Rabu, 15 Desember 2010

Kamis, 08 Juli 2010

PELABUHAN HATI

Aku tengah berkutat dengan notebook-ku, membereskan laporan stok vaksin dan obat-obatan kantor cabang yang kupimpin, ketika tiba-tiba Wati pembantu rumah kantorku ini masuk ke ruang kerjaku.

“Ada apa, Wati?” tanyaku seketika.

“Bu, ada tamu di depan. Pak Daeng Tata, peternak yang ingin bertemu Bu Elda!”

Pak Daeng Tata? Bukankah peternak itu yang selalu menolak penawaran produkku habis-habisan ketika aku berkunjung ke peternakannya? Bukankah dia begitu setia pada produk lain dan mengelu-elukan kehebatan produk lain padaku seminggu yang lalu? Untuk apa tiba-tiba dia datang ke sini? Tanyaku bertubi-tubi dalam hati.

Serta merta aku beranjak dari meja kerjaku setelah ku-save program yang tengah kukerjakan tadi. Kuseret kakiku menuju ruang depan.

“Selamat sore, Dokter Elda. Maaf, saya mengganggu sore-sore ini.” Laki-laki peternak ayam broiler berskala lumayan besar, yang konon menurutnya belum lama membuka usaha itu menyambutku.

“Ah, tak apa-apa, Pak!” Aku buru-buru menyalaminya, tanpa sedikit pun memendam dendam atas kearoganannya selama ini padaku. “Mari duduk. Apa yang bisa saya bantu, Pak?”

“Begini, Bu...” Wajahnya tampak tegang. “Ayam saya banyak yang mati sejak siang tadi. Apa Ibu bisa datang ke peternakan saya? Saya sebenarnya berat hati hendak minta tolong Ibu, karena saya tidak pakai produk Ibu toh. Tapi mau bagaimana? Saya sudah telepon Dokter Hewan Kukus yang jual vaksin pada saya, tapi katanya tidak ada di kantor, sedang meeting ke Jakarta. Lalu saya telepon Dokter Hewan Gustaf, yang obat-obatannya saya pakai juga sedang dinas ke Gorontalo. Ya, akhirnya saya ke mari agar Dokter Elda sudi ke peternakan saya, walau malu rasanya.”

Aku tersenyum.

“Oh tak apa-apa, Pak!” ujarku tulus. “Kalau begitu mari kita berangkat segera.”

“Sekarang?” Peternak ayam broiler itu terkaget-kaget.

“Ya! Bapak bawa kendaraan? Kalau tidak, ayo sekalian naik mobil kantor saya saja.”

Pak Daeng Tata tersenyum girang. Wajahnya yang tadi agak menegang, tampak mulai sumringah.

“Saya naik motor, Dokter.”

“Ya sudah, kita berangkat masing-masing saja sekarang.”

Aku langsung menyabet kunci Innova dari gantungan kunci di tembok kantor ini, dan langsung melesat menuju Sungguminasa, tempat peternakan ayam Pak Daeng Tata berada.

Tiba di sana, aku segera memakai masker penutup hidung. Di dekat kandang, aku disambut oleh beberapa bangkai ayam yang telah disiapkan oleh pegawai kandang. Namun sebelum aku melakukan bedah post mortem pada bangkai ayam-ayam itu, kuminta Pak Daeng Tata untuk menemaniku melihat kondisi ayam di kandang yang terkena penyakit ini, juga mengevaluasi program vaksinasi dan pengobatan yang telah dilakukan pada ayam-ayam ini.

“Menurut saya, ayam-ayam ini agaknya terkena infeksi parasit koksidia, Pak. Saya periksa dari persak di kandang, banyak kotoran berdarah dari ayam Bapak. Namun, nanti untuk lebih pastinya saya akan bedah ayam-ayam yang mati, dan kalau boleh, saya minta barang lima ekor ayam hidup yang tampak lemas-lemas, sebagai pembanding untuk diperiksa.”

Pak Daeng Tata mengangguk-angguk.

“Bapak sebelumnya sudah berikan program pencegahan untuk koksidiosis, Pak?”

Lelaki itu menggeleng.

“Paling-paling saya hanya program vaksinasi tetelo dan pemberian vitamin saja, Dokter.”

“Begitu ya, semestinya ayam juga diberi program pencegahan untuk kasus koksidiosis. Bisa melalui vaksinasi, bisa juga dengan pemberian obat dengan dosis pencegahan, Pak. Karena penyakit koksidiosis menurunkan daya tahan tubuh, sehingga kadang-kadang program vaksinasi tetelo atau lainnya yang sudah dijalankan, juga bisa mengalami kegagalan sehingga meskipun ayam sudah divaksin tetelo masih juga terinfeski.”

Pak Daeng Tata kembali mengangguk-angguk. Aku pun lalu melangkah menuju bangkai ayam. Kulakukan pemeriksaan fisik luar pada beberapa bangkai ayam, kemudian baru melakukan bedah post mortem. Kuperiksa bagian alat pernafasan yang tak kulihat ada perubahan mencolok di situ, lalu bagian lambung ayam pun ternyata baik-baik saja. Namun ketika kubuka bagian usus dengan gunting bedah, tampak jelas perdarahan di sana.

“Diagnosa saya ayam-ayam ini terkena koksidiosis, Pak!” ujarku kemudian. “Oh ya, mana ayam yang lemas-lemas? Bisa dipotong dulu, lalu akan saya periksa.”

Pak Daeng Tata memerintahkan pegawainya untuk mencomot tiga ekor ayam yang tampak lemas di kandang. Aku segera melakukan pemeriksaan fisik luar, lalu dilanjutkan dengan pembedahan pada semua ayam lemas yang telah dipotong itu.

“Lihat, Pak. Sama gejalanya yang terjadi dengan ayam yang mati tadi, kan? Berak darah atau koksidiosis.”

“Lalu bagaimana, Dok? Apa yang sebaiknya kita lakukan?”

“Kita obati saja dengan amprolium atau sulfadiazine. Bapak, ada obatnya?”

“Hm…mari kita lihat saja ke dalam gudang stok obat dan vaksin saya, Dok.”

“Tapi, saya cuci tangan dan cuci alat bedah saya dulu ya, Pak. Oh ya, jangan lupa bangkai-bangkai ayam ini segera dibakar dan dikubur dalam-dalam, agar tak menular ke kandang lain.”

Aku mencuci tanganku dan gunting bedah serta pinset dengan sabun disenfektan yang selalu ada di dalam tas bedahku. Pak Daeng Tata menantiku. Dan ketika selesai, kami melangkah bersama menuju gudang stok obat-obatan dan vaksinnya.

“Saya kebetulan baru mencoba usaha ternak broiler ini, Dokter. Ya, baru setahun inilah, jadi saya belum berpengalaman. Obat-obatan pun saya belum tahu semuanya.” Kudengar penjelasannya yang kali ini sungguh berbeda dengan nada bicara pertemuannya denganku sebelumnya.

“Tak apa, Pak. Walau Bapak nggak pakai produk saya, sebagai dokter hewan saya tetap akan membantu Bapak, juga siapa pun yang membutuhkan pertolongan saya.”

“Ini Dok, stok obat-obatan saya.” Daeng Tata menunjukkan rak berisi bermacam obat dan vitamin yang sudah dibelinya.

“Nah, diobati dengan ini, Pak!” aku mengambil sebuah kaleng yang isinya mengandung amprolium.

Lihat ini petunjuk dosis untuk pengobatannya ada. Saya sarankan ayam-ayam yang di kandang lain yang belum menunjukkan tertular penyakit, sebaiknya juga diberi obat yang sama dengan dosis pencegahan. Ini Bapak lihat, ada kan petunjuk dosis pencegahannya.”

“Kalau vaksinnya ada, Bu?”

“Ada, Pak. Namun jika kasusnya seperti ini, agaknya pemakaian vaksin sudah terlambat. Nanti, jika Bapak mau, pada ayam yang baru masuk saya bersedia membuatkan program vaksinasi lengkapnya, boleh memakai produk saya namun tak masalah jika Bapak menginginkan memakai vaksin produk lain.”

Daeng Tata tersenyum simpul.

“Baik nanti saya pikirkan, Dok!”

Aku mengangguk.

“Saya mengerti, Pak. Vaksin saya memang produk baru di Sulawesi ini, meski di Pulau Jawa sana termasuk produk yang popular di kalangan peternak yang kualitasnya tak perlu diragukan lagi. Namun berkualitas tinggi macam mana pun, sesungguhnya pengaturan program yang tepat dan kontrol yang berkesinambungan dari dokter hewan itu yang utama. Dan saya janjikan hal itu menjadi prioritas program saya, Pak.”

Pak Daeng Tata mengangguk-angguk.

“Baiklah, sudah hampir magrib, saya permisi pulang. Bapak juga mau memberikan obat pada ayam-ayam yang sakit, kan? Telepon saja saya, jika Bapak membutuhkan bantuan…kapan pun!”

“Terima kasih Dokter Elda.”

“Sama-sama, Pak! Jangan lupa dosis pengobatan untuk ayam di kandang yang sakit, dan dosis pencegahan untuk ayam kandang yang lainnya!”

Kularikan Innovaku, sambil di jalan tak hentinya kuberdoa, semoga Pak Daeng Tata kelak mau menggunakan program vaksinasiku, menggunakan produkku. Beginilah memang liku-liku pekerjaanku sebagai kepala cabang perusahaan obat hewan, yang segalanya masih kutekuni seorang diri, alias mbabat alas , di bumi Sulawesi ini. Dulu, di Jabotabek aku bisa lebih mudah menawarkan produkku, namun di sini, di mana nyaris orang tak mengenal produkku, aku memang jauh harus lebih bersabar namun tetap berusaha keras agar peternak bisa percaya pada produkku. Dengan kiat, tak memaksa dan menggurui pada peternak, namun memberikan pengertian akan produk baru dengan tulus serta selalu siap turun tangan menghadapi berbagai kasus, aku percaya cepat atau lambat produkku akan dikenal baik oleh para peternak di sini, seperti di Jabotabek. Apalagi para peternak ini juga gemar berkumpul bersama dua minggu sekali dalam komunitas peternak, maka ungkapan maupun komentar positif tentang servis dan kualitas produkku dari satu peternak pada peternak lain, jelas akan memudahkan jalan agar produkku dipakai peternak lain!

***

Malam belum terlalu tua, ketika aku selesai menelepon beberapa peternak di sekitar Makassar ini, untuk menanyakan kondisi ayam-ayam mereka yang sudah menggunakan program vaksinasi dan obat-obatan produkku. Tiba-tiba handphoneku berdering.

“Hey…Bang!” sambutku ceria pada Admiral Siregar, seniorku berbeda tiga angkatan ketika kuliah di kedokteran hewan dulu, yang menghubungiku.

“Apa kabar, Da?”

“Baik-baik, Bang! Ada apa nih, sudah lama nggak main ke sini, nggak telpon pula!”

“Kalau begitu kita jalan, yuk! Kita nongkrong di Losari.”

“Ayo!”

“Kujemput, ya?”

“Kutunggu!” ujarku penuh semangat.

I’ll be there!” balasnya dan langsung menutup pembicaraan.

Hatiku mendadak berbunga-bunga diajak Bang Iral ke Losari. Tak kusangka laki-laki batak yang dulu senior galak di kampusku, bahkan dinobatkan sebagai senior paling galak ketika masa orientasi itu, kini menjadi kolehaku.

Aku sendiri lama tak pernah bertemu dengannya, hingga akhirnya kami berjumpa lagi ketika aku dan Pak Julius menanti saat boarding pesawat yang akan menerbangkan kami ke Makassar.

“Kamu Elda, kan?” seorang lelaki menepuk pundakku saat itu.

Aku menoleh dan mengerutkan keningku, mencoba mengingat siapa lelaki di sampingku ini.

“Aku Iral, Da! Admiral Siregar! Angkatan sembilan belas di FKH dulu, Apertura!”

“Ya…Allah! Bang Iral?!” teriakku spontan, tak peduli entah berapa pasang mata menatapku termasuk Pak Julius yang tersenyum-senyum melihat kami.

“Kamu mau ke Makassar, Da?”

Aku mengangguk.

“Aku juga mau ke sana. Aku baru selesai meeting di Jakarta, dan sekarang harus balik ke Makassar. Aku dinas di sana, Elda.”

“Oh ya?”

Bang Iral mengangguk pasti.

“Untuk apa kamu ke Makassar, Da?”

“Aku pindah tugas ke sana, Bang!”

“Hah? Serius, kau?”

Aku mengiyakan.

Pertemuan tak terduga itu alhasil menyebabkan Pak Julius yang rencananya akan berada di Makassar selama lima hari akhirnya hanya tiga hari, karena Bang Iral membantu kami mencari rumah kontrakan untuk rumah sekaligus kantor cabang ini. Tak sampai hanya di situ, Bang Iral yang telah tiga tahun bergulat menjual obat hewan dan vaksin di Sulawesi itu, juga membantuku membeli segala keperluan kantor dan rumah baruku ini, mulai dari membeli sendok hingga genset.

“Genset penting, Elda. Karena di sini kadang terjadi pemadaman listrik. Vaksin yang kau jual bisa rusak jika listrik padam dalam waktu yang lama. Akibatnya, program vaksinasimu bisa jadi gagal, dan peternak akan komplen padamu!” itu nasehatnya di telepon, ketika ia tahu di rumah kantorku ini hanya ada refrigerator, tanpa disertai genset.

“Abang tahu toko yang menjual sekaligus memberikan jasa memasangnya?”

“Ayo kuantar sekarang, kalau kau mau membelinya!”

Begitulah Bang Iral, selalu siap sedia menolongku. Yang kusuka, ia tak menganggap diriku sebagai kompetitornya. Ia tak takut kehadiranku mengganggu roda sales produknya, sehubungan dengan produk yang dijualnya sejenis denganku yaitu vaksin dan obat hewan.

“Hidup, mati, dan rejeki itu sudah ada yang mengatur! Tak masalah banyak produk baru di lapangan, malah bagus memberikan banyak pilihan bagi peternak!” komentarnya enteng, ketika kutanya pendapatnya akan pengaruh kehadiran produkku bagi produknya nanti di sini.

Bang Iral juga tak segan-segan mengajakku joint visit mengenal lokasi peternakan ayam, sapi potong dan babi di sekitar Makassar, Pare-Pare, Sidrap, bahkan hingga ke Manado dan Kotamobagu.

Bayangkan saja, aku belum pernah menginjakkan kakiku sebelumnya di pulau bagian selatan negeri ini. Sudah pasti pengetahuanku mengenai kantung-kantung peternakan di daerah ini benar-benar blank. Barangkali aku memang salah satu perempuan ‘gila’, perempuan nekad, yang berani menerima tantangan dari perusahaan untuk menjadi kepala cabang yang untuk sementara waktu (entah sampai kapan) harus bekerja seorang diri menjual produk dan menangani semua urusan kantor dengan segala persoalannya di sini.

Mendadak aku teringat ketika dipanggil Pak Julius untuk masuk ke ruang rapat direksi dulu, apalagi di sana berkumpul para petinggi perusahaan ini. Aku sungguh resah saat itu, karena kuatir ada peternak ayam yang komplen dengan kinerjaku dan mengadu pada Pak Julius, pemilik perusahaan ini. Maklumlah selain pemilik perusahaan, Pak Julius juga memiliki breeding farm dan peternakan ayam potong skala besar serta aktif pada organisasi peternak di Jabotabek, sehingga ia akan lebih mudah mengetahui kinerja pegawainya dari sesama peternak!

“Kamu tahu, mengapa kamu dipanggil ke ruang ini, Elda?” tanyanya sambil tersenyum padaku saat itu.

Aku menggeleng.

“Ada apa, Pak? Ada peternak yang kurang berkenan atas servis saya, dan peternak itu mengeluh pada Bapak?” jawabku dengan perasaan tak tentu.

Pak Julius tersenyum.

“Bukan…” Pak Jonathan, Sales Manager perusahaan ini menatapku. “Begini, Da, kami ingin menawarkan, apa kamu mau jika kamu menjadi kepala cabang untuk produk kita di Sulawesi, dan ditempatkan di Makasar?”

“Menjadi kepala cabang Sulawesi? Serius, Pak?” Aku benar-benar tak percaya.

“Ya!”

“Saya mau, Pak!” jawabku pasti dan penuh semangat. Ke Sulawesi! Bukan main! Batinku saat itu. Ah….artinya aku akan meninggalkan Jakarta yang akhir-akhir ini membuatku gerah, membuatku tak betah dan tak sumringah, lantaran terlalu banyak kenangan di kota ini yang telah kurangkai bersama Lexi, Laksamana Saragih kekasihku, yang akhirnya tiga bulan yang lalu meninggalkanku karena menikah dengan gadis tapanuli pilihan orangtuanya.

Tak ada terbersit sama sekali di benakku, bagaimana jika kelak aku kesepian karena sama sekali tak memiliki sanak saudara di Sulawesi. Tak kupikirkan pula betapa sulitnya, jika di sana aku harus mbabat alas, karena perusahaan memang benar-benar baru mulai membuka pemasaran bagi produk vaksin dan obat-obat hewan yang harus bisa kujual tanpa didahului market research, sementara aku pun belum pernah menginjakkan kakiku di bumi Sulawesi itu, bahkan aturan perusahaan yang mewajibkanku di sana selama dua tahun berturut-turut, juga kuanggap angin lalu meski konsekuensinya aku hanya bisa pulang ke Jakarta manakala ada meeting national atau cuti yang hanya setahun sekali.

Dua hal yang ada di hatiku saat itu, pertama aku bahagia sekali dengan tawaran promosi ini, setelah aku frustasi karena Lexi! Kedua aku ingin enyah dari Jakarta untuk mencari suasana baru!

“Kamu serius?” Pak Jonathan, National Sales Manager, menatapku lekat.

“Saya tidak main-main, Pak! Saya kan masih single. Saya tidak masalah jika harus menetap di sana!” Tantangku lantang.

Pak Julius, salah satu komisaris sekaligus direktur perusahaan tersenyum.

“Kamu yakin?”

“Wah, jangan-jangan Bapak-Bapak semua ini, yang cuma basa-basi menawarkan promosi pada saya?” candaku sambil tersenyum.

Pak Julius tertawa.

“Kamu tidak takut di tempat asing sendiri, jauh dari saudara dan teman-teman? Lalu apa keluargamu setuju?”

Aku menggeleng.

“Dulu saya kuliah juga sendiri, tidak punya kenalan atau teman, tapi saya bisa menjalaninya. Bagi saya, di tempat mana pun saya berada, selama saya berbuat hal yang baik dan benar, saya percaya akan baik-baik adanya dan disukai lingkungan tempat saya berada.” Tegasku panjang lebar. “Mengenai keluarga, orangtua saya keduanya sudah tiada. Kakak tunggal saya di Bandung juga sibuk dengan pekerjaan dan rumah tangganya, dan beliau membebaskan apa pun yang saya lakukan, selama tidak melanggar norma-norma kehidupan, Pak.”

“Oke, kalau begitu bulan depan kamu berangkat!” Pak Julius menjentikkan jempolnya. “Saya akan berangkat bersamamu, untuk mengurus pembukaan giro bank, membantumu mengurus pengambilan mobil yang dikirim perusahaan angkutan dari Jakarta ke sana, serta menyewa kantor sekaligus rumah untuk kamu dan staf tinggal di sana nanti, karena setelah kantor cabang ini jalan, kita akan kirim staf administrasi kantor dan dokter hewan sebagai technical advisor untuk menjadi anak buahmu. Lalu menyusul nanti, kita juga akan kirim kendaraan untuk anak buahmu, serta mobil box untuk ekspidisi. Barangkali untuk supir ekspedisi, sebaiknya kamu sendiri yang rekrut di Makassar nanti, karena orang sana lebih tahu daerah sana, bukan?”

Aku mengangguk.

“Siap, Pak!”

“Oke, sekarang silakan tanda tangani surat ini, jika kita sepakat!”

Aku langsung saja menandatangani surat pengangkatan kepala cabang, surat perjanjian kerja dan surat keterangan atas gaji dan fasilitas yang berhak aku dapatkan dengan jabatan baruku itu. Setelah itu, Pak Julius menyerahkan masing-masing satu lembar untukku dan menyalamiku.

Bel di ruang depan berbunyi nyaring, menghentikan lamunanku. Aku bergegas ke depan, setelah berpamitan pada Wati, pembantuku sekaligus teman satu-satunya di rumah saat ini.

“Jangan tidur dulu, ya. Saya pergi sama Bang Iral, tapi nggak lama kok.”

Wati mengangguk.

Bang Iral membukakan pintu samping kemudi untukku, aku segera masuk, dan tak lama mobil ini melaju menuju pantai Losari.

So, how is your business?”

Fine, but still have to try harder to reach the target!”

“Hebat kau, Da! Tak kusangka kau wanita perkasa, berani berpetualang ke negeri selatan meski kau belum pernah mengenal negeri ini.”

Aku tertawa.

“Ah…Bang Iral, bisa saja! Habis kapan lagi? Kesempatan jarang datang dua kali, makanya selagi ada kesempatan, cepat kuambil. Abang tahu, naik pesawat saja aku baru pertama kali itu, Bang!”

“Oh ya?”

Aku mengangguk.

“Abang kan tahu, almarhum orangtuaku hanya petani di daerah Cianjur sana! Abang juga tahu, semasa kuliah dulu, aku terpaksa menjadi guru privat bahasa Inggris, juga menjadi penyiar radio paruh waktu, agar bisa makan selama kuliah. Karena beasiswa yang kudapat sungguh pas-pasan!”

“Aku tahu banyak tentang dirimu, Da. Termasuk kesetiaanmu pada Lexi, cowok jurusan tanah itu, yang akhirnya meninggalkanmu, kan?”

Mendadak tenggorokanku terasa kering, kepalaku pun menjadi pening. Jadi, Bang Iral yang selama ini di Makassar, juga tahu kasusku dengan Lexi? Dari mana ia tahu? Dan seberapa pentingkah informasi mengenai hubunganku dengan Lexi untuknya?

Aku menghela napas, mencengkeram gerahamku. Lexi! Mengapa nama itu harus lagi kudengar, setelah aku lari ke sini, setelah bersusah payah mengubur dalam-dalam semua kenangan tentang laki-laki itu?! Setelah selama di Makassar ini aku merasa memiliki kehidupan lain yang lebih menyenangkan walau penuh tantangan! Huh…aku muak mendengarnya!

“Kamu ke sini untuk lari dari kenyataan, kan?” pertanyaan Bang Iral menelisik.

“Entahlah!” jawabku acuh tak acuh. “Yang jelas aku memang ingin mencari suasana baru di sini, selain menikmati promosi atas kerja kerasku selama ini di Tangerang!”

Bang Iral tersenyum.

“Kenapa tersenyum?” aku mendadak sensitif.

“Dari dulu kamu memang gadis yang unik dan menarik, Da! Nggak salah jika banyak mahasiswa yang menyukaimu. Sayang, Lexi-lah yang berhasil menjadi sang penakluk!”

“Bang, kumohon jangan sebut nama itu lagi, atau aku enggan berkawan denganmu!”

Bang Iral menoleh ke arahku.

“Jadi nggak butuh aku lagi, nih?” balasnya dengan nada menggoda. “Hm…ancaman yang curang! Tentu saja kamu nggak mau berkawan denganku lagi, karena hampir semua peternakan di Sulawesi ini sudah mulai kau kenal!”

“Habis Bang Iral, begitu sih…!” ujarku kesal. “Aku sudah berusaha melupakan, bahkan hingga lari ke sini, tapi Bang Iral malah membicarakannya terus. Aku muak, tahu!” kutinju saja lengan kiri seniorku itu, sialnya tangan kiri Bang Iral lantas menangkap tangan kananku dan memegangnya erat. Entah mengapa jantungku mendadak berdebar keras. Debar-debar yang sulit kumengerti. Mungkinkah, aku mulai menyukai laki-laki batak tampan seniorku ini? Lalu akankah ia juga menyukaiku?

Aku menarik tangan kananku. Beringsut dari tangannya.

“Awas, ya…jangan sebut-sebut dia lagi!” sekali lagi kutinju lengan kirinya.

Bang Iral mengaduh kesakitan.

“Oke…oke…” katanya kemudian, sambil menghentikan mobilnya di tempat parkir karena kami telah tiba di tepi pantai Losari.

“Kau mau makan apa? Es pallubutung? Es pisang ijo? Atau pisang epek?”

“Semuanya!” jawabku enteng sambil turun dari mobil, dan melangkah di samping Bang Iral, menuju kafe tenda.

“Rakus kali!”

“Biarin!”

Bang Iral mengacak-acak rambutku. Entah gemas, entah sayang, aku tak tahu pasti. Yang jelas aku merasa nyaman diperlakukannya seperti itu.

***

Handphone-ku berdering. Bang Iral! Segera saja kutepikan Innovaku sejenak, demi menjawab teleponnya.

“Ada apa, Bang?”

“Kau ke mana, Da? Aku di kantormu ini!”

“Jalan, Bang. Cari order ke Parepare, Sidenreng-Rappang, Pinrang dan Enrekang.”

“Sendiri?”

“Ya iyalah, memangnya mau terus menerus merepotkan Bang Iral!”

“Aku tak merasa direpotkan, Elda!”

“Ya, tapi cukuplah sekali diberi petunjuk lokasi oleh Bang Iral, selanjutnya aku sendiri yang harus berjuang. Bang Iral kan nggak terima gaji dari kantorku.”

“Berapa hari kau di sana?”

“Tiga hari, Bang!”

“Hati-hati, Da! Menginap di Sidrap saja, di rumah Bu Haji Ilyas.”

“Memang aku mau menginap di sana, bersih dan aman, kan? Seperti Abang bilang!”

“Hati-hati, Elda!”

Ucapan itu benar-benar menyejukkan hatiku.

“Telepon aku kalau ada apa-apa.”

“Ya, Bang. Titip-titip kantorku juga, ya Bang! Si Wati sendirian.”

“Oke!”

“Terima kasih, Bang.”

Telepon kututup, lalu dengan penuh semangat kularikan Innovaku menuju Pare Pare. Di kota ini kubidikkan senjata ampuh pemasaranku pada beberapa poultry shop besar, dan juga pemilik peternakan ayam petelur. Alhasil, aku mendapatkan order walau tak terlalu besar.

Dari Pare Pare aku melaju menuju Sidrap (Sidenreng-Rappang), yang merupakan basis peternakan ayam petelur. Dari peta yang kubuat sendiri ketika joint visit pertama bersama Bang Iral, akhirnya aku bisa berkunjung ke setiap lokasi peternakan di daerah ini.

“Assalamu’alaikum Pak Haji Muhtar!” Aku mengetuk pintu rumah peternak, yang menurut Bang Iral, peternak ayam petelur terkaya di Sidrap ini.

“Aih…Dokter Elda! Dengan siapa, ji?” peternak itu berdiri di depan pintu, matanya menatapku lekat dan tersenyum ramah.

“Sendiri, Pak Haji. Biasa, mau menawarkan vaksin dan obatnya pada Pak Haji Mohtar.”

Haji Muhtar mengangguk-angguk.

“Ah…mana Dokter Iral, ki?”

“Beliau di Makassar. Saya kan harus jalan sendiri, Pak Haji.”

“Mari masuk, Dok!” ajaknya kemudian.

Aku tak menolak, dan begitu menaruh pantatku di sofa empuk ruang tamu, aku langsung mengeluarkan beberapa brosur dan daftar harga dari file folder di tanganku.

“Bagus harga telur hari ini, ya Pak Haji!” aku memulai beraksi. Berhadapan dengan peternak, mau tak mau memang harus pintar berbicara, terutama tentang kondisi harga entah harga telur, pakan, DOC yang kadang-kadang mengalami fluktuasi.

“Benar, Dok. Sedang bagus untuk seminggu ini. Kebetulan produksi telur ayam saya juga sedang di puncak-puncaknya, ji!” Pak Haji Muhtar menatapku.

“Wah, bisa-bisa tahun depan pergi ke tanah suci lagi, Pak Haji Muhtar ini.”

“Amiin…” peternak itu lagi-lagi tersenyum. “Dokter Elda ada-ada saja.”

“Ayam-ayam, bagaimana? Sehat-sehat?”

“Ayam yang produksi sih baik-baik, Dok. Hanya yang umur tujuh minggu, agaknya kurang nafsu makan. Boleh nanti, Dokter Elda mampir dan periksa ke kandang?”

“Kalau begitu sekarang saja. Lebih cepat, lebih baik. Dan bisa langsung diobati jika ada masalah di kandang, Pak Haji.” Aku menaruh file folder di meja, dan bangkit dari kursiku.

“Baik, Dokter.”

Haji Muhtar menemaniku menuju kandang ayam yang tak jauh dari rumahnya, setelah aku bergegas mengambil tas bedah dari mobilku.

“Sudah diberi vitamin, Pak Haji?”

“Sudah, ki, tapi masih juga tak ada nafsu makan, karena makanan jatah yang kita taruh, banyak bersisa.”

“Oh ya? Cobalah nanti kita periksa. Bagaimana dengan tingkat kematiannya, Pak Haji?”

“Ah… itu dia, nanti Dokter Elda lihat di catatan di kandang, ki!”

“Ini dia kandangnya, Dokter!” Haji Muhtar membuka pintu kandang ketika kami tiba di sana.

“Ayamnya kurus-kurus, Pak Haji. Tapi saya perhatikan tak ada yang ingusan, juga tak ada yang ngorok. Mana daftar catatan kematiannya, Pak Haji.”

Haji Muhtar mengambil kertas yang tergantung di tembok.

“Ini, Dok!” diserahkannya kertas rekapitulasi kematian ayam padaku.

“Tingkat kematiannya tergolong rendah ini, Pak Haji. Tapi, ayam usia tujuh minggu ini seperti ayam lima minggu.”

“Itu dia, ji!”

“Pak Haji sudah beri obat cacing untuk dosis pencegahan cacingan?”

“Rasanya belum, Dok!”

“Boleh saya lihat jadwal program vaksinasi dan pemberian obat untuk pencegahan penyakitnya?”

“Ada, Dok!” Lagi-lagi peternak kaya namun sederhana ini mengambil kertas yang tergantung ditembok. “Ini, Dok!”

Aku membaca jadwal program.

“Benar, tak ada jadwal untuk pemberian obat cacing sebagai pencegahan. Saya curiga ayam-ayam ini cacingan, Pak Haji. Boleh, kita potong barang lima ekor, untuk kita periksa, Pak Haji?”

Haji Muhtar mengangguk, dan memerintahkan seorang anak kandang dengan bahasa Bugisnya, tak lama anak kandang itu menangkap dan memotong lima ekor ayam dan diserahkannya padaku.

Seperti biasa aku melakukan pemeriksaan fisik luar, yang kusimpulkan baik-baik saja. Lalu kuperiksa dengan membedah tubuh bagian dalam. Alat pernafasan tampak normal, tembolok juga tak bermasalah, hanya ketika usus kubuka dengan gunting, tampak banyak cacing pita di dalamnya.

“Pak Haji, ayam ini terinfeksi cacing pita, lihat cacing-cacing yang berbentuk panjang pipih dan berbuku-buku ini.”

Pak Haji Muhtar ternganga.

“Semua ayam yang saya bedah ususnya ada cacing pitanya. Pantas ayamnya kurus-kurus, diberi vitamin pun tetap saja kurus, karena cacingan. Nah, untuk cacing pita Pak Haji bisa pakai obat niclosamide atau iverwectine, aplikasinya dicampur pakan. Pak Haji ada stok obatnya, kan?”

Haji Muhtar mengangguk-angguk, sambil menatap usus ayam yang berisi cacing pipih berbuku-buku itu.

“Nanti kita lihat, Dokter Elda. Kalau pun tak ada, saya akan order pada Dokter Elda. Dokter Elda ada jual obat cacing, ji?”

“Lengkap Pak Haji, obat cacing pita ada, cacing biasa juga ada. Kebetulan saya juga bawa obat-obatan dan vitamin beberapa kaleng, memang sudah siapkan, siapa tahu mendadak ada yang butuh bisa saya jual langsung.”

“Syukurlah kalau begitu, karena saya tak yakin, stok obat cacing punya atau tidak.”

“Maaf, saya cuci tangan dulu, Pak Haji.” Pamitku kemudian sambil menuju keran terdekat.

Dari kandang, Pak Haji Muhtar mengajakku menuju kantor peternakan sekaligus gudang obat. Benar saja, ternyata beliau tak memiliki sama sekali stok obat cacing pita. Alhasil, tak sia-sialah kedatanganku ke peternakannya sambil membawa stok produkku, yang bisa kujual langsung hari ini.

“Pak Haji Muhtar, jangan lupa, obat cacing niclosamide ini pemberiannya nanti dicampur dengan makanan, ya. Dosis dan lama pemberian obat tertera jelas di brosur yang saya berikan, di kemasan kalengnya juga ada. Yang perlu diingat, pemberian dicampur makanan ayam, bukan air minum, karena obat ini tak larut dalam air.”

Haji Muhtar mengangguk-angguk tanda mengerti.

Aku pun segera pamit.

“Dokter Elda…” tiba-tiba Haji Muhtar memanggilku, ketika aku hendak masuk mobil.

“Ada apa, Pak Haji?” terpaksa kuurungkan niatku, kuhampiri lelaki kaya namun sederhana itu.

“Kalau nanti dua puluh lima ribu ayam DOC saya jadi masuk, tolong buatkan program vaksinasi dan pencegahan cacingan lengkapnya, ya!”

Aku terbelalak.

“Siap, Pak Haji. Kabari saja kapan tanggal pastinya kedatangan DOC, saya akan buatkan program sebelum ayam datang.”

“Terima kasih, Dokter Elda.”

“Terima kasih untuk kepercayaan Pak Haji Muhtar pada saya!”

Peternak itu tersenyum dan melambaikan tangannya ketika mobil yang kukemudikan meninggalkan pekarangan rumahnya.

Dahsyat! Teriakku girang dalam hati.

***

Garuda yang kutumpangi telah mendarat di Sam Ratulangi. Inilah untuk kali pertama aku melakukan outside duty-ku seorang diri ke Manado. Rencananya aku akan melakukan jalan darat menuju Kotamobagu, setelah selesai dengan urusan di Manado dan sekitarnya, untuk mengunjungi lokasi peternakan yang sebelumnya pernah kudatangi bersama Bang Iral saat aku menginjakkan kakiku dua bulan pertama di Sulawesi ini. Tentu saja, lagi-lagi dengan berbekal peta sederhana, yang kubuat ketika pergi dahulu!

Kuseret koporku dari baggage claim, menuju tempat pemesanan taksi. Tak lama setelah mendapatkan kupon taksi yang akan membawaku ke sebuah hotel, aku bergegas keluar menuju tempat antrian taksi.

Untunglah, tanpa menunggu lama taksi yang kupesan segera mengajakku pergi.

Perlahan tapi pasti taksi ini meluncur, mengantarku menuju kota Manado, menuju hotel Queen, tempatku menginap selama beberapa hari di sini.

Tiba di hotel, aku segera check in, lalu aku meminta tolong petugas hotel untuk memesan rent car agar dapat mengantarku menuju poultry shop dan peternakan.

Setengah jam kemudian, aku mendapatkan sebuah Panther yang lengkap dengan supirnya. Aku pun segera masuk ke dalam mobil tanpa lupa membawa ransel kesayanganku yang berisi perlengkapan bedahku, peta sederhana yang sengaja kubuat sendiri untuk menuju peternakan di Manado ini, document holder brosur-brosur vaksin dan obat berikut daftar harganya, serta satu map file nota piutang lengkap yang harus kutagih pada peternak dan poultry shop di sini yang sudah jatuh tempo.

Bangganya hatiku ketika akhirnya mobil ini melesat meninggalkan hotel untuk berkeliling siang ini mengunjungi beberapa poultry shop dan peternakan besar di sekitar Manado. Aku bangga karena inilah kali pertama akhirnya aku bisa mandiri ke Manado ini!

Kubina hubungan baikku dengan para pemilik poultry shop dan juga peternak, sekaligus menagih beberapa piutang mereka yang sudah jatuh tempo. Aku pun sempat diminta untuk memeriksa ayam yang sakit di peternakan milik Ko Johannes Matindas di daerah Tomohon.

Pukul setengah tujuh malam aku sudah kembali ke hotel. Kuberi Oom Yance Tumbuan, sang supir, uang ekstra karena cukup sabar mengantarku, bahkan kuingatkan lagi agar besok jam delapan menjemputku lagi di hotel ini.

Aku langsung masuk ke kamarku dan segera membersihkan badan.

***

Sudah pukul enam pagi sekarang. Handphoneku bernyanyi. Bang Iral!

Aku menerimanya.

“Hey, Bang! Apa kabar?”

“Tadi aku telepon ke kantormu, dibilang si Wati, kau ke Manado!”

“Memang, Bang.”

“Kenapa nggak bilang-bilang? Kalau tahu mau ke sana, kan kita bisa sama-sama.”

“Sori, Bang. Bukan aku nggak bilang-bilang karena nggak mau bareng Abang, aku kan juga ingin mandiri. Masak setiap ke Manado numpang mobil kantor perwakilan Abang terus, dan aku mau ganti biayanya Abang selalu menolak. Aku nggak enak, Bang. Mana kadang-kadang kalau ada peternak di Manado yang pesan produkku, aku kirim ke perwakilan kantor Abang, lalu Handoko, perwakilan kantor Abang yang kirim.”

“Ah itu sih nggak apa-apa. Kau ini, macam orang lain saja, Elda!” omelnya.

Aku tersenyum sendiri.

“Sampai kapan kau di sana?”

“Ya, secepatnya urusan selesai, Bang! Abang mau menyusul ke sini?” tanyaku dengan sepenuh harapan dia akan menjawab ‘ya’ saat itu.

”Enggak, aku ada banyak kerjaan di sini. Barangkali tiga bulan ke depan aku baru ke sana.”

Dalam hati aku benar-benar kecewa.

“Kau jalan sama siapa, Da?”

Rent car, Bang. Supirnya bernama Om Yance, baik dan sabar orangnya!” jawabku. “Oh ya, maaf ya, Bang, kalau aku nggak bilang-bilang terbang ke sini. Aku jadi kuatir jangan-jangan di pikiran Abang, aku…”

“Enggak. Aku cuma kuatir, kalau kau ada apa-apa, karena sendiri di sana. Atau kusuruh Handoko menjemput dan mengantarmu berkeliling saja, bagaimana?”

“Jangan, Bang!” tolakku segera. “Terima kasih. Aku sudah pesan kendaraan dan nggak etis kalau kubatalkan. Percayalah, aku baik-baik kok, Bang.”

“Hati-hati, ya! Jangan lupa makan, kau suka lupa makan kalau sudah keasyikan kerja!”

Lagi, dan lagi… perhatiannya itu sungguh menyejukkan hatiku. Tiba-tiba saja air mataku menggenang karena terharu.

“Oke, sampai ketemu di Makassar! Telpon aku jika sudah mau pulang, biar kujemput kau di bandara!”

“Terima kasih, Bang!”

Telepon kututup. Lalu aku melangkah ke kamar mandi. Pukul setengah delapan aku turun ke restoran hotel, dan menikmati sarapan.

Pukul delapan tepat, Om Yance dan Panthernya telah menjemputku di lobby.

Kami langsung jalan mendatangi beberapa poultry shop di Manado yang belum sempat kudatangi, lalu kemudian kami ke Airmadidi, Kakas, dan Langoan menjenguk peternakan-peternakan ayam juga peternakan babi yang telah kudatangi dahulu bersama Bang Iral. Lumayan juga aku mendapatkan pesanan berupa obat-obatan dan vaksin, sehingga beberapa pesanan itu nanti bisa kukirim ke alamat perwakilan kantor Bang Iral di Manado dan mereka yang akan menolongnya mengirim ke peternak di sini. Beberapa peternak memilih menyuruhku mengirim ke alamat Arthur Poultry Shop, sebuah poultry shop yang terbesar di Manado ini, dan mereka yang akan menjemputnya di sana. Aku benar-benar beruntung para peternak ini begitu mengerti akan kondisi kantorku yang belum maksimal dalam memberikan pelayanan pengiriman barang pesanan.

Menjelang sore aku mampir di peternakan ayam berskala besar milik Brur Joe. Aku bersyukur sekali, walau aku menawarkan program vaksinasi padanya namun ia menolaknya, toh pada akhirnya Brur Joe memberiku order seratus botol triplevaksin ND, EDS’76, IB padaku. Bayangkan saja, vaksin ini merupakan vaksin dengan harga eceran tertinggi termahal di antara vaksin yang kujual. Jadi sudah pasti omzetku lumayan meledak bulan ini.

“Dok, kirim saja ke alamat Arthur Poultry Shop. Nanti saya akan menjemputnya ke sana. Yang penting Dokter Elda telepon saja atau sms saat pengirimannya.”

“Siap, Bos! Terima kasih.” tegasku. “Maaf ya, Brur Joe, kantor saya belum memuaskan dalam pengiriman order karena berhubung saya belum ada staf di Makassar, jadi saya akan kirim begitu saya pulang dan tiba di Makassar. Maklumlah, saya kerja sendiri. Termasuk mengetik surat jalan, mengepak vaksin untuk dikirim, semuanya juga saya harus lakukan sendiri, Brur Joe.”

“Begitu ya?”

Aku mengangguk.

“Kantor pusat belum mengirim orang untuk bantu saya, jadi segalanya harus saya kerjakan sendiri Brur Joe. Untung saya sudah ada pembantu rumah tangga yang gesit dan pintar, jadi cukup terbantu.”

“Tak apa, kita orang memang harus sabar toh?”

Aku mengangguk.

“Oh ya, Dokter Elda sudah makan?” tanya Zus Helen, istri peternak kaya itu.

“Ah, sudah…sudah, terima kasih Zus.”

“Makanlah dulu di sini, saya buat omelet.”

“Ah, terima kasih, Zus Helen. Jangan repot-repot!”

“Tak apa. Ayolah!”

Akhirnya aku tak kuasa menolak kebaikan Zus Helen. Ditemani dua orang anaknya yang sudah remaja, kunikmati omelet buatan perempuan putih cantik itu.

Pukul sembilan malam aku turun dari Panther dan melangkah gontai memasuki hotel, setelah memberikan tip untuk Om Yance.

Aku baru saja keluar dari kamar mandi, ketika handphoneku berbunyi.

“Hey, Bang!” sapaku pada Bang Iral seketika, begitu memijit tombol hijau bergambar telepon.

“Di mana kau, Da?” suaranya tampak mengkuatirkanku.

“Sudah di hotel, Bang!”

“Syukurlah. Sudah makan?”

“Sudahlah Bang!” tegasku. “Tadi mampir ke restoran padang, sebelum masuk hotel.”

“Ah, kau kan sering lupa makan jika sudah kerja.”

“Kali ini nggak, Bang.”

“Ya, sudah. Baik-baiklah di sana!”

“Terima kasih, Bang!” kututup telepon seketika.

Ah Tuhan, mengapa Bang Iral begitu memerhatikanku? Apakah dia menaruh hati padaku? Ataukah perlakuannya yang indah itu hanya karena menyayangiku sebagai seorang sahabat?

***

Hari ketiga dan keempat perjalanan dinasku di Sulawesi Utara ini, kuhabiskan untuk mengunjungi peternakan di daerah Kotamobagu. Oom Yance, supir rent car setiaku, mau tak mau ikut menginap di sana bersamaku, namun tentu saja kami berlainan kamar.

Aku beruntung karena diberi petunjuk oleh salah satu peternak, yang bernama Oom Joseph, yang sudi mengantarku ke peternak lain yang merupakan teman-teman baiknya di Kotamobagu, agar mereka juga menggunakan produk vaksin dan obat-obatanku.

“Dokter Elda, kalau teman-teman peternak saya ini pesan mendadak via telepon, kirimkan saja dengan titipan kilat ke alamat saya. Biasa kiriman juga sampai dengan kondisi baik di sini. Saya juga ada pesan obat-obatan dari Dokter Hewan Vierman di Makassar, beliau juga mengirim dengan jasa titipan kilat.”

“Oke, Oom Joseph! Saya mohon maaf, kelak jika sudah ada perwakilan di Manado, saya pastikan pesanan Oom Joseph bisa langsung dia antar kemari, Oom, sekaligus bisa mengontrol kesehatan ayam.”

“Oh…jadi nanti ada perwakilan di Manado?”

“Rencananya begitu, ada satu dokter hewan di sana, jadi bisa rutin memberikan servis kesehatan ayam.”

“Baguslah, kalau begitu.”

Sudah pukul lima sore, setelah kukunjungi tiga peternakan besar di Kotamobagu ini. Kuminta Om Yance untuk mampir sejenak ke kedai kopi sebelum kami kembali ke hotel untuk beristirahat. Dan esok pagi kembali mengunjungi dua peternakan dan tiga poultryshop, lalu kembali ke Manado.

Kunikmati sedapnya kopi. Angin semilir yang sejuk berhembus, membuatku teringat Bang Iral, ketika kami pernah duduk dan minum kopi bersama sambil menikmati kacang mete yang gurih di sebuah kedai tepi jalan di daerah pegunungan di sekitar Rantepao, Toraja. Tiba-tiba saja aku begitu merindukan laki-laki batak tampan lagi baik hati itu.

Kutelepon laki-laki yang diam-diam kucintai itu.

“Hai, Bang? Apa kabar?”

“Baik, Da. Di mana, kau?” suaranya mengobati kerinduanku pada laki-laki batak ini.

“Kotamobagu, Bang.”

“Gila kau, Da! Jadi… kau pergi ke Kotamobagu juga?”

“Namanya juga usaha, Bang.”

“Dasar!” omelnya pura-pura kesal. “Kapan pulang?”

“Besok malam, Bang, flight jam sembilan dari Manado.”

“Ya, sudah besok kujemput kau di bandara!”

What?” Aku terkaget-kaget.

“Kenapa ‘what’?”

“Kenapa mesti dijemput?”

“Kau tak mau aku melakukannya untukmu?”

Aku mati kata.

“Maksudku…”

“Sudahlah, kutunggu kau di bandara besok malam!” ucapannya yang tegas untuk menjemputku esok malam di bandara itu, membuat hatiku berbunga-bunga. Lelah tubuhku pun terasa sirna entah ke mana.

***

Bang Iral melambaikan tangannya saat melihatku melangkah ke arahnya di bandara Hasanuddin malam ini. Ia serta merta mengambil alih ransel yang kugendong, juga tas tangan berisi berbagai file folder yang kusimpan di sana.

“Sukses ordernya?”

“Semuanya lancar, karena karunia Tuhan, Bang! Manusia kan hanya bisa berusaha dan berdoa.”

Bang Iral tersenyum dan mengacak-acak rambutku.

“Itu yang kusuka darimu, selalu membumi!”

Aku tersenyum.

Tak lama kami meninggalkan bandara yang terletak di Maros ini. Kami meluncur menuju Makassar.

“Kamu sudah makan?”

“Sedikit, di pesawat tadi, soalnya rasanya kurang sedap!”

“Kalau begitu, kita makan di Losari. Mau?”

Aku mengangguk pasti.

Tiba di Losari, Bang Iral memesan dua piring nasi goreng untuk kami.

“Oh ya, kau dicari Haji Yusuf. Dia titip pesan padaku, agar kau membuatkan program vaksin untuk bibit ayamnya yang akan masuk dua puluh ribu, Senin depan.” Bang Iral menatapku ketika aku tengah melahap nasi goreng di tepi pantai Losari.

“Sungguh?”

“Besok kau ke sana saja, Da!”

“Besok aku banyak kerjaan, Bang. Mengirim pesanan yang kudapat dari Manado dan Kotamobagu. Lalu aku harus menyetor uang tagihan piutang ke bank, dan ini kan akhir bulan, artinya aku harus membuat segala macam laporan untuk kantor pusat. Laporan keuangan, stok, pembelian, penjualan…”

“Hm…benar-benar ibu kepala cabang kau sekarang, Da!” potongnya cepat.

Aku tercekat.

“Abang kan enak, jadi kepala cabang pegawainya banyak! Aku kan sendiri, Bang. Semuanya harus kutangani sendiri.”

“Mau kubantu membuat laporan, besok? Biar kau bisa datangi Haji Yusuf. Dia ingin bertemu denganmu, Elda.”

Aku menggeleng.

“Tak perlu, semua sudah resiko yang harus menjadi tanggung jawabku. Kalau begitu, besok aku sempatkan mampir ke rumah Haji Yusuf. Ah ya, besok aku juga akan menelepon Pak Jonathan, menagih janji-janji kantor pusat untuk kantor cabang ini.”

Bang Iral tersenyum simpul.

“Capek ya, jadi kepala cabang tanpa pegawai!”

“Benar, tapi pengalaman seperti ini tak bisa kudapat di bangku kuliah mana pun, Bang.”

Bang Iral mengangguk-angguk.

“Oh ya, Bang, aku beli oleh-oleh untuk Abang, kacang goyang dan bagea dari Manado.” Kutatap Bang Iral yang tengah menatapku. Mata kami beradu. Jantungku meletup-letup, spontan kualihkan tatapku. Aku takut, perasaanku padanya hanya membuahkan kekecewaan yang dalam bagiku, manakala laki-laki di hadapanku ini tak menaruh perasaan yang serupa denganku. Aku pun takut, jika ia bisa membaca isi hatiku!

***

Pagi-pagi sekali aku mengirim fax ke kantor pusat agar mengirimku seratus lima puluh botol vaksin ND EDS’76 IB segera hari ini. Aku tak lupa juga mengirim sms dengan berita yang sama pada Pak Jonathan, agar sales manager itu juga turut memantau bagian pengiriman agar bisa segera mengirim pesananku sehingga tak mengecewakan pelangganku.

Kubuat surat jalan pesanan yang kudapatkan selama outside duty-ku ke Manado dan sekitarnya, juga pesanan dari Kotamobagu. Lalu dibantu Wati, aku segera mengepak vaksin pesanan peternak dan poultryshop itu, dalam dos styrofoam yang tentu saja tak lupa kuberi batu es di dalam setiap packaging-nya agar kondisinya terjaga. Kutulis alamat tujuan pengirimannya dengan spidol. Dan kusertakan surat jalannya di atas setiap packaging.

Selesai dengan pesanan vaksin, aku lalu mengepak pesanan obat-obatan yang juga harus kukirim hari ini.

Jam delapan, aku dan Wati sudah menaikkan semua dos pesanan dalam Innova-ku.

Tiba-tiba telepon kantor bernyanyi. Aku berlari ke dalam, mengangkatnya.

“Elda, kamu hebat dapat order banyak, ya!” suara Pak Jonathan terdengar di seberang sana.

“Itu untuk pesanan Brur Joe di Manado. Saya semalam pulang dari Manado, setelah dinas ke Manado dan sekitarnya juga ke Kotamobagu. Kebetulan tadi saya cek stok vaksin ND EDS’76 IB hanya ada dua puluh lima botol. Jadi saya minta seratus lima puluh, yang seratus akan saya kirim ke Manado, yang lima puluh untuk tambahan stok di sini.”

Good!”

“Tapi jangan good-good saja dong, Pak.” Protesku to the point pagi ini. “Ngomong-ngomong, kapan saya mau dikirim dua dokter hewan lagi untuk ditempatkan di Manado dan Pare-Pare? Lalu, bagaimana pula dengan staf administrasinya? Kapan pula mobil ekspidisi dikirim?” tembakku panjang lebar.

Pak Jonathan terkekeh.

“Sabar, Elda. Semuanya akan datang, paling cepat akhir bulan depan. Lima dokter hewan sudah kita tes. Minggu ini final tesnya, lalu mereka training dua minggu di peternakan ayam Pak Julius, dan seminggu kemudian training di lapangan untuk pelatihan marketing-skill bersama saya dan technical advisor yang senior.”

“Mohon kalau bisa lebih cepat, Pak. Peternak di Manado dan Pare-Pare kan juga ingin servis kita, bukan hanya beli vaksin atau obatnya saja. Saya ke sana kan hanya bisa dua atau tiga bulan sekali, beda kalau ada orang kita yang di sana kan, Pak? Kita bisa melayani dengan lebih memuaskan pelanggan, dan otomatis akan dapat order lebih maksimal. Lagi pula, kalau saya masih sendiri dan harus dinas ke Manado, atau Pare-Pare, sudah pasti peternakan langganan yang di Makassar akan terabaikan. Bahaya, jika kebetulan terjadi kasus, dan yang datang justru dokter hewan lain yang menawarkan produk lain, habislah kita!”

“Ya, saya mengerti, Elda! Terima kasih untuk perhatianmu pada perusahaan kita. Bersabarlah, nanti kita kirim.” Pak Jonathan menjanjikan. “Kamu baik-baik, kan?”

Ucapan Pak Jonathan meredakan emosiku. Kuakui atasanku itu memang memiliki rasa empati.

“Saya baik-baik, Pak.”

“Ya sudah, saya pastikan pagi ini kita kirim ke Makassar pesananmu. Supaya hari ini juga sudah bisa kamu kirim ke Brur Joe.”

“Terima kasih, Pak.”

Telepon kutaruh kembali.

“Bu, kemaren sewaktu Ibu ke Manado, ada Haji Muhtar ke sini. Beliau mengambil 30 botol vaksin ND. Katanya ia butuh sekali. Saya sendiri telepon Ibu, tapi Ibu tak bisa dihubungi. Jadi akhirnya, tanpa persetujuan Ibu, saya berikan barangnya. Untung saja vaksin ND saya tahu, Bu. Nah, saya kan belum bisa buat surat jalannya, jadi saat itu saya meminta tanda pembelian barang di kertas biasa seperti ini yang ditandatangani Haji Muhtar. Ibu tidak marah, kan?”

Aku tersentak, menatap Wati yang menyodorkan selembar kertas padaku. Kutarik napas dalam. Hm…begini repotnya jika kantor kutinggal ke luar kota!

“Terima kasih, Wati. Untung ada kamu di kantor ini. Oh ya, kamu bungkus dalam Styrofoam dan diberi es batu seperti biasa, kan?”

Wati mengangguk.

Good job!” aku menepuk pundaknya. “Oke, taruh surat tanda pembelian barang sementara ini di atas meja kerjaku. Sekarang aku harus pergi ke titipan kilat dan jasa cargo untuk mengirim semua pesanan ini, lalu ke bank untuk menyetor giro.”

“Baik, Bu!”

Aku pun melesat pergi dengan Innova-ku, hingga baru pukul sebelas aku bisa kembali berada di kantor. Aku pun langsung berkutat dengan laptopku demi menyelesaikan laporan bank sekaligus keuangan kantor, stock barang, piutang penjualan, serta barang inventaris kantor yang baru untuk bulan ini. Beginilah, semuanya memang harus kukerjakan sendiri setiap menjelang akhir bulan, karena kantor pusat belum juga mengirimku staf untuk mengurus administrasi padahal aku sudah lebih dari enam bulan di sini!

Repot memang jika kantor pusat tak konsisten! Janji untuk mengirimiku Veterinary Technical Advisor sebagai anak buahku pun, sampai sekarang belum ada realisasinya, sehingga aku harus berkunjung mengontrol peternakan sekaligus mengirim barang pesanan peternak. Yang lebih gawat lagi, mau tak mau dua bulan sekali, aku pun harus ke Manado sendiri, untuk menjalin hubungan baik dengan para pelanggan di sana. Untunglah langganan di Manado amat mengerti, sehingga mereka masih mau memesan vaksin atau obat dariku melalui telpon, fax, atau email, dan aku tinggal mengirimnya via cargo dari Makassar ke alamat Arthur Poultry Shop sehingga mereka yang menjemputnya ke sana. Atau kadang kualamatkan pada alamat perwakilan kantor Bang Iral di Manado dan nanti anak buah Bang Iral yang mengantarnya ke sana. Penat memang saat segalanya harus kukerjakan sendiri, rasanya aku bukan saja kepala cabang tapi juga merangkap technical advisor, ekspidisi, kolektor piutang, sekaligus staf administrasi. Tapi aku tetap berpikir positif, pengalaman seperti ini luar biasa berharga, dan tak mungkin kutimba dari sekolah mana pun! Lagi pula tadi pagi, aku sudah memrotes pada Pak Jonathan, dan janjinya akhir bulan depan nanti, segalanya akan berubah. Jadi kutekankan saja pada diriku untuk just wait and see!

Aku terkaget-kaget, tatkala Wati muncul di ruang kerjaku dan mengatakan bahwa ada kiriman datang dari Jakarta. Aku segera saja meninggalkan ruang kerja ini setelah meng-save laporan dalam laptopku, lalu bergegas ke ruang tamu. Ternyata kiriman 150 botol Vaksin ND EDS’76 IB yang kupesan tadi pagi sudah di hadapanku kini.

Secepat kilat kubuatkan surat jalan pesanan Brur Joe, dan setelah mengepak ulang dengan menambahkan es batu pada vaksin untuk Brur Joe itu, aku kembali melarikan Innova-ku ke kantor pengiriman barang via cargo langgananku.

“Wati, saya harus pergi lagi mengirim pesanan ini, lalu akan ke peternakan Haji Yusuf sebentar, karena akan ada ayam masuk dan memakai program produk kita.”

Wati pembantuku yang lumayan pintar dan gesit itu mengangguk.

“Jika ada telepon mencari saya, catat saja dari siapa, dan jangan lupa katakan bahwa nanti Dokter Elda akan menelepon kembali.”

Lagi-lagi Wati mengangguk dan langsung mengunci pintu utama rumah kantor kami.

Tak lama aku tiba di kantor pelayanan jasa cargo. Kutelepon Brur Joe dari kantor pelayanan pengiriman via cargo ini, setelah kuserahkan paket vaksin yang akan segera dikirim siang ini.

“Selamat siang Brur Joe!” sapaku ramah. “Ini Elda dari Makassar.”

“Oh ya, ada apa, Dokter Elda?”

“Siang ini, pesanan Brur Joe seratus botol ND EDS IB sudah saya kirim via cargo. Langsung jalan, Brur Joe.”

“Ah…saya tidak pesan apa-apa!” suara Brur Joe terdengar tegas.

Aku terperanjat.

“Maaf, bukankah ketika saya ke Manado kemarin, Brur Joe ada pesan seratus botol vaksin ND EDS’76 IB. Saya sampai pesan ke Jakarta pagi ini, dan siang ini sudah tiba di Makassar, lalu langsung repacking lagi dan saya kirim ke Manado. Ini saya masih di kantor cargo, Brur Joe.”

“Ah, Dokter Elda salah dengar kali! Saya tidak pernah pesan kok, apalagi sebanyak itu!”

Lidahku tercekat. Badanku mendadak panas dan berkeringat karena stress.

“Halo…? Dokter Elda…” suara Brur Joe memanggilku di seberang sana. “Saya tidak pesan!”

“Tapi saya tidak salah dengar, Brur Joe. Saya…”

“Pokoknya saya tidak pesan! Jangan dikirim!”

Blarr! Aku bagai kejatuhan bom.

“Oh, ya sudah kalau begitu,” ujarku dengan nada lirih kemudian, seakan sekarat saja.

Tiba-tiba kudengar gelak tawa Brur Joe di seberang.

“Kena deh!” komentarnya.

Aku masih terdiam tak mengerti.

“Dokter Elda….” Suara Brur Joe mendadak ramah. “Maaf ya, kalau tadi saya bikin stress sesaat!”

Aku baru tersadar.

“Ya ampun, Brur Joe….! Tega amat sih?” celetukku lemas, dan di seberang sana Brur Joe masih tertawa terbahak-bahak. “Aduuuh, Brur Joe, rasanya saya mau mati tadi, karena saya pikir pesanan benar-benar dibatalkan!”

Brur Joe masih tertawa gelak.

“Bercanda, biar awet muda, Dok!” komentarnya enteng saja. “Terima kasih ya!”

Olala! Beginilah ulah peternak, yang kadang-kadang ‘tega’ membuat penjual obat stress!

Dari kantor pengiriman jasa via cargo ini, aku melarikan Innovaku menuju peternakan Haji Yusuf di Pangkajene.

Haji Yusuf adalah peternak kaya yang masih keturunan ningrat. Kompleks peternakannya sungguh luas. Di kompleks peternakannya terdapat satu rumah peristirahatan, lengkap dengan kolam renang dan lapangan tenis serta kebun buah-buahan. Haji Yusuf memang selalu tinggal di rumah peristirahatannya ini, walau ia memiliki rumah mewah di kota Makassar.

“Assalamu’alaikum…” Aku mengetuk pintu kayu rumah panggung, rumah peristirahatan Haji Yusuf.

“Wa’alaikum salam.” Kudengar jawaban dari dalam, dan tak lama wajah Haji Yusuf menyembul dari celah pintu yang dibukanya. “Ah…Dokter Elda!”

Aku mengangguk dan tersenyum.

“Ke mana saja, Dok. Saya cari-cari dari beberapa hari yang lalu, dan saya titip pesan pada Dokter Admiral jika bertemu Dokter Elda supaya datang ke mari!”

“Maaf Pak Haji…, saya kebetulan baru semalam pulang dari Manado. Tapi Dokter Admiral memang menyampaikan pesan Pak Haji. Maka itu saya hari ini datang ke mari.”

“Mari masuk, Dokter Elda!”

Aku menurut.

“Tifa, buatkan Dokter Elda minum, ki!” Haji Yusuf menepuk pundak seorang remaja putri yang kemungkinan adalah cucunya yang tengah duduk di sofa. “Itu mi, susu coklat hangat, biar Dokter Elda sehat!”

Gadis itu mengangguk dan langsung ke dalam. Tak lama secangkir susu coklat hangat pun tersaji di hadapanku, ketika aku tengah asyik mengobrol dengan Haji Yusuf, membicarakan program untuk bibit anak ayam yang akan masuk dan Haji Yusuf ingin mencoba produk vaksinku.

“Silakan diminum, Dokter Elda.”

“Terima kasih.” Aku menyeruput susu coklat hangat, minuman yang paling sering disajikan jika aku mengunjungi peternakan di wilayah Makassar ini.

“Jadi Dokter Elda, pokoknya saya ingin Dokter Elda buat program lengkap, untuk vaksinasi juga program pencegahan koksi dan cacingan serta vitamin untuk ayam petelur saya itu.”

“Pak Haji, untuk pencegahan koksi Pak haji mau dengan vaksinasi atau pemberian obat?” tanyaku penasaran, sambil menaruh cangkir kembali ke meja setelah kuteguk habis.

“Menurut Dokter Elda yang mana yang terbaik, dari segi biaya dan keberhasilannya?”

“Kalau memakai vaksin memang jauh lebih aman, Pak Haji, dibandingkan dengan pencegahan yang hanya memakai obat-obatan saja, harga lebih mahal sedikit, namun tingkat pencegahan lebih akurat.”

“Kalau begitu kita pakai vaksin saja.”

Aku mengangguk.

“Masuk ayam kapan dan berapa ribu, Pak Haji?”

“Senin nanti, duapuluh ribu DOC!”

“Terima kasih untuk kepercayaan Pak Haji yang mau mencoba program dan produk saya.”

“Ya, kemaren dulu ayam yang masuk saya pakai program dokter Gustaf punya, tapi saya kecewa karena dokter Gustaf jarang datang kemari setelah saya memakai produknya. Jadi untuk ke depannya sekarang, saya coba program dan produk Dokter Elda. Saya harapkan Dokter Elda bisa lebih baik dalam mengontrol ayam-ayam saya.”

Aku mengangguk.

“Insyaallah, saya usahakan pelayanan yang terbaik untuk ayam Pak Haji Yusuf. Doakan juga, akhir bulan depan, kantor saya mengirim dokter hewan untuk membantu kerja saya di sini, Pak Haji. Sementara ini kan saya masih sendiri. Jadi saya kadang harus menengok ayam ke Pare Pare, Sidrap, Pinrang bahkan juga ke Manado. Tapi, sungguh saya akan usahakan paling tidak seminggu sekali saya ke sini menengok ayam Pak Haji. Pak Haji kan juga ada kartu nama saya, jadi Pak Haji bisa telepon saya ke kantor atau handphone jika ada masalah.”

“Terima kasih, Dok! Boleh saya minta kartu nama Dokter Elda lagi, sepertinya yang dahulu Dokter berikan pada saya terselip entah di mana, ji.”

Aku mengangguk, dan segera merogoh sebuah kartu nama dari saku kemejaku.

“Maaf, ini kartu nama saya, Pak Haji.” Kuberikan kartu namaku pada Haji Yusuf. “Oh ya, saya akan buatkan programnya, dan besok saya akan kemari untuk mengantar program yang sudah jadi. Lalu, bagaimana dengan kondisi ayam-ayam saat ini, Pak Haji? Sehat-sehat?”

“Alhamdulillah, Dok. Sehat dan produksi telur baik.”

“Syukurlah. Kalau begitu saya mohon pamit, Pak Haji. Besok saya datang lagi sekaligus membawa program vaksinasi lengkapnya.”

Pak Haji Yusuf mengangguk-angguk.

“Terima kasih. Kalau Dokter Elda mau, kapan-kapan menginaplah kemari. Dokter Elda suka main tennis?”

Aku tersanjung mendengarnya.

“Terima kasih, Pak Haji. Nantilah kapan-kapan, jika pekerjaan sudah agak ringan. Sekarang ini saya masih sendiri, jadi banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan. Saya permisi, Pak Haji. Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikum salam. Hati-hati, Dok!”

“Terima kasih.”

***

Pukul sembilan minggu pagi ini aku baru saja selesai menelepon para peternak dan poultryshop di sekitar Manado, dan Kotamobagu untuk mengecek apakah pengiriman pesanan sudah diterima dengan baik. Untunglah semuanya tampaknya lancar, dan ini membuat hatiku lega. Namun kelegaan itu tak berlangsung lama, karena aku menerima telepon dari Haji Yusuf.

“Dokter Elda? Dokter Elda bisa ke peternakan sekarang, ji? suara Haji Yusuf dengan logat khasnya kudengar di seberang sana Minggu pagi ini.

“Sekarang, Pak Haji?”

“Iya.”

“Saya kemarin memang janji siang hari akan ke peternakan Pak Haji Yusuf. Kebetulan semalam juga saya sudah buatkan programnya. Maaf, apa ada ayam yang sakit, Pak Haji?” Mendadak aku dibuat resah.

“Ah…tidak, ji. Saya hanya mau mengenalkan Dokter Elda dengan cucu pertama saya yang nanti akan mengurus peternakan ini.”

Seketika aku bisa menarik napas lega. Namun, demi seorang Haji Yusuf yang amat kuhormati, aku segera saja melarikan Innova-ku ke arah Pangkajene, tempat peternakan Haji Yusuf berada.

“Dokter Elda!” laki-laki yang ketika aku datang tengah berada di halaman depan rumah peristirahatannya itu, menyambut kedatanganku dengan sumringah, bahkan diajaknya aku langsung naik ke rumah panggung yang terbuat dari kayu terbaik di sini.

“Duduk, Dok!”

Aku menaruh pantatku di sofa empuk.

“Nauval…, kenalkan ini ada Dokter Elda datang.” Dia lalu memanggil nama seorang laki-laki muda yang tak lama muncul dari dalam. “Dokter Elda, ini Nauval cucu pertama saya. Dia insinyur peternakan juga, dan baru datang dari Jawa,” ujarnya penuh rasa bangga. “Nanti dia yang mengurus peternakan ini, karena pertengahan bulan nanti, saya berangkat berlibur ke Malaysia, menengok anak saya yang tinggal di sana.”

Aku tercengang.

“Wah…berapa lama Pak Haji ke Malaysia?”

“Ya…kalau bosan di sana, saya kembali ke sini, ji. Biar sajalah, anak muda seperti kalian yang urus peternakan ini nanti, bukan begitu?” Haji Yusuf tersenyum-senyum, membuat aku tak habis mengerti apa sesungguhnya maksud senyum dan ucapannya itu.

Laki-laki muda yang bernama Nauval itu tersenyum padaku, menghampiriku. Wajahnya tampak manis dengan kumis tipisnya. Tangannya terulur kepadaku.

Aku pun berdiri dan membalas uluran tangannya. Kami pun bersalaman sejenak.

“Oh ya Dokter Elda, tolong kalau ada masalah dengan ayam di sini, jangan segan-segan untuk datang kapan pun, ya! Tolonglah agar Nauval cucuku ini dibantu. Dia memang insinyur peternakan, tapi kan belum berpengalaman seperti Dokter Elda, ki.”

Aku mengangguk-angguk, sambil kembali meletakkan pantatku di sofa.

“Tentu Pak Haji, saya akan usahakan.”

“Terima kasih, Dokter Elda!” untuk pertama kalinya, kudengar suara Nauval, laki-laki manis berkumis itu.

“Sama-sama.”

“Oh ya, mana program vaksinasi untuk bibit ayam yang rencananya masuk besok?” tagih Haji Yusuf sambil menepuk pundakku.

“Ah ya, ini dia Pak Haji.” Kuserahkan saja selembar program vaksinasi yang telah kukerjakan semalam yang kutaruh dalam sebuah map.

Pak Haji Yusuf dan Nauval yang duduk bersebelahan membuka map itu.

“Jadi itu program lengkap, mulai pertama ayam masuk, termasuk vaksinasi untuk mencegah koksidiosis juga sudah saya cantumkan, sampai nanti ayam menggunakan vaksin ND EDS 76 ketika usia enam belas minggu. Lantas program revaksinasi setelah ayam produksi juga saya cantumkan di sana. Tak lupa jadwal pemberian vitamin dan obat cacing.” Jelasku panjang lebar.

“Wah… lengkap sekali, ya! Terima kasih, Dokter Elda.” Pak Haji Yusuf memberikan lembaran program vaksinasi itu pada Nauval.

“Sama-sama, Pak Haji.” Balasku. “Nauval, kalau ada yang tak jelas, silakan nanti bisa tanya pada saya atau menelepon juga boleh.”

Nauval yang tampak malu-malu hanya mengangguk dan tersenyum.

“Ah, sampai lupa… mana minuman untuk Dokter Elda, ji? Nauval, ke dalam ki, dan suruh Tifa membuatkan susu coklat hangat dan jangan lupa bawakan biskuitnya untuk Dokter Elda.”

“Oh…sudah tak usah repot-repot, Pak Haji.” Aku menjadi rikuh sendiri.

“Aih, tak apa-apa, Dokter. Oh ya, jangan buru-buru pulang dulu, ji. Di belakang sana, pohon rambutan sedang lebat buahnya. Nanti Dokter Elda bisa petik untuk bawa pulang ke rumah.”

Aku tak menyangka Haji Yusuf begitu menyambut baik kedatanganku hari ini. Maka ketika susu coklat hangat dan biscuit telah hadir dan kunikmati, lelaki tua nan baik hati itu menyuruh Nauval mengajakku ke kebun belakang.

“Nauval, ajak Dokter Elda ke belakang, ji ! Petiklah rambutan, biar bisa dibawa pulang oleh ibu dokter kita ini!”

Aku pun tak kuasa menolak keramahtamahan keluarga Haji Yusuf ini.

Bersama Nauval yang membawa keranjang, aku melangkah menuju kebun belakang tempat pohon rambutan tengah berbuah lebat.

“Dokter Elda, dari Bogor, ya?” Nauval berhenti dan menungguku di jalan tanah yang agak licin dan menanjak ini karena semalam hujan. Tangannya terulur untuk membantuku agar tak terpeleset, namun aku menggeleng dan bisa melampauinya tanpa kesulitan yang berarti.

“Ya, dulu saya kuliah di Bogor.”

Kami melangkah bersama kembali.

“Hm…pasti tahu dari Kakek, ya?”

Nauval mengangguk.

“Kakek Yusuf, banyak cerita semalam.”

Aku tersenyum.

“Oh ya, Nauval kuliah di mana?”

“Bandung. Peternakan, Unpad.”

“Cocoklah. Peternakan ini memang membutuhkanmu.”

“Tapi sebetulnya, aku malas mengurus peternakan ini. Aku lebih suka bekerja di Bandung atau Jakarta. Tapi berhubung Kakek memaksa, maka kutinggalkan saja pekerjaanku di sebuah kantor penelitian di Jakarta.”

Ada rasa tertekan yang dapat kusimpulkan dari nada bicaranya.

“Agaknya kakek sangat mengharapkan dirimu menjadi penerus dalam mengelola peternakan ini.”

“Sepertinya begitu.”

“Jadi, bersiaplah untuk itu. Kasihan juga kalau kakek kecewa.”

“Ya, aku mengerti. Sangat mengerti.” Komentarnya lirih. “Dokter Elda juga siap untuk membantuku, kan? Maklumlah, aku tak punya pengalaman. Aku baru lulus.”

Aku mengangguk.

“Percayalah, saya akan membantu mengontrol kesehatan peternakan ayam ini.”

“Terima kasih.”

“Kamu pasti bisa mengelola peternakan ini, yang penting ada kemauan untuk itu. Beda, kan kalau peternakan di kelola sendiri dan dikelola orang lain.” Komentarku. “Lebih memuaskan hasilnya kalau kita kelola sendiri.”

Nauval mengiyakan.

“Tapi aku kan belum pengalaman. Kemampuanku masih sebatas teori.”

“Nggak apa-apa, seiring waktu segalanya akan berkembang.”

Tak lama kami tiba di kompleks tanaman buah. Kulihat pohon rambutan yang tak tinggi dengan buahnya lebat, sehingga Nauval hanya langsung tinggal memetiknya tanpa bantuan galah. Kulihat laki-laki itu memetik rambutan untukku dan memasukkannya dalam keranjang hingga keranjang penuh.

“Sudah, cukuplah!” sergahku ketika kulihat keranjang bekas parcel yang dibawanya sudah penuh. “Aku hanya sendiri di rumah bersama Wati, pembantuku. Untuk apa banyak-banyak?”

Nauval menatapku.

“Jadi, dokter Elda sendiri di sini?”

Aku mengangguk.

“Aku merantau di sini. Orangtuaku sudah meninggal semua.”

“I’m sorry.”

Aku hanya tersenyum. Sementara Nauval terdiam lama.

“Hidup ini lucu. Dokter Elda yang dari Pulau Jawa datang merantau ke sini, sementara aku yang orang sini malah lebih senang dan ingin tinggal di Pulau Jawa.”

“Ya… manusia kan punya keinginan yang berbeda, punya motivasi yang berbeda pula.”

“Benar.”

“Sudah, kan? Ayo kita kembali ke depan.” Ajakku.

Kami melangkah bersama meninggalkan kebun. Nauval membawa keranjang berisi rambutan.

“Sudah lama di sini?”

Aku menggeleng.

“Setengah tahun lebih.”

“Hebat! Dokter Elda perempuan hebat!”

Aku terkekeh.

“Jangan terlalu memuji begitu.”

“Tapi aku benar-benar salut untuk keberanian Dokter Elda merantau sendiri di sini.”

“Aku tak pernah merasa sendiri, selalu ada teman yang bisa menjadi saudara di mana pun kita berada, bukan?”

Kepala laki-laki di sampingku ini mengangguk, tanda setuju pendapatku.

Tiba di tanah tanjakan yang licin, Nauval melompat lebih dahulu dan menaruh keranjangnya. Ia berbalik dan berdiri menungguku, tangannya terulur untuk membantuku, tapi seperti tadi, aku tak mau menerima kebaikannya, sialnya untuk kali ini sepatu wanitaku yang mengikat tanah membuatku meluncur dan hampir saja aku terpeleset, kalau saja Nauval tak cepat menarik tanganku dan memelukku.

Spontan tubuhku merapat di dadanya.

“Hey…!” tiba-tiba kudengar suara Bang Iral yang datang ke arah kami.

Aku buru-buru melepaskan diri, ketika kulihat wajah Nauval begitu dekat dan tengah menatapku. Aku sendiri yang masih terkaget-kaget (karena hampir celaka), menjadi lebih kaget lagi saat kutoleh Bang Iral sudah menghampiri kami. Perasaanku tak karuan rasanya. Aku takut sekali Bang Iral salah mengerti atas apa yang dilihatnya.

“Terima kasih telah menolongku!” ujarku dengan perasaan malu. “Hampir saja aku jatuh.”

Nauval hanya tersenyum.

“Nggak apa-apa!”

Bang Iral menatap kami sambil tersenyum, senyum yang tak bisa kuanalisa apa artinya!

***

Aku tak mengerti, sudah dua minggu sejak pertemuan pertamaku dengan Nauval itu, aku menjadi sulit untuk menghubungi Bang Iral. Handphonenya selalu tak aktif, pesan singkatku pun tak pernah dibalas, dan ketika kuhubungi telepon kantornya, sekertarisnya selalu mengatakan laki-laki batak itu tak ada di tempat.

Handphoneku berdering nyaring siang ini. Di layar tertulis nama Haji Aziz.

“Assalamu’alaikum, Haji Aziz.” Sambutku seketika setelah memijit tombol bicara.

“Wa’allaikum salam. Dokter Elda?”

“Ya, ini Dokter Elda, Pak Haji.”

“Dokter Elda, bisa datang ke Sidrap? Ayam saya kena outbreak Tetelo!”

“Ayam yang mana, Pak Haji? Bukankah belum pakai program saya, kan?”

“Ayam yang tigabelas minggu, memang tidak pakai program dari Dokter Elda.”

“Pak Haji, saya akan berangkat sekarang dan menginap di Pare Pare, namun barangkali baru besok pagi saya akan tengok ayam Pak Haji. Karena, kalau saya paksakan saya tiba di Sidrap malam, dan repot juga kalau malam-malam saya memeriksa ayam. Bagaimana?”

“Jadi besok, ji, Dokter Elda datang?”

“Ya. Apakah ayam yang sakit sudah divaksin ulang dengan ND Cloned, Pak Haji?”

“Sudah, Dokter. Saya beri vitamin juga, Dok.”

“Tepat, Pak Haji.”

“Ya, tapi mati banyak, ji! Barangkali ditotal lebih dari seribu dalam sehari ini saja. Besok datang ya, Dok.”

“Baiklah. Besok saya datang! Jangan lupa bangkai ayamnya dibakar dan dikubur dalam-dalam. Sekarang saya akan berangkat, Pak Haji.”

“Terima kasih, Dok!”

***

Aku tengah termenung sendiri di sebuah kamar hotel di tengah kota Pare Pare sore ini. Tiba-tiba handphoneku berdering.

“Ya, Pak Jonathan. Ada apa?”

“Kamu di mana?”

“Pare Pare, Pak.”

“Ya ampun! Sabar ya, Da. Sebentar lagi, akan datang anak buahmu untuk membantumu di sana. Ada tiga dokter hewan. Satu untuk Makassar. Satu untuk Pare Pare dan sekitar. Satu untuk Manado. Lalu satu orang untuk pegawai administrasi kantor. Semua akan kami kirim ke Makassar dulu, nanti tugasmu, mengantar, mencarikan tempat kost dan membimbing mereka satu persatu ke daerahnya masing-masing.”

Finally…”

“Kantor pusat kan tidak main-main membuka cabang di Sulawesi, Da.”

“Terima kasih, Pak. Oh ya, Pak. Apa bisa juga dikirim, tenaga seorang vaksinator untuk sementara waktu stand by di Makassar?” pintaku. “Masalahnya begini, Pak…, saya lihat beberapa peternakan masih banyak yang perlu mendapatkan bimbingan untuk mengetahui lebih dalam masalah proses persiapan dan cara vaksinasi yang benar. Mungkin kami perlu tenaga vaksinator untuk memberikan training pada peternakan di sini. Ya, kira-kira untuk tiga bulan saja, Pak. Bisa?”

Pak Jonathan tak menjawab.

Please, Pak. Itu akan sangat membantu proses pemasaran produk kita di sini. Saya ingin membuktikan bahwa perusahaan kita tak hanya sekedar menjual produk, tapi memberikan servis yang selangkah di muka dibandingkan perusahaan lain.”

“Okelah, saya akan bicarakan dengan Pak Julius. Tapi yang pasti saya setuju dengan ide ini, dan saya akan perjuangkan agar Pak Julius juga setuju.”

“Terima kasih, Pak. Satu lagi, pertanyaan, berarti untuk yang di Manado, nanti saya yang mengantar ke sana, Pak?”

“Ya, kamu yang antar dan kamu yang mencari tempat kos untuk anak buahmu di sana, berikut memperkenalkan peternakan di sana.”

“Siap, Pak! Tapi bagaimana dengan kendaraan operasional untuk orang yang bertugas di Manado, Pak?”

“Kita akan kirim kendaraan langsung dari Jakarta ke Manado, alamat tujuannya ke rumah saudara Pak Julius. Jadi, nanti kamu tinggal ambil di rumah saudara Pak Julius. Maka itu, orang yang akan tugas di Manado, menunggu berita dari Jakarta jika kendaraan yang di Manado sudah ada di sana. Selama kendaraan belum ada, stand by saja dulu di Makassar.”

“Tapi nggak lama-lama, kan Pak?”

“Kita usahakan secepatnya, Elda.”

“Baguslah. Karena kita juga butuh orang secepatnya untuk pegang Manado.”

“Saya mengerti, Elda.”

“Terima kasih, Pak.”

You’re welcome. Take care, Da.”

Telepon kututup. Kutarik napas panjang. Lega.

***

Pagi-pagi sekali aku sudah check out dari hotel dan langsung melarikan Innovaku menuju Sidrap, menuju peternakan Haji Aziz. Tiba di sana kupasang masker dan langsung menuju kandang bersamanya.

Ternyata, ayam tiga belas minggu-nya memang benar terkena serangan wabah tetelo. Aku mendiagnosa dari perubahan fisik post mortem ayam-ayam mati yang kuperiksa, juga dari ayam sakit namun yang belum mati.

“Kematian sudah menurun, Dok, pagi ini.”

“Memang sudah berapa hari wabah terjadi, Pak Haji?”

“Sudah hari ke empat sekarang, Dok. Awalnya mati ratusan, Dok!”

“Kenapa Pak Haji baru telepon saya kemaren?”

“Karena ayam ini kan pakai program saya sendiri, Dok. Saya hanya pesan vaksin campur-campur dari produk mana saja. Jadi saya mau minta tolong sama dokter hewan segan begitu, ji.”

“Pak Haji Aziz…lain kali jangan begitu, telpon saja segera jika ada masalah. Oh ya, boleh saya lihat program vaksinasi yang Pak Haji buat sendiri itu?”

Haji Aziz tersenyum simpul.

“Tapi jangan Ibu Dokter Elda kritik program saya, ya?”

“Pak Haji, apa salah kalau kritik atau saran yang mungkin saya katakan untuk kebaikan peternakan Pak Haji? Daripada ayam banyak yang mati, kan Pak Haji sendiri yang rugi.”

Haji Aziz mengangguk-angguk, lalu mengambil program yang tergantung di tembok.

“Ini, Dokter Elda.”

Aku mencermati program yang ditulis tangan dalam kertas itu.

“Pak Haji, menurut saya, program vaksinasi ini kurang aman, terutama saat ayam usia dua belas minggu, semestinya Pak Haji sudah melakukan vaksinasi ulang, sementara Pak Haji baru jadwalkan pada nanti saat usia tiga belas minggu. Makanya saat ayam usia tiga belas minggu ayam ini sudah terinfeksi, sebelum Pak Haji beri vaksin, kan?”

Haji Aziz terbelalak.

“Benar, Dok! Saya baru mau vaksinasi, ayamnya sudah kena penyakit, Dokter Elda.”

“Itulah. Jadi untuk vaksinasi tetelo sebaiknya memang ketat, Pak Haji.”

Pak Haji Aziz mengangguk-angguk.

“Sudahlah, besok-besok buatkan saya program yang ketat dan aman ya, Dokter Elda.”

Aku mengangguk pasti.

“Saya siap membantu Pak Haji!”

***

Lama tak berjumpa dan bicara dengan Bang Iral membuatku sungguh merasa rindu. Maka dalam kesibukanku yang tiada henti, siang ini kusempatkan diriku untuk mampir ke kantornya. Hal ini sekaligus untuk menghilangkan rasa penasaranku atas ketidakacuhan Bang Iral padaku akhir-akhir ini. Ia tak pernah mau menerima teleponku maupun meneleponku, membalas sms-ku maupun mengirim sms padaku, apalagi mampir ke rumah kantorku. Ada apa dengan Bang Iral yang mendadak berubah sikap padaku?

“Ada Pak Admiral, Mbak?” tanyaku pada resepsionis kantornya.

“Pak Admiral sudah dua hari tak masuk, sakit.”

Aku tersentak.

“Sakit apa?”

“Saya kurang tahu.”

“Di rumah sakit atau di rumah?”

“Mungkin di rumah.”

“Oh ya, sudah. Terima kasih, saya akan menengoknya di rumah kalau begitu.”

Kularikan secepatnya Innova-ku menuju rumah kontrakan Bang Iral, tak lupa sebelumnya aku mampir ke toko buah untuk membawakan buah tangan untuknya. Tiba di sana langsung saja kuketuk pintu rumahnya.

Aku terkaget-kaget ketika seorang perempuan muda dan cantik membukakan pintu. Siapakah perempuan ini? Kekasihnyakah? Tapi mengapa baru hari ini aku bertemu dengannya? Mungkinkah karena Bang Iral sakit, perempuan ini datang untuk menemaninya?

“Selamat siang, ada Bang Iral?”

“Maaf, Bang Iral sakit dan sedang tidur. Anda siapa?” perempuan itu tersenyum, menatapku tajam.

“Saya Elda, temannya. Kalau sedang tidur, saya titip ini saja untuknya. Katakan saja dari Elda, dan sampaikan salam saya ‘semoga Bang Iral cepat sembuh’.”

Ragu-ragu perempuan itu menerima keranjang buah yang kuulurkan padanya.

“Permisi, saya langsung pergi. Masih banyak yang harus saya kunjungi.”

Perempuan itu hanya mengangguk, dan tak lupa mengucapkan terima kasih.

Sesekali kuhapus air mata yang akhirnya menggelinding di pipiku ini, sambil menjalankan Innova-ku. Ah, betapa menyakitkannya bertemu dengan perempuan tadi. Pasti dia kekasih Bang Iral. Apa kubilang! Aku mengomeli diriku sendiri. Semestinya kamu tidak jatuh hati padanya, Elda! Kalau sudah begini, kamu mau lari ke mana lagi? Berharap kantor mau membuka cabang di Papua, dan meminta pindah ke sana untuk mencari suasana baru dan berharap bisa melupakan Bang Iral? Forget it! Di sini saja kau belum setahun, dan tugas masih menumpuk! Salahmu sendiri, mengapa menyukai laki-laki itu! Laki-laki yang santun dan baik hati, namun hanya menganggapmu seorang sahabat, tak lebih!

Kubelokkan mobilku menuju pantai Losari. Entahlah, rasanya aku ingin menenangkan hatiku sesaat, setelah selama ini kuisi setiap hariku untuk bekerja dan hanya untuk bekerja.

Tiba-tiba handphoneku berdering. Buru-buru aku meraihnya. Bang Iral! Tapi aku tak lagi bernafsu untuk menjawabnya. Untuk apa? Dia toh sudah milik perempuan tadi, perempuan yang ada di rumahnya!

Kudiamkan saja handphone yang berdering itu hingga meninggalkan miscalled 5 buah dari penelepon yang sama. Bang Iral! Dan…inilah untuk pertama kalinya, kuhabiskan sisa hariku di tepi pantai Losari, hingga matahari ditelan sang samudra di ufuk barat sana. Sendiri, sunyi, sedih!

***

“Hai, Nauval!” sapaku sore ini ketika aku tiba di kandang kompleks peternakan Haji Yusuf. “Ayam-ayam saya sehat, kan?”

Nauval tersenyum. Lelaki itu tengah berkeliling menengok ayam di kandang batere. Aku menyusulnya kemari, setelah tadi di halaman parkir diberitahu pegawainya jika ia berada di sini, dan disuruh menyusulnya ke sini.

“Ayam-ayam Dokter Elda?” tanyanya bingung.

“Maksud saya ayam-ayam yang memakai program saya.”

“Sehat, Dok! Ayam yang lain juga sehat.”

“Syukurlah.” Ujarku lega.

“Dokter Elda dapat salam dari Kakek.”

“Oh… wa’alaikum salam. Kapan Kakek akan pulang ke Makassar?”

Nauval angkat bahu.

“Selama beliau betah di sana, ya akan terus di sana. Kalau sudah bosan, beliau akan datang ke sini.”

Aku tersenyum.

“Tanpa Kakek, saya percaya kamu juga bisa mengelola peternakan ini!” Aku menyemangatinya.

“Amiin. Oh ya, Dokter Elda mau menengok ayam yang memakai program dari Dokter Elda?”

Aku mengangguk.

Kami pun melangkah bersama menuju kandang lain.

***

Dibantu Wati yang begitu loyal mengabdi, akhirnya pukul sebelas malam ini aku baru saja selesai mengisi dua kamar tidur yang masih kosong dengan perabotan sederhana di rumah kontrakan ini. Lemari pakaian, tempat tidur beserta kasur dan bantal-gulingnya yang telah dilengkapi seprei dan sarung bantal guling, serta sebuah meja kerja berserta kursinya lengkap dengan alat tulis kantor seperlunya telah tertata rapi. Tadi pagi, Pak Jonathan menelepon bahwa besok sore teman-teman yang akan membantu kantor cabang di sini akan datang. Untunglah akhirnya selepas magrib tadi, toko meubel yang kupesan, datang ke sini mengirim perabotan yang kupesan lengkap dengan tukangnya untuk memasang tempat tidur dan lemari pakaian pesananku.

Usai dengan semua urusan, aku langsung membersihkan badan, lalu makan malam bersama Wati dan langsung masuk ke kamarku.

Kujatuhkan tubuhku ke pembaringan, sementara di luar kudengar Wati tengah menikmati tayangan sinetron. Kutatap langit-langit kamar. Dalam kesendirianku seperti ini, tanpa kesibukan lagi, aku merasa sunyi. Sepi. Kosong.

Perlahan air mataku bergulir. Sedih, sungguh sedih hatiku kurasakan saat ini. Entahlah aku tak tahu mengapa tiba-tiba perasaanku seperti ini. Mungkinkah aku kuatir dengan kehadiran teman-teman esok? Kuatir jika kesibukanku akan berkurang dengan kehadiran teman-teman, sedangkan aku benci keadaan itu, karena tanpa kesibukan, seperti saat ini, aku sungguh merasa sunyi!

Kubunuh rasa sunyiku dengan bangkit dari pembaringanku. Kuhapus pipiku yang basah, lalu kunyalakan laptop dan duduk di meja kerjaku.

Kubuka file laporan pengeluaran keuangan bulanan. Tak lama file itu terbuka. Kuraih semua nota pembelanjaan untuk mengisi dua kamar tidur tadi. Kumasukkan satu persatu dalam laporan keuangan.

Tiba-tiba handphoneku bergetar di meja. Kulirik sesaat handphoneku. Bang Iral. Ya…Bang Iral menghubungiku, setelah selama ini kami lama tak berkomunikasi apalagi bertemu!

Aku menggigit bibir. Untuk apa lagi dia menghubungiku malam-malam ini? Bukankah dia sudah memiliki perempuan di rumah kontrakannya itu?

Tanpa ragu kubiarkan saja ia meninggalkan miscalled lagi di handphoneku.

Kuteruskan kembali kesibukkan diriku dengan memasukkan bon-bon pembelian perabotan ke dalam laptopku.

Tiba-tiba handphoneku kembali bergetar, kali ini tampaknya sebuah pesan singkat masuk. Kuraih handphoneku. Kubaca pesan singkat itu.

SELAMAT ULANG TAHUN ELDA, SEMOGA SELALU SEHAT, ENERGIK, SUKSES DAN BAHAGIA. AMIIN. Salam, Bang Iral.

Aku terkaget-kaget. Kutoleh kalender di dinding kamarku. Oh my God! This is my birthday! How can I forget about it?!

Perlahan kembali kubaca pesan singkat Bang Iral itu. Tak bisa kupungkiri, aku bahagia menerima pesan singkat itu. Demi Tuhan, Bang Iral menjadi orang pertama yang ingat dan memberikan selamat akan hari kelahiranku, padahal aku sendiri pun lupa! Perlahan hatiku sungguh terharu atas perhatian kecil dari laki-laki batak itu. Hm…andai saja dia belum memilih perempuan itu, andai saja dia tahu betapa aku mencintainya, andai saja dia tahu betapa aku menjadi sedih dan menangis sendiri di tepi pantai Losari karena tahu sudah ada perempuan lain di rumahnya…

***

Masih pukul setengah enam pagi di hari ulang tahunku ini, ketika tiba-tiba bel di depan tampaknya dipijit seseorang berkali-kali.

Aku yang telah mandi dan rapi, langsung keluar dari kamar dan membuka pintu.

Morning, Da!” kulihat Bang Iral yang tersenyum di depan pagar.

“Hey!” sambutku, namun tak seceria biasanya, sambil mencabut kunci dari pintu, karena kunci gembok pagar bersatu di gantungan kunci yang sama dengan kunci pintu utama rumah ini.

“Tadi malam aku telpon kau, tapi tak kau jawab. Lalu aku kirim sms, kau sudah baca?” serbunya.

“Oh ya? Belum tuh.” Dustaku. “Maaf, aku capek, jadi semalam tidur cepat!”

Sempat kulihat wajahnya tampak kecewa, tapi aku tak peduli. Aku sibuk membuka gembok pagar.

“Ayo masuk, Bang!” ajakku ketika pintu pagar telah kubuka.

“Hey!” dia menepuk pundakku. Tangan kanannya terulur. “Selamat ulang tahun!”

Aku pura-pura kaget. Meski sesungguhnya pesan singkatnya semalam sudah terlebih dulu membuatku kaget.

“Terima kasih!” aku membalas uluran tangannya, sambil tersenyum. “Terima kasih untuk perhatian Abang.” Perlahan tapi pasti kutarik tanganku dari genggaman tangannya, yang sesungguhnya amat nikmat kurasakan. ”Ayo masuk, Bang!”

Kutemani Bang Iral duduk di ruang tamu, setelah sebelumnya kutinggalkan sejenak untuk membuatkan secangkir teh manis hangat dan roti dengan selai coklat untuknya.

Ia langsung saja menyeruput teh yang kubuat.

“So…how is your business?”

“Just fine. Thanks.”

“Glad to hear that.” Ia menaruh cangkir ke meja. “Kenapa handphonemu akhir-akhir ini, Da? Aku nggak bisa menghubungi kau atau kau yang nggak mau kuhubungi?”

Lidahku tercekat.

“Eh…, yang nggak mau menerima teleponku itu Bang Iral!” protesku kemudian. “SMS pun tak pernah Bang Iral balas.”

“Oh ya?” Dia tersenyum-senyum layaknya tak berdosa. Lalu mengalihkan pembicaraan. “Eh, kau tempo hari ke rumah, ya? Adela yang bilang padaku, ketika aku sakit. Thanks parsel buahnya ya, Da.”

Aku hanya mengangguk pelan. Hm…jadi perempuan itu Adela!

So, ada acara apa di hari ulang tahunmu, nih? Mau traktir aku makan di mana, Da?” tembaknya langsung.

“Aku nggak ada acara apa-apa, Bang. Lagian sekarang ini, aku nggak berani lagi buat ajak makan Abang.” Ujarku bernada sedikit ketus.

Bang Iral menatapku dalam.

“Memang kenapa?”

Aku terdiam.

“Oh… aku tahu sebabnya, kau sudah punya hubungan istimewa sama Nauval, anak Haji Yusuf yang kaya itu, ya? Jadi kau tak lagi mau jalan sama aku, karena nggak enak sama si dia, kan?” tembaknya seketika.

Mendadak wajahku terasa menghangat.

“Ah…siapa yang bilang?!” Aku benar-benar emosi kini.

“Aku!”

“Eh, jangan bicara sembarangan, Bang! Maaf, ya… aku nggak ada hubungan istimewa dengan Nauval, juga dengan laki-laki lain!” protesku berang. “Termasuk Abang!”

Bang Iral ternganga. Aku tak tahu kenapa, barangkali saja ia tak menyangka bahwa aku ternyata sanggup memuntahkan kemarahanku di hadapannya saat ini, ketika apa yang diucapkannya tak berkenan di hatiku.

Kami saling terdiam lama.

“Sudahlah, Bang. Abang kan mau ke kantor, aku pun masih banyak pekerjaan mengepak vaksin untuk kukirim ke peternakan Haji Yusuf dan Cendrawasih Poultryshop.” Tegasku kemudian, memecah kesunyian di antara kami. “Terima kasih, Abang ingat hari ulang tahunku. I do appreciate.”

Laki-laki yang biasa tampak bersemangat itu kulihat tercenung sesaat, namun akhirnya dia angkat pantat dari kursinya dan pergi meninggalkanku, tanpa sepatah kata pun.

Aku berdiri di depan pintu utama rumah kontrakanku ini, menatap mobil Bang Iral yang pergi. Ada rasa sesal, atas apa yang telah kuucapkan tadi. Namun sesungguhnya, demi Tuhan, aku tak bermaksud melukai laki-laki itu. Bahkan sesungguhnya aku masih sangat mencintainya. Aku terharu karena hanya dia, pula dia, orang pertama yang ingat hari ini hari istimewaku, hanya saja…aku kecewa karena dia telah menjadi milik Adela, perempuan yang kutemui di rumahnya tempo hari. Dan aku tak bisa memungkiri hal itu, sehingga akhirnya mulutku pun meluncur begitu saja mengeluarkan kata-kata yang mungkin menyakitkannya. Ya menyakitkannya! Amat!

Aku benar-benar menyesali perkataanku. Maka ketika penyesalan ini mencapai titik puncaknya, kuraih handphoneku di kamar.

“Bang…” ujarku ketika kutahu Bang Iral telah memijit tombol bicaranya, menerima panggilanku.

Tak ada sahutan dari Bang Iral di seberang sana, namun aku tahu ia mendengar suaraku tadi.

Aku menarik udara panjang dengan mulutku, lalu perlahan kuhembuskan juga lewat mulutku.

“Bang, siapa Adela, -perempuan yang di rumah Abang yang kutemui ketika aku datang dulu?” Aku tak tahu akhirnya aku mengeluarkan pertanyaan yang mengganggu hatiku ini.

“Elda…ada apa kau ini? Apakah sikap Adela adikku tempo hari tak sopan kepadamu?” akhirnya kudengar Bang Iral bersuara. “Aku sungguh tak mengerti dengan sikapmu akhir-akhir ini, hingga yang terakhir tadi kau tega mengusirku, padahal aku sengaja datang pagi-pagi ke rumahmu untuk memberi sedikit perhatianku untukmu?”

Aku tercekat. Oh…jadi Adela, perempuan itu, adiknya???

“Maafkan aku, Bang. Percayalah, aku tak bermaksud seperti itu.” Ujarku buru-buru kemudian dengan perasaan yang teramat menyesal. “Boleh aku ke rumah Abang sekarang?”

“Apa aku pernah melarangmu untuk datang ke rumah?”

Tak kujawab lagi pertanyaan itu.

Seperti orang gila akhirnya segera saja kularikan Innova-ku ke rumah Bang Iral. Kulupakan sejenak rutinitas tugas kantor yang semula akan kukerjakan pagi ini.

Hatiku sunggguh berdebar-debar di sepanjang jalan, apalagi menjelang tiba di rumahnya.

Kuparkir Innova-ku di pinggir jalan depan rumahnya. Perlahan aku turun, menutup pintu, lalu tak lupa memijit remote pengunci.

Kuketuk rumah laki-laki yang telah kulukai itu. Semula pintunya tak kunjung dibuka, tapi akhirnya Adela, perempuan yang sempat membuatku cemburu, yang ternyata adiknya itu, muncul membukakan pintu untukku.

“Eh, Kak Elda. Masuk, Kak. Tunggu ya, Bang Iral sedang mandi.”

Perasaanku semakin tak karuan menanti Bang Iral seperti ini. Adela yang meninggalkanku tak lama datang lagi dan menaruh dua cangkir air minum di meja.

“Diminum, Kak. Saya tinggal dulu ya, sedang mencuci di belakang.”

Aku mengangguk, tak lupa berterima kasih.

Aku menggigit bibirku. Aku benar-benar tegang saat ini. Barangkali hampir sama tegangnya dengan ketika menghadapi ujian comprehensive menjadi dokter hewan atau wawancara kerja dulu.

“Hai! Sudah lama kau?” tiba-tiba lelaki yang kutunggu itu muncul menghampiriku dan duduk di sampingku. Senyumnya yang indah, sungguh semakin indah karena ia memakai kemeja hem kotak-kotak biru dan hijau bersanding dengan celana jeannya. Wangi Drakkar-nya benar-benar menyeruak lubang hidungku. “Sorry, jadi harus menunggu lama, ya! Terus terang saja, aku ke rumahmu tadi selesai sholat subuh, jadi aku belum mandi. Sengaja ingin buat kejutan untukmu, Da. Sayang, sampai di sana, tak lama diusir pula!”

Aku tertunduk malu.

“Maafkan aku ya, Bang. Sungguh, aku tak bermaksud seperti itu.”

Bang Iral menatapku lekat.

“Hm… kenapa kau ini, Da. Kau stress ya dengan beban pekerjaan yang menumpuk yang harus kau tangani semuanya sendiri sampai kini?” Bang Iral tampak mengkuatirkanku. Kutangkap semua itu dari tatapan matanya padaku.

Tentu saja aku menggeleng.

“Lantas kenapa? Aku merasa kau sedikit aneh akhir-akhir ini. Sikapmu padaku juga tak seperti dulu lagi.”

Aku menggigit bibirku.

“Ada apa sih, kau Da?” tanyanya menyelidik.

Aku terdiam.

“Aku mencintai Abang!” akhirnya kata-kata itu meluncur dari mulutku. “Dan aku kecewa, ketika aku ke sini mau menengok Abang, ada perempuan di rumah ini. Kukira dia kekasih Abang.”

“What? Adela? Dia adikku dari Medan, Da!” Bang Iral mengacak-acak rambutku.

Aku tersenyum.

“Da…Da…, asal kau tahu, kau kira hanya kau yang kecewa? Aku pun selama ini frustasi, karena kukira kau jadian sama si Nauval anak kemaren sore, cucu Haji Yusuf yang kaya raya itu!”

“Sungguh?”

Bang Iral mengangguk.

“Aku lebih dulu mencintaimu, Da. Bahkan sebelum kau…” Bang Iral tampak ragu untuk melanjutkan kalimatnya.

“Sebelum aku apa?” tanyaku penasaran.

“Ah, aku sudah janji tak akan mengungkitnya lagi, karena kau akan muak mendengarnya, dan kau tak mau berkawan denganku lagi, jika aku mengatakannya.”

Aku mengerutkan keningku. Perlahan, aku mulai mengerti maksudnya. Hatiku bahagia seketika.

“Sudahlah, itu tak penting!” tegasnya kemudian. “Yang jelas, aku lebih dulu mencintaimu, sebelum kau jatuh cinta padaku.”

Aku tersenyum.

“Oh ya, tadi sebetulnya aku mau kasih sesuatu untuk kau, tapi berhubung aku menjadi orang yang terusir, jadi tak sempatlah kuberikan sesuatu itu!” Bang Iral bangkit dari duduknya dan masuk ke dalam.

Tak lama ia kembali duduk di sampingku.

“Ini khusus kubeli untuk kau, hadiah dariku di hari ulang tahun, di tanah Sulawesi ini! Bukalah…”

Bang Iral tersenyum memberikan sebuah kotak padaku. Tanganku bergetar menerima kado kotak kecil dari Bang Iral itu. Terlebih ketika kubuka, dan kulihat di dalamnya. Sebuah cincin bilah rotan emas!

“Menikahlah secepatnya denganku, Elda! Karena di pelabuhan hatimulah, hatiku yang lelah ini, telah lama ingin berlabuh!”

(Teruntuk sahabatku Sri Mahayani)

Catatan :

  1. Vaksin ND EDS’76 IB : satu vaksin yang dapat digunakan untuk mencegah tiga penyakit pada ayam sekaligus, yaitu penyakit New Castle Disease (tetelo yang mematikan), Egg Drop Syndrome (penyakit yang menyerang ayam yang telah berproduksi, ditandai penurunan produksi telur bisa 20-40%), dan IB (Infectious Bronchitis, penyakit saluran pernapasan karena virus yang akut dan menular cepat pada ayam, ditandai antara lain adanya sesak napas dengan angka kematian pada ayam muda bisa sampai 40%, pada ayam petelur menurunkan produksi telur yang cepat, bahkan kadang ayam tak kembali berproduksi )
  2. DOC : anak ayam yang baru menetas
  3. ND : penyakit tetelo

SELESAI

(Cerita ini dimuat di Femina Januari 2010)