Jumat, 22 Januari 2010

PEREMPUAN YANG SEMPURNA (Bag.4)

“Halo, Ko Hadi!” sapaku ketika aku tiba di peternakannya.

“Hai, Val!” dengan sumringah beliau menyapaku. “Nggak sama Ernest?”

“Ernest?”

“Ya, Ernest anak big bosmu. Kamu jadi pacaran sama dia, kan?”

“Ah, Ko Hadi ini! Jangan menggosip yang belum pasti deh.” Lalu buru-buru aku mengalihkan pembicaraan, “Gimana, ayam-ayam sehat Ko?”

“Coba kau tengok yang di flock bagian tengah, ayam umur delapan minggu itu, ada beberapa yang mati. Tapi nggak ada gejala sesak napas, pilek atau ngorok.”

“Ya sudah, saya langsung ke belakang, Ko. Kebetulan saya juga sudah bawa tas alat bedah nih!”

Aku melangkah melewati koridor menuju kandang ayam di bagian tengah, kandang ayam usia 8 minggu.

“Kematian sejak kapan, Ko?”

“Sudah dua hari ini, tapi nggak banyak sih!”

“Kenapa Ko Hadi nggak telepon saya dari kemaren-kemaren?”

“Ya, saya pikir pasti kamu minggu ini ke sini. Jadi saya nggak kuatir.”

“Betul, cuma kalau dari dua hari yang lalu saya dikabari, saya bisa periksa, jadi bisa langsung diobati. Lagi pula, meskipun saya punya planning ke farm lain, kalau ada farm yang urgent untuk didatangi, saya akan prioritaskan untuk datang segera, Ko.”

“Ya, saya tahu kamu repot, banyak peternakan lain yang butuh didatangi juga. Jadi kadang saya suka kasihan, dan takut bikin kamu stress saja nanti.”

Tiba di kandang tengah. Aku memeriksa kandang, kulihat kotoran ayam yang terlihat mengandung bercak darah.

“Saya curiga ayam ini kena penyakit koksidia, Ko Hadi!” komentarku. “Kotorannya mengandung bercak darah. Tapi coba saya akan bedah bangkai ayam yang baru mati, dua atau tiga ekor, buat memastikan diagnosanya. Juga ayam yang kelihatannya kuyu-kuyu itu.” Aku menunjuk dua ayam yang berdekatan yang tampak diam dan lesu.

Aku langsung saja memakai kaus tangan steril dan masker di wajahku, lalu mengambil bangkai ayam yang masih hangat, yang artinya belum lama mati. Kuperiksa dahulu bagian luar bangkai ayam mulai dari kepala hingga kaki, lalu kugunting lapisan kulit mulai dari anus hingga pangkal tenggorokan, serta kubuka bagian rongga dada dan rongga perut. Kuamati dengan teliti semua organ dalam tubuhnya. Sistem pernapasan agaknya baik-baik saja, pencernaan bagian atas juga tidak menunjukkan penyimpangan. Di bagian usus yang telah kubuka bagian dalamnyalah yang jelas menunjukkan tanda-tanda penyakit. Ada banyak perdarahan di sana.

“Ini koksidiosis, Ko Hadi. Diobati dengan obat antikoksidiosis tentunya, dan karena ini sudah terkena penyakit maka memakai dosis pengobatan, Ko. Kemudian kandang yang berdekatan, lebih baik diberi dosis pencegahan. Persak kandang akan lebih baik jika disemprot desinfektan.”

Ko Hadi mengangguk-angguk.

“Terima kasih, Val.”

“Oh ya, Ko. Nanti saya boleh numpang kerja di kantor? Saya mesti mencatat data terakhir total populasi ayam umur delapan minggu ini, sehingga pengiriman jumlah vaksin dapat saya kurangi, sebab jumlahnya sudah nggak sama seperti waktu pertama kali datang DOC.” Ujarku panjang lebar. “Kemudian, tindakan kita sekarang harus mengobati dulu koksidiosisnya, lalu jadwal vaksinasi yang jatuh tempo dalam waktu dekat tentunya akan saya ubah sedikit, karena kalau penyakit ini belum tuntas, vaksinasi juga nggak optimal.”

“Oke..oke…silakan.”

“Ayam yang mati dan bekas bangkai yang saya bedah ini harus dibakar ya, Ko! Jangan lupa lalu dikubur dalam-dalam.”

Ko Hadi mengangguk-angguk.

“Ngomong-ngomong jadi kapan rencana pernikahannya?”

Aku mengernyitkan keningku.

“Rencana pernikahan siapa, Ko?”

“Ya kamu dengan Ernest!”

“Ah, Ko Hadi nih! Enggak lah, Ko. Saya ini siapa sih, Ko?”

“Hus, jangan begitu. Kelihatannya kalian berjodoh?”

“Enggak Ko, dia adik bagi saya, Ko.”

“Wah, bisa saja kamu ini. Ntar tahu-tahu bulan depan datang ke sini, cuma untuk mengantar undangan, dan setelah itu nggak tengok-tengok ayam-ayamku lagi.”

“Hus, Ko Hadi! Sudah ya Ko, saya mau ambil laptop dulu di mobil, dan mau ke kantor untuk mengubah data populasi ayam berikut jadwal vaksinasi berikutnya!”

Ko Hadi tersenyum-senyum memandangku.

Setengah jam kemudian, aku sudah meninggalkan kandang Ko Hadi.

Handphoneku berdering. Serta merta aku mengangkat telepon.

“Halo?”

“Dokter Valentine?”

“Ya, saya sendiri.”

“Bisa ke peternakan saya?”

“Ini siapa, ya? Peternakan apa?”

“Ini Anthony, Val. Bumi Java Farm.”

Jantungku berdetak kencang. Aku terdiam sejenak. Hm, berani juga dia meneleponku langsung sekarang!

“Baiklah, Ko. Saya usahakan mampir hari ini.”

“Terima kasih!”

Telepon kututup.

Berat hatiku sesungguhnya untuk datang ke Bumi Java Farm, tapi apa pun keadaannya panggilan tugas ini tak bisa kuabaikan.

“Ko Thony, ada?” tanyaku pada Mbak Tuti sambil menggoyang-goyangkan tas tempat peralatan bedah di tangan kananku, ketika aku memasuki ruang kantor peternakan itu.

“Pergi, Mbak Val.”

“Katanya ada ayam yang sakit? Ayam yang mana, ya? Saya mau kontrol, Mbak.”

“Sebentar, saya antar saja sama Pak Marijan, kepala kandang di sini.”
Aku mengekor Mbak Tuti ke arah kandang.

“Pak Marijan, katanya ada ayam yang sakit? Dokter Val mau periksa.” Mbak Tuti menepuk lengan Pak Marijan yang tengah berdiri di depan salah satu kandang batere.

“Oh ya, ayam itu, Mbak. Ayam dua belas minggu kurang nafsu makan, kayaknya makanan yang dijatah nggak seperti biasa, nggak habis. Ayo kita ke kandang saja!”

“Oke!”

“Mbak Val, saya kembali ke kantor ya!” Tuti menepuk pundakku.

“Oke, terima kasih sudah diantar ke sini.”

Mbak Tuti tersenyum dan sebentar saja sudah melenggang meninggalkanku.
Aku mengekor Marijan menuju kandang.

“Saya sudah kasih vitamin, Mbak, tapi nggak ada perubahan. Coba, Mbak Val periksa saja, ya!”

“Tenang saja, selama saya bisa Bantu, pasti saya bantu.”

“Nah ini kandangnya, Mbak.”

Aku memandang dengan seksama kandang ayam usia dua belas minggu itu.

“Ayamnya kurus-kurus ini. Berat badannya kayaknya kurang untuk ayam seusia ini lo. Kotoran ayam juga normal-normal saja. Ada ngorok atau pilek, nggak?”

“Nggak ada, Mbak, cuma nggak ada nafsu makan.”

“Ada kematian?”

“Ada, hari ini ada tiga ekor!”

“Boleh bawa ke sini, nanti saya lihat bangkainya ada perubahan apa, kalau bisa ayam yang baru mati saja.”

“Iya, justru ini memang baru mati.”

Aku memasang masker di wajahku, lalu memasang sarung tangan steril, dan ketika Marijan mengantar bangkai serta merta aku memeriksa kondisi luar serta membedahnya untuk memeriksa organ vital bagian dalam.

“Saya lihat rangkaian alat pernapasan baik-baik saja. Tembolok juga nggak ada masalah. Lalu hatinya juga bagus. Coba akan saya buka bagian ususnya, ya.”

Aku menggunting usus ayam itu sehingga bagian dalamnya tampak jelas.

“Wah, lihat ini ayam banyak cacingnya, Pak! Apa nggak pernah diberi obat cacing, ya?”

“Kayaknya belum, Mbak.”

“Kan sudah saya programkan untuk pemberian obat cacing, karena infeksi cacing juga bisa mempengaruhi daya tahan tubuh.”

“Tapi seingat saya, belum diberi obat cacing.”

“Coba kalau begitu saya minta ayam yang kelihatannya lemas-lemas, satu ekor saja, buat pembanding. Dipotong dulu ya, jadi saya tinggal bedah bagian dalamnya!”

“Oke, Mbak!”

Aku mencuci gunting bedah dan pinsetku yang kotor. Kutunggu Pak Marijan yang tengah menangkap ayam yang tampak tak sehat, lalu dia menyembelihnya.

“Ini, Mbak!” diberikannya ayam yang sudah tak berdaya itu.

Seperti tadi, aku memeriksanya dengan teliti. Tidak tampak gejala penyakit yang mencolok pada sistem pernapasan dan pencernaan, terkecuali keberadaan cacing yang banyak di dalam saluran usus ayam.

“Lihat, kan, seperti tadi, cuma di bagian usus yang banyak cacing.”

Pak Marijan mengangguk-angguk.

“Jadi kenapa ayamnya?” tiba-tiba Anthony sudah di belakangku.

Aku tersentak, kulihat Pak Marijan yang juga tampak kaget karena juga tak menyangka bosnya sudah muncul di situ. Lalu, entah mengapa pegawai kandang itu langsung meninggalkanku begitu saja.

“Ayamnya infeksi cacing, Ko Thony! Ini lihat saja.” Kutunjukkan bagian dalam usus ayam yang penuh dengan cacing, bentuknya ada yang seperti benang mulus berwarna putih, bahkan ada pula yang berbuku-buku yang tak lain adalah cacing pita. “Apa nggak dijalankan program obat cacing yang sudah saya jadwalkan, Ko?”

Anthony membungkukkan badannya, lalu menatap usus dari ayam-ayam yang sudah kubuka bagian dalamnya itu. Entah mengapa, aku malah leluasa dan nikmat memandangi wajahnya. Hm, kalau saja ketampanannya seimbang dengan tutur katanya yang manis…

“Jadi bagaimana?” tiba-tiba dia balik menatapku, tatapnya mengingatkanku ketika salah satu dosen senior Bakteriologi sedang menguji, penuh keingintahuan.

Jantungku berdebar kencang, tapi bukan karena takut tak bisa menjawab seperti ketika dulu menghadapi sang dosen, namun takut jika laki-laki tampan ini tahu bahwa sesungguhnya aku menyukainya. Aku segera mengalihkan pandanganku pada bangkai ayam.

“Ya diobati!” Jawabku tegas.

“Tidak terlambat?” Aku tahu dia hanya pura-pura bodoh di hadapanku, memancingku. Mana mungkin dia tidak tahu, bukankah dia juga seorang dokter hewan? Sialan!

“Ko, tidak ada kata terlambat. Hanya saja semestinya kemaren diberi obat cacing dengan dosis pencegahan, maksudnya supaya hal ini tidak terjadi. Kalau sudah begini ya kita mesti obati, dengan obat cacing sesuai dosis pengobatan.”

“Ya sudah, nanti biar disiapkan obat cacingnya.”

Hm, benar kan? Dia cuma memancing pengetahuan dan keahlianku saja!

“Oh ya, Ko, karena ayam-ayam ini mau diobati dulu cacingannya, maka jadwal vaksinasi untuk ayam periode ini akan saya revisi sedikit saja. Semua datanya ada di laptop saya, jadi nanti boleh ‘kan saya menumpang kerja sebentar di kantor depan? Pengiriman kuantiti vaksin juga akan saya revisi, supaya tidak berlebihan, karena jumlah ayamnya juga sudah berkurang.”

Anthony menatapku.

“Terima kasih.”

“Oh ya Ko, kenapa sih program pencegahan cacing yang sudah terjadwal kok nggak dijalankan?” keluhku kemudian. “Nanti saya nggak mau kalau program vaksinasi juga sampai lupa dijalankan. Tahu-tahu ayam mati kena penyakit, dan produk dari perusahaan saya lagi yang disalahkan.” Tambahku ketus.

“Kenapa juga sih kamu membela habis perusahaan? Karena sebentar lagi jadi menantu pemilik perusahaan itu?”

Aku menatap dengan sebal.

“Bukan begitu. Sering kalau terjadi kasus, peternakan akan komplain bahwa ayam sudah divaksin tapi kok masih sakit, vaksinnya yang dibilang nggak bermutu. Padahal, mungkin saja kegagalan vaksinasi terjadi karena terlambat dari jatuh tempo jadwal vaksinasi yang seharusnya, sehingga kekebalan sudah menurun, virus menyerang, baru kemudian melakukan proses vaksinasi. Bisa juga proses vaksinasinya yang tidak benar, atau faktor-faktor lain, Ko. Itu maksud saya.” Lalu aku tambah mengoceh lagi. “Nanti kalau ayam banyak mati, tinggal komplain ke kantor, dan akhirnya saya lagi yang ditegur kantor. Padahal saya sudah memberikan apa pun yang terbaik untuk membantu kesehatan ayam-ayam yang menjadi pelanggan produk perusahaan. Ko Thony senang ya, kalau saya sampai dipecat dari pekerjaan?”

“Jadi kamu marah sama saya?” balasnya dengan sorot mata tajam, membuatku tersadar bahwa aku terlalu banyak mengoceh.

“Bukan, maksud saya…”

“Sudahlah,” potongnya cepat. “Jangan takut, nggak mungkin kamu dipecat, kamu kan calon menantu bos?” Dia lalu tersenyum sinis.

Aku tersentak, dan mendelik. Aku tak tahu pasti apakah “gossip gila” ini sudah beredar luas di kalangan peternak, atau memang dia saja yang senang menyerangku seperti ini? Yang jelas aku benar-benar tak tahan lagi dengan ucapannya itu.

Aku menatapnya tak berkedip.

“Ko, maafkan saya kalau saya cerewet,” ujarku menahan emosi, “semua itu karena saya menyayangi ayam-ayam Ko Thony, seperti ayam ini milik saya sendiri, Ko.”

Laki-laki tampan itu langsung terdiam.

“Oh ya, saya mohon Ko Thony jangan lagi bicara bahwa saya calon menantu bos. Saya nggak suka!” serbuku lagi.

Mulutnya terkunci.

“Permisi, Ko. Saya mau mencuci tangan dan alat bedah.” Aku berdiri dan melangkah menuju keran yang terdekat dengan kandang ini. Dari tempat aku mencuci, kudengar Anthony yang memerintah pegawai kandang untuk membakar dan mengubur bangkai ayam yang telah kuperiksa.

Usai membersihkan alat dan tanganku, kembali kuhampiri Anthony.

“Saya ke kantor ya, Ko. Saya mau merevisi program vaksinasi ayam-ayam periode ini. Jadi nanti, pengiriman vaksin berikutnya akan sesuai dengan jadwal yang saya revisi ini.”

Laki-laki itu mengangguk pelan. Aku langsung membawa tas bedahku, dan melenggang ke mobil. Kutaruh alat bedah, dan mengambil laptop lalu masuk kembali ke kantor peternakan yang sunyi.

“Kamu sendiri ke sini?” Ko Thony tiba-tiba saja muncul dari ruang kerjanya mengagetkanku.

“Sendiri, Ko.”

“Tidak ditemani Ernest?”

Aku duduk, lalu menyalakan laptop. Tak kujawab pertanyaan bodoh itu, hanya kulirik Anthony sesaat dengan sebal, sambil mencengkeram geraham. Hm, mengapa manusia satu ini masih ingin berkonfrontasi denganku? Mengapa ia tak bisa bersikap sedikit manis padaku? Andai saja dia tahu betapa aku menyukainya…

“Terakhir kamu ke sini, kamu dikawal Ernest, kan? Dan bosmu pun menawarkan anaknya itu untuk menjadi suamimu, ketika di pesta pernikahan anak Ko Agus dulu. Tentunya, sebentar lagi kamu jadi istri pewaris tahta perusahaan besar!”

Telingaku semakin panas saja mendengarnya. Ingin rasanya aku menangis diberondongi kata-kata seperti itu. Kalau saja dia bukan pelanggan perusahaan, barangkali aku lebih leluasa untuk menampar wajahnya detik ini juga.

“Ya, terserah Ko Thony deh, mau bicara apa!” Itu, ya hanya itu, yang sanggup keluar dari mulutku.

Tak kusangka, laki-laki tampan itu langsung terdiam. Tapi aku sendiri tak mengerti, entah mengapa separuh hatiku merasa menyesal telah berbicara seperti itu.

“Ko Thony, please…” ujarku kemudian dengan nada lemah, untuk mencairkan suasana di antara kami. “Sebelumnya saya mohon maaf. Saya ingin bicara sebentar. Saya nggak mengerti dengan sikap Ko Thony. Kemaren ini, Ko Thony bilang saya suka sama Ko Jo. Saya perempuan yang mengejar suami orang. Lalu ketika saya kemari dahulu dan kebetulan ditemani anak bos yang hanya sekedar ingin jalan-jalan ke peternakan, Ko Thony bilang saya punya pengawal pribadi, calon mantu boslah! Aduuh Ko Thony, besok apa lagi yang mau Ko Thony bilang sama saya, kalau saya kemari lagi dengan laki-laki yang lain lagi?”

“Tapi memang benar kan, Ernest calon suamimu?”

Aku menggigit bibir.

“Sudahlah, saya datang ke sini untuk urusan ayam, bukan yang lain!” ujarku kemudian sambil sibuk bekerja dengan laptopku.

***

“Bu, aku punya masalah,” akhirnya aku curhat melalui telpon dengan Ibu, setelah beberapa hari ini kucoba untuk memendamnya sendiri. “Ada anak bos di kantor yang menyukaiku dan ingin menikah denganku! Dia keturunan cina, usianya tujuh tahun lebih muda dariku. Orangnya baik, Bu, dan kelihatannya dia serius menyukaiku, Bu.”

Ibu terkekeh di seberang sana.

“Terserah kamu saja,” jawab Ibu dengan santainya dari seberang sana, yang terasa sejuk di telingaku. “Kamu yang akan menjalani hidup bersamanya, Val. Siapa pun pilihanmu, Ibu tidak masalah, yang penting kalian seiman atau paling tidak dia mau seiman denganmu, dan kalian saling mencintai sehingga bisa saling membahagiakan?”

Aku terdiam.

“Kamu juga mencintainya, Nduk?”

“Aku lebih merasa bahwa dia cocok jadi adikku, Bu.”

Ibu tertawa renyah.

“Ya sudah, bicara saja baik-baik dengannya. Katakan apa yang kamu rasakan sejujurnya. Meski pun memang kejujuran itu terasa pahit untuknya, namun itulah yang terbaik, Val.” Nasehat Ibu bak malaikat yang menjernihkan hatiku.

“Ibu percaya, kamu cukup bijak untuk menyelesaikan masalah ini, Val. Dan Ibu ingatkan lagi, yang terpenting pernikahan itu atas dasar cinta, bukan harta. Persamaan iman di antara kalian, juga akan melancarkan urusan dalam mendidik anak-anakmu kelak. Ibu percaya kamu akan mendapatkan laki-laki yang kamu cintai dan yang bertanggung jawab serta membahagiakanmu. Setiap malam Ibu selalu berdoa untuk kebahagianmu.”

Aku terharu.

“Ya sudah, Bu. Saya mengerti maksud Ibu. Terima kasih, Bu! Doakan saya agar mendapatkan laki-laki yang terbaik ya, Bu.”

“Ibu selalu mendoakan yang terbaik untuk anak-anak Ibu.”

“Salam untuk Bapak, Bu!”
(BERSAMBUNG KE BAG.5)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar