko Jo menetap di Singapura, aku yang akan mengelolanya sendiri. Dan aku ingin mengelolanya bersamamu, selamanya!”

Aku terdiam, tak percaya atas apa yang telah kudengar.

“Tapi, tapi bukankah Ko Thony sudah mempunyai calon istri?” tukasku hati-hati sekali.

“Calon istri?”

“Cincin itu….!” Langsung saja kutunjuk cincin yang melingkar di jari manis tangan kanannya.

“Cincin ini?” ia menatap cincin itu, lalu kembali menatapku. “Val, aku memang belum sempat cerita, ya? Begini, kamu ingat waktu kita bertemu di pemakaman Ernest dulu? Sesungguhnya aku ingin bicara banyak denganmu, tapi saat itu tidak memungkinkan karena kelihatannya kamu tidak menginginkannya dan terburu-buru untuk pergi. Jadi aku mengurungkan niatku untuk menceritakan hal yang sedikit aneh yang kualami ini.”

Aku mengernyitkan keningku.

“Aku mendapatkan cincin ini dari Ernest, ketika dia datang ke peternakanku, dua hari sebelum kecelakaan naas yang merenggut hidupnya. Dia datang malam itu, dan banyak bercerita tentang dirinya, dan juga dirimu. Aku salut atas keberaniannya untuk mengutarakan kepadaku apa pun yang ada di hatinya, seperti perasaannya yang amat mencintaimu. Bahkan dia menasehatiku untuk segera melamarmu, karena dia tahu bahwa sesungguhnya aku mencintaimu. Dia juga bilang, jika dia telah mengajakmu untuk menikah, tetapi kamu tak bisa menerimanya.” Anthony menarik napas sesaat. “Dia ingin membahagiakanmu, Val. Dan sebelum dia pulang, dia memberiku cincin yang di dalamnya ada terukir namamu. Lepas dan lihatlah sendiri, kalau kamu nggak percaya.”

Anthony mengulurkan tangan kanannya, mempersilakanku untuk melepas cincin yang ada di jari manis tangan kanannya, namun aku hanya menggenggam tangan itu, sementara air mataku yang berlinang mulai jatuh meluncur perlahan di pipiku. Sedemikian dalamnyakah cinta Ernest untukku, hingga ia sanggup menyelami rasa cinta yang sesungguhnya di dalam hatiku? Kini terkuaklah teka-teki, mengapa cincin darinya yang ada di mejaku bukan bertuliskan namanya melainkan nama Anthony!

“Ernest juga memberiku sebuah cincin yang bentuknya persis sama dengan cincin ini. Ibunya memberiku saat acara pemakaman dulu,” ujarku lirih kemudian, “dan di cincin itu terukir namamu, bukan namanya!”

“Oh ya?” mata Anthony terbelalak.

Aku mengangguk lemah.

“Jadi, maukah kamu menikah denganku, Val. Aku akan membahagiakanmu, melebihi harapan Ernest untuk bisa membahagiakanmu!”

Di bawah terik mentari yang membakar bumi Tangerang ini, aku tak sanggup berkata-kata. Kuhempaskan diriku dalam pelukan Anthony, sebagai jawaban ‘ya’. Tak kuduga, impianku yang kupikir telah pupus, ternyata siang ini menjadi kenyataan! Ya, aku akan menjadi perempuan yang sempurna, yang mempunyai suami yang kucintai dan mencintaiku, serta yang notabene bukan lelaki yang menjadi milik perempuan lain. Terbayang di mataku, kelak aku akan mengurus usaha peternakan ayam sendiri bersama Anthony yang kucintai. It’s more than just a dream, indeed!

SELESAI

Cerita ini pernah dimuat di KARTINI 2009 Edisi 2249 23 Juli s/d 2253 Oktober (6 episode sbg CER-BER)

Catatan :
1.Kandang batere = kandang di peternakan untuk ayam yang sudah siap untuk
bertelur, bentuknya biasanya bertingkat.
2.Koksidiosis = penyakit unggas yang disebabkan parasit koksidia, yang menyebabkan
perdarahan pada usus
3.Anak kandang = penjaga kandang
4.DOC = bibit/anak ayam yang berusia satu hari
5.Ayam pullet = ayam remaja yang sudah siap untuk bertelur biasanya di atas usia 13
Minggu
6.Litter = persak/kulit bekas padi yang digunakan untuk menutupi /alas lantai
kandang ayam
7.Penyakit tetelo = penyakit yang disebabkan oleh virus Newcastle Disease (ND), yang
dapat menyebabkan banyak kematian pada ayam
8.Uji serologi = uji laboratorium untuk melihat tingkat antibodi atau kekebalan
tubuh biasanya untuk mengetahui kondisi tsb setelah
ayam divaksinasi oleh suatu vaksin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar