Selasa, 26 Januari 2010

FROM SOUTH WITH LOVE (BAGIAN 4)

Becak yang kutumpangi sudah berhenti di alun-alun kota, setelah mengantar kami berkeliling di tengah kota Makassar. Lalu kami, aku dan Seno, berjalan bersama menyusuri Jalan Sudirman, menuju rumahnya.

“Sen, terima kasih ya, selama aku di sini, kamu benar-benar menjadi tuan rumah yang baik hati!”

“Ah, kamu terlalu berlebihan memujiku.”

“Sungguh! Aku janji kalau kamu mau berlibur ke Jakarta, aku akan lebih baik mengantarmu kalau kamu mau jalan-jalan nanti.”

Seno tersenyum.

“Aku senang banget jalan sama kamu, Sen. Bahkan janjimu mau naik becak Makassar saja nggak lupa untuk kamu tepati.”

“Hm… itu memang wajib kulakukan. Aku kan tuan rumah, Drin. Oh ya, tinggal ke Bantimurung ya, kamu kan pengen lihat kupu-kupu dan beli koleksi kupu-kupu awetan.”

“Ah ya. Kapan kita ke sana. Besok kan aku pulang ke Jakarta.”

“Siang ini juga bisa.”

“Wow, asyik. Thanks ya, Sen.”

“Ya, aku cuma berusaha supaya kamu happy di sini. Kan katanya kamu pengen happy selama di sini.” Matanya yang teduh melirik padaku.

“Thanks. Aku nggak akan lupa sama kebaikanmu, Sen.”

“Tapi kamu akan memaafkan dan melupakan ulah Sapto, kan?”

Aku tersenyum kecut.

“Sesungguhnya dia naksir kamu, Drin. Tapi dia malu untuk mengungkapkannya. Semalam dia bilang sama aku!”

Mulutku ternganga. Jantungku berdebur kencang.

“Sebetulnya sih dia baik hati, cuma dia agak kurang pintar bergaul, makanya sampai sekarang dia belum punya cewek.” Seno menjelaskan lagi. “Ya, cewek mana suka kalau dia usil begitu, kan?”

Aku hanya terdiam.

“Dia temannya cowok semua, Drin. The club of Jomblo guys gitu lho!” Seno tertawa.

“Jangan begitu, Sen. Mentang-mentang kamu sudah punya cewek!”

“Eh, kamu tahu nggak, Drin? Sebetulnya Cattleya, cewekku itu, cewek yang dia taksir lho, tapi dia lebih suka sama aku!”

“Oh ya?” Aku menatapnya tak percaya.

Seno mengangguk pasti.

“Terus hubunganmu sama Sapto, jadi nggak enak dong?”

“Awalnya sih ya, sekarang sih biasa saja. Ya, orang Leya cinta sama aku kok. Cinta kan nggak bisa dipaksa.”

“Ya of course lah!” Aku meninju lengannya.

Kami memasuki halaman rumah Seno.

“Sen! Tadi Leya ke sini, cari kamu. Aku bilang kamu jalan sama Aldrin.” Sambut Sapto di teras rumah sambil menaruh bukuku, buku karangan Tina K, yang tengah dibacanya. “Tadi dia tunggu kamu lama, tapi karena kamu nggak kunjung datang, akhirnya dia pulang.”

“Ada pesan nggak?”

Sapto menggeleng.

“Memangnya kamu jalan nggak bawa handphone, Sen?”

Seno menggeleng.

“Pantas dia bilang dia telepon ke hapemu berkali-kali, tapi nggak dijawab.” Sapto menjelaskan. “Ya, siap-siap saja kalau dia ngambek, salahmu sendiri soalnya akhir-akhir ini kamu jalan terus sama Aldrin, dan nggak punya waktu untuk dia!”

Jantungku berdebar kencang. Hatiku gundah, mendadak aku merasa bersalah pada Seno. “Aduh Sen, aku jadi kuatir Leya jangan-jangan marah sama kamu gara-gara aku.”

“Nggak mungkin, lagian aku juga sudah bilang sama dia, kalau ada kamu yang mesti aku temani. Dia aku ajak jalan nggak mau ikut, karena sibuk penelitian.”

“Tapi.. Sen.”

“Sudahlah, percaya sama Seno. Everything will be fine.” Seno menarik tanganku ke dalam. “Ayo minum dulu!”

Aku mengekor Seno, sementara sempat kulihat Sapto melirikku dengan sinis. Mungkinkah dia tidak menyukai kedekatanku dengan Seno?

Seno membuka kulkas, menyodorkan sekaleng coke untukku.

“Tunggu sebentar ya, coba aku telpon Leya dulu.”

Aku duduk di ruang makan. Menanti Seno.

Tiba-tiba Sapto menghampiri dan duduk di hadapanku.

“Makanya, jangan jalan sama cowok orang, Drin!”

“Hey,” aku menaruh kaleng coke-ku di meja. “Aku juga nggak pilih Seno untuk menemaniku jalan. Hanya kebetulan memang Seno yang punya inisiatif untuk menemaniku, bahkan sejak awal dia juga yang menjemputku, dan…”

“Oh, Seno lebih baik dari aku, itu kan maksud pembicaraanmu?” potongnya cepat.

“Bukan begitu…”

“Ah, sudahlah. Semua orang juga lebih suka dengan Seno, semua cewek juga lebih dekat sama Seno. Bahkan kamu yang baru kenal, juga merasa enak jalan sama dia, kan? Jujur saja!”

Ucapannya membuat darahku mulai mendidih, maka dengan terpaksa aku bicara,

“Sapto, kamu ingin aku jujur? Baik, aku bicara jujur! Seno memang pribadi yang lebih menyenangkan daripada kamu. Puas?!”

“Ada apa nih kok sepertinya rame banget?” tiba-tiba Seno muncul.

Sapto terdiam. Begitu pun aku.

“Oh ya, Drin, aku nggak bisa antar kamu sore ini ke Bantimurung,” Seno menatapku. Lalu berpindah menatap Sapto. “Kamu bisa antar Aldrin, kan To?”

“Oke. Mau berangkat jam berapa, Drin?” Sapto cepat menjawab, lalu menatapku sambil mengerlingiku, seakan tak ada lagi ketegangan yang terjadi di antara kami.

Ya Tuhan, keusilan apalagi yang sudah berkutat di otaknya yang akan dilakukannya untukku jika dia yang mengantarku ke Bantimurung nanti?

“Ah, aku nggak pergi, juga nggak apa-apa!” ujarku buru-buru, karena aku enggan mendapatkan keusilan jika kelak pergi bersamanya.

“Lho kenapa? Bukannya kamu ingin beli hiasan kupu-kupu di Bantimurung untuk oleh-oleh?” Seno mengingatkanku.

“Ah, dia maunya diantar kamu, Sen!” tembak Sapto cepat. “Dia mulai naksir kamu, Sen? Makanya dia hanya mau jalan sama kamu! Terbukti kan, aku siap mau mengantarnya, tapi dia nggak mau?”

Wajahku memanas.

“Bukan, bukan begitu maksudku!”

“Hey, lalu apa? Bukankah sudah jelas-jelas, aku yang sudah berbaik hati menawarkan jasa, kamu menolaknya. Padahal sebelumnya punya rencana buat jalan ke sana, kan? Berarti kan jelas, maunya cuma ditemani sama Seno!”

“Bukan begitu, aku nggak mau jalan ditemani kamu, karena takut kamu usil padaku!”

Seno tertawa.

“Makanya, To, jangan usil, supaya disenangi cewek. Kapan kamu punya cewek kalau cewek segan dekat sama kamu.”

“Aku nggak usil, hanya bercanda!”

“Sudahlah, Drin. Aku jamin kamu akan baik-baik saja. Jalan deh sama Sapto sana!” Seno menepuk pundakku. “Oh ya, To, aku pinjam motormu ya, kamu antar Aldrin ke Bantimurung pakai mobilku saja.”

“Tapi, Sen…”

“Aku janji, aku nggak iseng lagi, Drin. Percaya deh!” Sapto menatapku sambil tersenyum simpul.

Aku terdiam. Sungguhkah ia dengan kata-katanya?

“Oke aku jalan dulu, kalian baik-baik ya berdua! Aku mau ke rumah Leya.”

Seno bergegas pergi ke garasi setelah saling menukar kunci kontak dengan Sapto. Aku hanya menatap punggungnya yang menghilang di balik tembok dengan sedih.

“So, mau berangkat jam berapa, Non?” Sapto menimang kunci kontak Greyhound, sambil tersenyum padaku.

Aku menatapnya tajam.

“Janji ya, jangan iseng lagi!”

Dia mengangguk pasti.

“Ya sudah, ayo jalan!”

Greyhound ini melaju cepat meninggalkan rumah, menuju Bantimurung di daerah Maros. Sapto memencet-mencet tombol stereo set mobil Seno, mencari lagu yang diinginkannya. Tapi berhubung semua CD yang di stereo set itu adalah CD Phil Collins, maka tampaknya dia menyerah dan akhirnya membiarkan It don’t matter to me mengalun.

“Gila, semuanya Phil Collins!” celotehnya dengan nada sebal kemudian. “Dasar Seno!”

“Dia memang paling suka Phil Collins,” komentarku membelanya. “Aku juga!”

“Well… well!” komentarnya sinis. “Pantas kalian cocok! Tapi ingat dia sudah punya cewek, Drin!”

“Hey, kenapa bicara begitu sih? Kalau aku suka sama Seno, apa artinya aku pengen jadi ceweknya?”

“Alaa… jujur saja, kamu naksir dia, kan?”

“Nggak!” jawabku tegas.

Sapto kulihat tersenyum sinis, membuat hatiku mendadak panas.

“Dengar nih, To!” aku mengecilkan volume suara Phil Collins. “Kamu tahu, nggak, kamu cowok norak! Cowok kampungan, yang pikirannya cuma sebesar kotak korek api! Cowok yang suka iseng, berprasangka negatif, susah bergaul dengan yang namanya kaum cewek!”

“Oh ya?” Sapto tiba-tiba menepikan mobilnya, di tepi jalan. Lalu dia menatapku tajam. “Terus, apalagi?”

“Pokoknya, kamu cowok paling norak, cowok yang nggak akan pernah bisa menarik kaum cewek karena sikapmu menyebalkan! Dan aku sebeeeel… sama kamu!” Aku dengan santainya memuntahkan isi hatiku.

“Oke. Sekarang, dengar aku mau bicara soal kamu! Kamu tahu, kamu cewek apa?” matanya yang tajam bagai mata elang menatapku dalam-dalam, membuat jantungku tiba-tiba berdegub kencang.

Dia mencengkeram bahuku keras. “Kamu cewek manis yang menggemaskan dan itu membuatku jatuh cinta padamu!”

Blarr! Aku bagai kejatuhan bom. Jantungku melompat-lompat seketika.

“Aku tahu kamu jujur, Drin, aku tahu kamu nggak menyukai Seno. Aku hanya suka mempermainkan emosimu, yang kadang suka meledak-ledak itu.” Dia lalu menatapku lama. “Kamu mau kan jadi pacarku? Aku tahu sebetulnya kamu juga suka sama aku. Aku bisa merasakannya waktu kita sama-sama berenang di Malino.”

Aku tertunduk malu.

“Aku nggak akan mengecewakanmu, Drin. Kalau kamu mau jadi pacarku, maka kamulah cinta pertamaku.”

Aku tak menjawab, karena rasanya memang tak perlu. Aku tahu persis Sapto mengerti apa yang bergejolak dalam hatiku saat ini.

Sapto mengelus rambutku, dan tersenyum mesra.

Perjalanan ke Bantimurung ini kini tak lagi penuh ketegangan. Tangan kiri Sapto menggenggam erat tangan kananku, sambil berkendara. Aku percaya dan bisa merasakan, bahwa Sapto benar-benar jatuh cinta padaku.

Satu hal yang kusesali berkutat di benakku, mengapa kami baru akrab, di saat-saat hari-hariku di Makassar akan segera berakhir esok? Ah, terbayang sudah di Jakarta nanti separuh hatiku akan tertinggal di negeri selatan ini, ya separuh hatiku yang tercuri olehnya dan akan selalu bersamanya!

SELESAI



Cerita ini telah dimuat di media cetak:
STORY TEENLIT MAGAZINE
EDISI 5/Th.I
25 NOVEMBER-24 DESEMBER 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar