Selasa, 26 Januari 2010

FROM SOUTH WITH LOVE (BAGIAN 1)

FROM SOUTH WITH LOVE



Garuda yang kutumpangi telah mendarat dengan mulus di Bandara Hasanuddin. Maka ketika akhirnya awak kabin mempersilakan kami untuk bersiap turun, serta merta aku berdiri dari dudukku dan mengambil ranselku dari laci di kabin pesawat ini.

Aku melangkah penuh semangat menuju tempat pengambilan bagasi, dan sepuluh menit kemudian aku telah menenteng koperku.

Kulangkahkan kakiku menuju ruang kedatangan. Mataku dengan sigap mengamati orang-orang yang ada di ruang kedatangan, mencari-cari orang yang telah berjanji akan menjemputku. Orang yang belum kukenal sama sekali, dan yang hanya kutahu wajahnya dari fotonya yang dikirimnya melalui MMS.

Dengan sedikit resah yang bergelora di dada, aku berdiri terpaku sejenak di ruang kedatangan ini. Untunglah tiba-tiba mataku menatap cowok berwajah persis di foto yang dikirim via MMS pagi tadi, yang membawa karton bertuliskan namaku. Segera saja aku menghampirinya.

“Anaknya Oom Prastowo, ya?” sapaku ramah pada seorang cowok yang membawa karton bertuliskan “ALDRIN” yang tak lain adalah namaku, di luar ruang kedatangan bandara ini.

“Aldrin?” cowok tampan itu membelalakkan matanya yang bagus sambil mengulurkan tangan padaku.

Aku mengangguk pasti.

“Seno, anak bungsu Oom Pras.” Cowok itu mengulurkan tangan kanannya.

Kami bersalaman akrab.

“Mana Oom dan Tante, Sen?”

“Mereka sedang rapat kepengurusan panitya acara perkawinan anak atasan papa, jadi aku yang menjemputmu.”

“Oh…” Aku mengangguk-angguk.

“Nggak apa-apa, kan?”

“Terima kasih ya, kamu sudah menjemputku!”

Seno tersenyum.

“Ayo ke mobil!” tanpa permisi tangan kanannya merebut koper di tanganku, lalu tangan kirinya menarikku, membawaku menuju tempat mobilnya diparkir. Senangnya hatiku karena kedatanganku telah disambut dengan akrab olehnya.

“Berapa hari rencana liburanmu di sini, Drin?” tanya Seno ketika sudah melarikan Hardtop-nya meninggalkan halaman bandara.

“Lima hari.”

“Tanggung amat? Seminggu saja, Drin. Banyak tempat menarik di sini, dan menurutku kalau hanya lima hari, kita jalan-jalan tapi diburu waktu, nggak santai!”

“Begitu, ya?” Aku mengangguk-angguk. “Tapi bukankah wisatanya cuma Tana Toraja saja?”

“Wow, enggak Drin. Di Makassar sini juga banyak tempat menarik kok, ada Bantimurung, ada Pulau Khayangan, ada Pantai Samalona. Belum lagi kalau kita ke Malino, ada air terjun di sana. Lagian jalan ke Tana Toraja saja, kalau kita berangkat pagi baru sampai sana malam hari. Otomatis kita nanti cari tempat menginap. Makanya lima hari tidak cukup, Nona! Kita ke Tana Toraja saja paling enggak dua atau tiga hari di sana. Apalagi sedang ada festifal budaya Toraja nih, Drin. Pokoknya kamu ke sini pada waktu yang sangat tepat waktu nih!”

“Well, kalau begitu bagaimana baiknya saja. Pokoknya aku lagi pengen happy selama liburan di sini nih!”

“Nah, begitu dong!” Seno mengacungkan jempol kirinya. “Eh..ngomong-ngomong memang kamu lagi sedih kenapa, Drin?”

“Biasa, putus sama cowokku!” Jawabku nyeplos begitu saja.

“Sudah tenang saja, pokoknya dijamin kamu happy di sini nanti. Kamu bisa punya teman baru juga, nanti aku kenalkan sama teman-teman kuliahku, mereka orangnya asyik-asyik.”

Aku tersenyum. Terus terang kurasakan Seno begitu ramah dan menyenangkan, meski aku baru saja mengenalnya.

“Oh ya, siapa yang nanti menemaniku jalan-jalan, Sen?”

“Kalau enggak sama aku, nanti bisa juga sama Sapto.”

“Oh, Sapto kakakmu, ya?”

“Iya, kakakku.”

Seno tampak konsentrasi benar dengan kemudinya, apalagi ketika lalu lintas mulai tampak ramai.

“Nah, kita mulai memasuki kota Makassar nih. Di sini lain dengan Jakarta, lalu lintas sini padat karena banyak angkutan kota, becak dan sepeda, tapi nggak macet.”

“Oh, berarti bandara tadi di pinggir kota, ya?”

“Iya, Maros namanya.”

“Hey, becaknya lucu ya!” teriakku spontan kala melihat becak Makassar. “Wow, enggak pakai per, apa nggak sakit tuh pantat kalau becaknya kejeblos lubang?”

“Coba saja, nanti sekali-kali naik becak di sini, Drin!”

“Betul ya, Sen! Di Jakarta sudah bebas becak, jadi aku nggak pernah naik becak.”

“Oke. Aku matikan AC mobil saja ya, kita buka kaca jendela mobil, biar terasa angin sore Makassar yang sepoi-sepoi.”

Seno membuka jendela, aku mengikutinya. Lalu dia menyalakan CD dalam mobilnya. Tak lama kudengar Phil Collins mengalunkan ‘Wake Up Call’.

“Hm, Phil Collins album Testify nih!”

“Wah, kamu hafal, penggemar dia juga, ya?”

“Iya, kamu pasti juga suka Phil Collins, ya Sen?”

“Banget! Padahal tadinya tahu dia gara-gara nggak sengaja lihat film kartun Tarzan di tv, eh…terus lagu-lagu soundtrack-nya enak. Pas terakhir, aku lihat music nya digarap Phil Collins. Nah aku jadi cari-cari di internet. Ya…jadinya suka. Lalu aku jadi tahu Genesis juga, dan aku jadi mengoleksi album-album genesis yang Phil Collins jadi lead vokalnya.”

Aku tersenyum.

“Kenapa?” Seno menatapku sejenak.

“Sama. Aku juga. Kalau aku suka gara-gara suka tune in radio yang pas
kebetulan menyiarkan acara back to 80. Nah… dari situ, aku jadi suka Phil Collins dan Genesis. Tapi aku juga suka Firth to Fifth, salah satu album Genesis yang masih ada Peter Gabriel, Sen. Asyik banget pianonya.”

“Percaya. Lagunya memang enak-enak!”

“Heeh!”

Tiba-tiba sebuah angkutan kota yang di depan kendaraan kami berhenti mendadak.

“Awas, Sen!” teriakku cepat. Reflek Seno menginjak pedal rem mobilnya.

Aku menghela napas, “Hampir saja…”

“Pete-pete di sini memang raja di jalanan.”

“Apa sih pete-pete?”

“Itu istilah di sini untuk angkutan kota,” Seno kembali menjalankan mobilnya, setelah berhenti sejenak menanti angkutan kota yang tengah menurunkan penumpang, tanpa memberi sinyal berhenti dan tidak menepi itu, sementara aku sendiri asyik menikmati pemandangan kota Makassar ini.

***

Aku tengah duduk seorang diri di teras sambil membaca LELAKI BERAROMA REMPAH-REMPAH, salah satu buku karangan Tina K, pengarang kesukaanku, yang sengaja kubeli dan kubawa serta dalam perjalananku ke Makassar ini. Tiba-tiba sebuah motor trail memasuki halaman rumah. Pengemudinya, seorang cowok kurus tinggi putih, dengan wajah tampan, lebih tampan dari Seno.

Sekilas kutangkap sinar matanya yang dingin dan terkesan angkuh, saat ia turun dari motor trail itu. Bahkan tak ada senyum maupun sapaan sekedar permisi ketika berlalu di depanku.

Aku menghela napas dalam. Mungkinkah dia Sapto? Uh…bagaimana jika dia memang Sapto, dan dia yang kelak akan menemaniku menikmati masa liburku semester genap di kota ini? Oh…NO!

“Drin, ayo makan dulu!” Seno yang baru selesai mandi menghampiriku.

“Enggak tunggu Oom dan Tante?” tanyaku ragu.

“Mereka mungkin pulang malam. Lagian mereka pasti sudah pada makan. Ayo, nanti keburu kelaparan jadi masuk angin.” Ia menarik tanganku.

Aku tak kuasa menolak. Kuletakkan bukuku di meja teras.

“Anggap saja seperti di rumah sendiri ya, Drin. Tadi pesan Mama juga begitu.”

“Oke. Oh ya, tadi ada cowok baru masuk rumah, siapa ya?”

Seno mengernyitkan keningnya.

“Cowok? Pakai motor trail?”

Aku mengangguk.

“Ah, itu dia si Sapto. Nanti aku kenalkan deh sama dia.”

Kami makan bersama di meja makan. Dan usai mengenyangkan perut kami, Seno mengajakku ke taman belakang.

“Kalau kamu mau berenang, nggak usah ke kolam renang, Drin. Di sini juga ada kolam renang.”

“Hm, boleh juga kapan-kapan deh.”

“Nah, itu dia si Sapto, rupanya lagi berenang!” Seno menunjuk kakaknya yang tengah berenang dengan penuh semangat. “Sapto orangnya agak antik, Drin. Dia introvert, lebih suka menyendiri. Lihat sore-sore begini saja dia berenang sendirian.”

“Nggak apa-apa, itu lebih baik daripada bengong.”

“Sapto…!” Seno menghampiri kakaknya yang tengah berhenti di ujung kolam, tentu saja aku mengekornya. “Kenalkan, ini Aldrin yang Papa bilang kemarin.” Jempolnya menunjuk kepadaku.

Aku tersenyum dan mengulurkan tangan kananku, tapi sayang cowok yang bernama Sapto itu hanya menatapku dingin untuk beberapa jenak, baru kemudian ia mengulurkan tangan kanannya dan menyalamiku. Aku masih tetap tersenyum, meski perasaanku merasa tak nyaman berhadapan dengan Sapto yang tak seramah Seno.

Ya, cowok itu memang benar-benar tak ramah, dia tak tersenyum, bahkan di luar dugaanku, tiba-tiba malah ditariknya tanganku sehingga aku tercebur ke dalam kolam.

“Sapto…!” kudengar suara teriakan Seno.

Aku gelagapan, tapi cepat aku menguasai keadaan. Untung saja aku bisa berenang.

“Ngaco kamu, To!” Seno mengomel, ketika aku berusaha memegang tepi kolam. Dan serta merta ia menolongku dengan menarik tanganku agar bisa segera ke atas. Kududukkan pantatku di tepi kolam.

“Biar cepat akrab ya, Drin,” Sapto mengerlingiku, lalu dia cengengesan.

“Tega benar sih kamu!” Seno tampak kesal. “Aldrin kan sudah mandi!”

Aku berusaha untuk tetap tersenyum.

“Nggak apa-apa. Boleh juga nih kita berenang,” ujarku kemudian. Meski dalam hati aku melontarkan seribu makian atas kekesalanku pada Sapto!

Demi menunjukkan bahwa aku baik-baik saja atas perlakuan Sapto, maka aku kembali menceburkan diri ke dalam kolam, menikmati salah satu fasilitas yang dimiliki keluarga Prastowo itu.

“Maafkan Sapto ya, Drin!” Seno berbisik padaku ketika aku kembali duduk di tepi kolam, sementara Sapto masih lalu lalang di dalam kolam.

“Nggak apa-apa.”

Tiba-tiba handphone Seno berdering.

“Halo, Ma!” suara Seno menyapa. Lalu tak lama kemudian, “Sudah, sudah dong, Ma! Tadi makan berdua denganku. Ini dia Aldrin.” Seno mengulurkan handphonenya padaku. “Mama mau bicara.”

Aku menerimanya.

“Halo, Tante?”

“Drin! Gimana? Senang kan di rumah Tante? Yang betah ya, meski anak-anakku laki semua, tapi mereka baik-baik kok.”

“Senang, Tante. Sungguh! Seno dan Sapto asyik orangnya. Ini saya lagi berenang sama Sapto, Tante. Seno sih nongkrong saja, malas kali.”

“Syukurlah. Pokoknya kalau mau apa-apa bilang sama Seno atau Sapto saja, mereka semua siap membantu.”

“Terima kasih, Tante.”

“Oke, sudah dulu, ya. Tante sama Oom pulang agak malam nanti.”

“Ya, Tante. Hati-hati, Tante.”

Telepon di ujung sana ditutup, aku pun mengembalikan handphone ke tangan Seno. (Bersambung ke bagian 2)

FROM SOUTH WITH LOVE (BAGIAN 2)

“Gimana Makassar, Drin?” suara Fem, adikku, di Jakarta sana mendayu-dayu, ketika malamnya aku menelepon ke rumah.

“Asyik. Aku tadi dari Pantai Losari, makan es pisang ijo.”

“Sama siapa?”

“Sama Seno, anaknya Oom Pras.”

“Hati-hati nanti kamu kecantol dia, lagi!” Fem cekikikan. “Oh ya, tadi Nestor ke sini.”

Jantungku mendadak berdebar keras. Nestor? Huh!

“Ada urusan apa lagi? Aku kan sudah putus sama dia!” ujarku penuh emosi.

“Enggak tahu, pokoknya cari kamu.”

“Kamu bilang aku ke sini?”

“Iya. Dia tanya nomor handphonemu yang kaubawa.”

“Lalu kamu kasih tahu?”

“Enggak, meskipun dia tadi memaksaku. Malah minta alamatmu di situ, tapi nggak kuberi tahu.”

“Lain kali kalau dia datang lagi, bilang aku sudah punya pacar baru!”

“Oke-oke, tapi oleh-oleh untukku nanti jangan lupa ya, Drin.”

“Beres, bawel!” aku menutup telepon, lalu melemparkan tubuhku ke pembaringan.

Sulit mataku untuk terpejam malam ini. Entahlah, mungkin karena ini malam pertamaku menginap di rumah Oom Pras. Sejenak aku teringat kesan pertama Seno yang menyenangkan, dan membuatku merasa nyaman di tempat baru ini, juga teringat sikap Sapto yang angkuh dingin tapi usil, yang membuatku tercebur ke dalam kolam renang tadi, juga teringat telepon Fem yang mengingatkanku pada Nestor yang telah mengecewakanku.

Sesungguhnya aku amat menyayangi Nestor, mahasiswa Arsitektur semester enam di kampusku itu. Aku sudah mengenal baik keluarganya, pun sebaliknya. Bahkan ketika mamanya terkena stroke dan di rawat di rumah sakit Medistra, aku turut ikut menjaganya bergantian dengan Nestor. Maklumlah, kakak-kakak Nestor sudah menikah semua dan tinggal di luar Pulau Jawa, jadi tinggallah Nestor atau aku dan papanya yang menjaga.

Selama mamanya dirawat, aku memaklumi jika Nestor jarang datang ke rumahku atau pulang dari kampus bersamaku. Aku begitu percaya bahwa Nestor memang begitu sulit membagi waktu untukku, untuk menjaga mamanya, juga untuk kuliah.

Sayang, kepercayaanku padanya dipaksa hilang oleh perbuatannya sendiri, yang kulihat di depan mata kepalaku, saat Sabtu malam dua minggu yang lalu.

Aku baru saja meninggalkan mamanya, dan hendak pulang tengah malam itu. Aku menanti lift yang akan membawaku turun, dan saat pintu lift terbuka, di hadapanku kulihat Nestor dan Angie, mantan kekasihnya tengah berpelukan mesra.

“Nestor?!” pekikku dengan jantungku yang berdebar kencang dan hati yang seakan mendadak pecah!

Aku segera berlari memasuki lift lain yang kebetulan terbuka, meski lift itu membawaku ke lantai atas.

Dengan jantung yang terpacu karena emosi dan air mata yang meleleh di pipi, aku berusaha untuk bisa secepatnya menuju tempat parkir sesaat setelah turun dari lift di lantai dasar. Nestor yang telah menungguku di lantai dasar mengejarku, membuatku bagai di kejar hantu dan segera berlari keluar ke arah lobby dan buru-buru masuk ke dalam mobilku.

Aku tak peduli ketika dia mengetuk-ngetuk kaca mobilku, langsung saja kustater Swift kesayanganku ini, dan kutinggalkan tempat parkir ini secepatnya. Ah, Nestor si pengkhianat!

Handphoneku pun tak hentinya bernyanyi di sepanjang perjalanan pulang itu, aku tahu persis pasti Nestor peneleponnya yang ingin berbicara padaku. Serta merta telepon kumatikan. Aku muak padanya, teringat adegan mesra di lift tadi.

Tiba di rumah, Fem menyambutku dengan mengatakan bahwa Nestor meneleponku.

“Bilang saja aku tidak pulang!”

Fem terbengong-bengong.

“Mana mungkin, baru saja aku dengar suara mobilmu datang, jadi kubilang agar dia menunggu karena kamu baru datang.”

“Pokoknya aku nggak mau bicara sama dia. Bilang saja ‘ It’s over’ dan jangan telepon aku lagi!”

Fem masih menatapku keheranan.

“Ada apa sih, Drin?”

Aku tak menjawab, dan langsung masuk ke kamar.

Fem memburuku.

“Drin, aku nggak tahu kamu ada masalah apa dengan Nestor. Tapi kumohon, kalau kamu ada masalah sama dia selesaikan sendiri deh.”

Aku masih terdiam.

“Sana kaujawab dulu telponnya. Kalau mau berantem di telepon juga bisa diatur, kan?”

Aku menghela napas, lalu dengan malas menyeret kakiku menuju telepon di ruang keluarga.

“Mau apa lagi sih?!” suaraku tak ramah ketika kudekatkan gagang telepon di telingaku.

“Drin, aku mau minta maaf,” suara Nestor terdengar serak di seberang sana. “Aku khilaf di lift tadi, tapi itu terjadi begitu saja. Aku memang ketemu Angie di rumah sakit tadi, karena kebetulan ayahnya juga dirawat di rumah sakit ini. Kebetulan malam ini dia jaga, dan kami jumpa ketika kami sama-sama mau cari makan malam, lalu kami makan malam bersama, lalu…”

“Nestor, I love you. But It’s over now. Good night!” kututup telepon, dan mataku kembali basah.

Tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara ketukan di pintu kamarku. Kutengok Casio-ku. Hampir pukul dua belas malam. Serta merta aku bangun dan membuka pintu kamar.

“Belum tidur, Drin?” Tante Prastowo tersenyum.

“Baru mau tidur, Tante.”

“Oh….ya sudah. Selamat tidur, ya!”

“Terima kasih, Tante.”

Aku menutup pintu, menguncinya, dan kembali melompat ke pembaringan.

***

Hampir tengah malam, ketika Seno memarkir Hardtop-nya di halaman rumah.

“Capek ya!” komentar Ritzon, teman kuliah Seno di Unhas, sambil membantuku menurunkan ransel-ransel kami, juga tas kantong asesori dinding khas Tana Toraja yang kuborong untuk kubawa ke Jakarta jika pulang nanti.

“Ya, tapi asyik.”

“Besok kita ke mana, Drin?” Seno menantangku lagi. “Ada tiga alternatif nih. Air terjun Malino, hutan wisata Bantimurung, atau Pulau Khayangan dan Pulau Samalona dengan pasir putihnya? Yang paling asyik sih kalau kemping ke Pulau Samalona.”

“Betul, Sen. Kita kemping, bawa ikan dan kita bakar, terus makan ikan bakar rame-rame.”

“Asyik sih asyik!” komentarku. “Cuma menurutku, besok kita istirahat dulu, Sen. Aku kuatir kau capek, kecuali kalau kamu kasih aku kepercayaan buat gantian setir Greyhound-mu.” Greyhound adalah panggilan sayang Seno pada Hardtop abu-abu metalik yang telah didandaninya ala off road style.

“Enggak, aku nggak capek kok. Kalau pun besok aku capek, boleh saja gantian kita setir mobilnya.”

“Siplah!”

“Sekarang kamu istirahat dulu, Drin. Azka tidur di kamarmu, ya! Dia nggak usah pulang sudah kemalaman. Ritzon dan Andi tidur di kamarku.”

“Beres.”

Kuajak Azka ke kamarku. Sementara cewek tomboi itu membersihkan diri di kamar mandi, aku sibuk mengutak-atik kamera digitalku yang penuh dengan foto-foto perjalanan ini. Lidahku tak hentinya berdecak kagum, sementara hatiku bersyukur pada Illahi atas keindahan alam Sulawesi Selatan ini.

Ada foto keindahan Pantai Barru yang masih perawan dengan laut biru dan pasir putihnya yang bersih tanpa sampah. Sayang, pantai indah di tepi jalan menuju kota Parepare itu belum dikelola untuk pariwisata.

Ada juga kota Parepare yang memukau kebersihannya. Lalu ketika kuabadikan kota Parepare dari jalanan yang agak meninggi, hm… pemandangan itu tak kalah indahnya dengan pemandangan Pulau Sentosa jika kita memandangnya dari tempat wisata How Par Villa atau Tiger Balm di Singapura.

Sungguh aku tak menyesal menyusuri negeri selatan ini, banyak pemandangan baru yang sungguh menarik, bayangkan saja saat dalam perjalanan menuju Tana Toraja aku menemukan Gunung Nona yang luar biasa eksotiknya.

Di Tana Toraja sendiri, aku bisa mengabadikan kuburan gantung di daerah yang bernama Lemo. Lantas di Londa, aku dapat mengabadikan kompleks pemakaman adat leluhur Toraja, dimana terdapat patung-patung kayu yang terbuat sedemikian rupa sehingga amat menyerupai wajah orang yang dimakamkan di sana yang juga lengkap dengan ukiran pakaian adat Torajanya.

Yang lebih dahsyat lagi adalah ketika kami menelusuri gua pemakaman dengan menggunakan petromaks yang dibawa oleh pemandu makam. Kami dapat menyaksikan langsung makam-makam yang berisi tengkorak yang tampak masih utuh dan hebatnya tidak bau! Ya, konon, leluhur Toraja memiliki ramuan khusus yang diturunkan sejak dahulu kala, yang menjaga agar mayat yang dimakamkan tidak berbau. Fantastik bukan?

Puncak kedahsyatan yang kuabadikan adalah foto-foto rangkaian Festival Budaya Toraja yang luar biasa menariknya. Ada upacara adat pemakaman, yang didahului dengan penyembelihan sejumlah kerbau dan babi. Konon pemakaman itu adalah pemakaman orang yang cukup berpengaruh dan kaya raya di Toraja sehingga upacaranya sungguh amat meriah, dan tentu saja tidak sedikit pula turis asing yang tertarik untuk menyaksikannya. (Bersambung ke bagian 3)

FROM SOUTH WITH LOVE (BAGIAN 3)

“Halo, Drin?” Tante Prasowo menyapaku ke kamar pagi itu. “Eh, ada Azka juga?”

“Iya, Tante. Semalam kan sudah kemalaman, jadi Seno ajak Azka menginap di sini.” Aku menjelaskan.

“Nggak apa-apa. Temen-temen Seno, memang suka menginap di sini kok.” Tante Prastowo menepuk pundakku. “Seru jalan-jalannya?”

“Pokoknya asyik, Tante. Kami pulang dari Tana Toraja juga mampir di Soppeng, kota kelelawar di Sulawesi ini.”

“Ah ya, Tante! Malah Aldrin asyik foto-foto di rumah tua di dekat alun-alun yang mengerikan itu.”

“Benar, Tante. Habis, Seno bilang kalau foto-foto di situ, katanya nanti cepat ketemu jodoh.”

Tante Prastowo tertawa.

“Seno ada-ada saja.”

“Lantas, kalian semalam pulang lewat mana?”

“Lewat Camba, Tante.” Azka yang menjawab.

“Iya, Tante. Asyik, jalannya berliku-liku, Tante!” komentarku.

“Ya, sudah, Tante sih senang kalau kalian mencintai keindahan negeri sendiri! Lantas hari ini pada mau jalan ke mana?”

“Ke Malino, Ma!” Seno tiba-tiba muncul ke kamarku.

“Ya sudah, sana sarapan dulu!”

Pukul sebelas, aku melarikan Greyhound Seno menuju Malino. Seno, yang kali ini menjadi sang navigator, duduk di sampingku dengan mengangkat kaki sementara kaca mata hitamnya bertengger di kepalanya. Di belakang duduk Azka, Andi dan Ritzon.

Wisata Malino kira-kira 60 km dari kota Makassar. Jalan menuju lokasi tak semulus jalan menuju Tana Toraja. Seno sempat menujukkan kepadaku lokasi peternakan ulat sutera yang menjadi komoditi daerah Makassar ini.

Dua jam kemudian, kami tiba di Malino. Lokasi wisata itu mirip Puncak, Jawa Barat. Banyak Villa dan Penginapan, tapi tak semewah dan seramai Puncak tentu saja. Di tepi jalan juga ada hutan yang banyak ditumbuhi pohon cemara, dan kedai kopi yang juga menjual jagung bakar.

“Kita langsung ke air terjun saja, ya. Nah, nanti di depan sana, kita belok ke kanan, Drin.”

Aku mengangguk saja, dan menuruti perintahnya.

“Sekarang lurus saja kan, Sen?”

“Yap, lurus saja sudah. Di ujung sudah tempat untuk parkir mobil.”

Dari tempat parkir, kami berjalan satu kilometer lagi untuk dapat mencapai air terjun yang suaranya sudah sayup-sayup terdengar itu.

“Barangkali tadi malam hujan, maka terdengarnya airnya deras banget.” Komentar Azka sambil menggandengku.

“Iya. Kamu pernah kemping di sini, Ka?” Ritzon menyamakan langkah dengan kami, sementara Seno dan Andi di belakang.

“Belum. Kamu pernah, Ritz?”

“Iya, dulu sama anak-anak pecinta alam.”

“Kamu pernah kemping sini, Sen?” tanyaku pada Seno.

“Belum juga.”

Akhirnya kami tiba di air terjun Malino, airnya yang bening dan deras bermuara membentuk telaga yang lumayan lebar sebelum akhirnya mengalir kembali menjadi aliran sungai. Kulihat orang-orang yang bermain air, bahkan berenang di telaga itu.

“Mau berenang nggak, Drin?” Seno menepuk pundakku.

“Ha ha ha, jadi ingat berenang di rumahmu dulu, karena ditarik sama Sapto.” Aku tertawa, Seno jadi ikut tertawa pula.

“Kamu akan mengingat Sapto terus gara-gara peristiwa itu ya, Drin?”

Aku hanya tersenyum simpul.

Andi menggelar tikar yang dibawanya, lalu kami duduk bersama. Sementara Azka yang sudah tak sabar, sudah duduk-duduk di tepi telaga dengan kaki terendam air telaga.

“Berenang, Ritz?” Andi mengajak Ritzon yang merebahkan badan.

“Ayo!”

Mereka melepas kaos, sehingga dengan hanya bercelana jean selututlah, mereka melompat ke telaga.

“Gila apa nggak dingin, Sen?”

Seno tak menjawab, malah dia menyusul melakukan hal yang sama. Aku segera mengambil kamera digitalku, lagi dan lagi aku asyik memotret pemandangan di air terjun Malino ini, juga memotret teman-teman seperjalananku yang asyik bercanda di telaga.

Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku.

“Kapan datang, Drin?”

Aku menoleh.

“Eh…. Sapto! Kamu ke sini, juga?” Sudah pasti aku terkaget-kaget.

Dia hanya menaikkan alisnya.

“Kenapa tadi nggak bareng kita-kita saja?”

“Kamu kan senangnya jalan sama Seno!” jawabnya ketus kemudian.

Aku sedikit kaget.

“Ah enggak juga. Kamu yang nggak mau menemani aku jalan-jalan di sini.”

“Oh ya? Kukira kamu lebih senang jalan sama Seno!”

“Hai, To!” Seno yang naik dengan basah kuyup menghampiri kami. “Kamu ke sini juga?”

“Heeh. Sama anak-anak naik motor.”

“Mana?”

“Mereka masih di atas, di hutan cemara, makan jagung bakar. Aku yang sendiri ke mari. Tadi aku sempat lihat mobilmu lewat di hutan cemara.”

“Kamu nggak berenang, To?” tanyaku kemudian.

“Enggak. Dingin, ah!”

“Begitu, ya?” Aku menaruh kamera digitalku. Entah bagaimana, tiba-tiba saja dengan secepat kilat kutarik tangan Sapto, sehingga dia ikut bersamaku tercebur di telaga dingin itu.

“Hey…hey…!” Sempat kudengar teriakan Seno. “Rupanya Aldrin bisa membuat seri satu-satu, ya!”

“Sialan kamu, Drin!” omel Sapto, ketika kepalanya muncul dari air telaga.

Aku yang kemudian muncul juga tertawa gelak, dan kegirangan atas keberhasilanku membalas keusilannya.

“Gantian, ya?” godaku, sambil berenang ke arah batu besar yang ada tak jauh dari tepi telaga.

Namun, Sapto tak mau menyerah kalah, dia berenang mengejarku, bahkan ketika aku hendak menggapai untuk menaiki batu, ditariknya kembali tubuhku sehingga tercebur kembali ke dalam telaga dingin itu.

“Curang kamu, To! Kan sudah satu-satu!” protesku, ketika kepalaku muncul dari air.

Sapto tertawa gelak.

“Sapto…mana bisa dilawan?”

Aku mencengkeram rahangku, menahan kesal.

“Aku sebel sama kamu, To!”

Sapto masih tertawa-tawa. Sementara Seno kulihat sibuk memotret kami.

“Marah, Drin?”

Aku tak menjawab.

Sapto mencipratiku dengan air telaga. Aku menghapus wajahku yang basah.

“Sorry, ya…” ujarnya cengengesan kemudian.

Aku tak menyahut, dan buru-buru berenang ke tepi, lalu naik ke tempat Seno. Sapto membuntutiku.

“Drin, jangan marah dong! Aku kan cuma bercanda.”

Aku memasang wajah kesal padanya.

“Iiih!” teriakku seraya mencubit lengannya keras-keras.

Sapto berteriak kesakitan, membuat hampir semua orang menoleh ke arahnya.

Seno tertawa gelak.

“Rasakan balasannya, To!”

Azka dan Ritzon dari jauh hanya tersenyum-senyum.

Kulihat Sapto yang tampak ‘panas’ ditertawakan adiknya. Tiba-tiba dia meraih pundakku, dan tanpa kuduga dikecupnya pipiku, lalu dia berlari meninggalkan kami.

“Hah?!” Wajahku terasa menghangat, darahku berdesir kuat. Hatiku sendiri tak karuan. “Kok….?” Aku meraba pipiku. “Dasar curang!” omelku.

Seno tersenyum.

“Olala, barangkali dia suka ganggu kamu, karena dia suka sama kamu, Drin.”

Aku masih meraba-raba pipiku. Suka sama aku? Ah, tidak! Sapto paling-paling hanya usil dan iseng kepadaku. Kalau dia suka kepadaku, sejak awal dia akan bersikap manis! Bukannya bikin kesal!

***

“Halo? Mama ada, Fem?” tanyaku pada Femmy yang mengangkat telepon di seberang sana.

“Mama arisan. Ada apa?” jawabnya nyaring di telingaku. “Oh ya, kapan kamu pulang, Drin?”

“Enggak ada apa-apa, aku kangen saja sama Mama. Pulangnya mungkin dua atau tiga hari lagi.”

“Lama amat? Betah di sana, ya?”

Aku tersenyum sendiri.

“Betah dong! Ini sekarang aku mau kemping ke Pulau Samalona!”

“Wow asyik amat! Oh ya, banyak teman-temanmu telepon ke rumah cari kamu!”

“Kamu bilang aku ke Makassar?”

“Iya. Eh, kamu tahu, kemarin di Hard Rock aku ketemu Nestor jalan sama cewek rambutnya sebahu. Kamu kenal dia, Drin?”

“Ah, sudahlah jangan cerita tentang dia lagi. It’s over. Bosan aku!”

“Wah…yang sudah putus!”

“Ya iya lah!” ujarku ketus. “Yang sudah ya sudah, jadi sejarah dan tak perlu dikenang, karena bukan pahlawan!”

Fem tertawa di Jakarta sana.

“Sudah ah, salam buat Mama dan Papa, ya! Bilang aku baik-baik saja!”

“Oke. Hati-hati, Drin.”

“Thanks, bye!”

Aku menutup handphone. Tak terasa Seno sudah memarkir Greyhoundnya di depan pangkalan perahu motor di seberang Benteng Fort Rotterdam ini.

Satu persatu kami turun dari mobil sambil membawa segala peralatan kemping kami.

Andi menawar sewa perahu motor yang akan mengantar kami ke Pulau Samalona. Dan setelah harga cocok, aku langsung membayarnya.

Kami segera menaruh barang-barang ke dalam perahu. Tenda, tikar, lampu gantung, ransel-ransel dan yang terpenting kontainer berisi jagung, ikan segar dan segala bahan makanan untuk pesta ‘bakar-bakaran’ malam nanti.

Kurang dari tiga puluh menit, perahu motor kami tiba di Pulau Samalona. Pulau berpasir putih ini sungguh menawan dan amat sangat bersih. Aku dan Azka segera saja melompat turun dan berteriak gembira, lalu kami bersama-sama menurunkan muatan.

“Sen, jangan lupa besok sore, perahu harus jemput kita lagi, ya?” teriakku berlari ke arah tepi pantai, mengingatkan Seno yang masih berbincang dengan supir perahu tadi.

“Beres!”

Dengan bekerja sama, kami memasang tenda, tentu saja dua tenda karena aku dan Azka tak mungkin untuk tidur bersama tiga laki-laki berbadan besar-besar itu. Selesai memasang tenda kami makan bersama, karena tadi sebelum berangkat kami membeli nasi box untuk makan siang di sini.

Aku merebahkan tubuhku di atas tikar di depan tenda kami sore itu. Azka tertidur pulas di dalam tenda, sementara Seno, Andi dan Ritzon asyik berenang di pantai.

Dalam kesendirianku ini, entah mengapa aku teringat Sapto, kakak Seno. Huh! Benar-benar cowok yang menyebalkan! Belum pernah ada satu cowok pun selama ini yang berani mencuri kecup pipiku, kecuali dirinya! Sialan! Dasar cowok kurang ajar! Makiku dalam hati. Kalau saja dia bukan kakak Seno atau bukan anak keluarga Om Prastowo, sudah pasti sudah kugampar saat itu juga!

“Drin, ayo main di pantai!” tiba-tiba Ritzon menghampiriku, dan tentu saja aku tak menolak ajakannya.

Ombak yang datang bergulung-gulung ke arah pantai serta angin pantai yang berhembus sejuk sore ini, benar-benar kunikmati, sambil bersyukur atas karunia-Nya yang telah menciptakan keindahan pantai Samalona ini. (Bersambung ke bagian 4)

FROM SOUTH WITH LOVE (BAGIAN 4)

Becak yang kutumpangi sudah berhenti di alun-alun kota, setelah mengantar kami berkeliling di tengah kota Makassar. Lalu kami, aku dan Seno, berjalan bersama menyusuri Jalan Sudirman, menuju rumahnya.

“Sen, terima kasih ya, selama aku di sini, kamu benar-benar menjadi tuan rumah yang baik hati!”

“Ah, kamu terlalu berlebihan memujiku.”

“Sungguh! Aku janji kalau kamu mau berlibur ke Jakarta, aku akan lebih baik mengantarmu kalau kamu mau jalan-jalan nanti.”

Seno tersenyum.

“Aku senang banget jalan sama kamu, Sen. Bahkan janjimu mau naik becak Makassar saja nggak lupa untuk kamu tepati.”

“Hm… itu memang wajib kulakukan. Aku kan tuan rumah, Drin. Oh ya, tinggal ke Bantimurung ya, kamu kan pengen lihat kupu-kupu dan beli koleksi kupu-kupu awetan.”

“Ah ya. Kapan kita ke sana. Besok kan aku pulang ke Jakarta.”

“Siang ini juga bisa.”

“Wow, asyik. Thanks ya, Sen.”

“Ya, aku cuma berusaha supaya kamu happy di sini. Kan katanya kamu pengen happy selama di sini.” Matanya yang teduh melirik padaku.

“Thanks. Aku nggak akan lupa sama kebaikanmu, Sen.”

“Tapi kamu akan memaafkan dan melupakan ulah Sapto, kan?”

Aku tersenyum kecut.

“Sesungguhnya dia naksir kamu, Drin. Tapi dia malu untuk mengungkapkannya. Semalam dia bilang sama aku!”

Mulutku ternganga. Jantungku berdebur kencang.

“Sebetulnya sih dia baik hati, cuma dia agak kurang pintar bergaul, makanya sampai sekarang dia belum punya cewek.” Seno menjelaskan lagi. “Ya, cewek mana suka kalau dia usil begitu, kan?”

Aku hanya terdiam.

“Dia temannya cowok semua, Drin. The club of Jomblo guys gitu lho!” Seno tertawa.

“Jangan begitu, Sen. Mentang-mentang kamu sudah punya cewek!”

“Eh, kamu tahu nggak, Drin? Sebetulnya Cattleya, cewekku itu, cewek yang dia taksir lho, tapi dia lebih suka sama aku!”

“Oh ya?” Aku menatapnya tak percaya.

Seno mengangguk pasti.

“Terus hubunganmu sama Sapto, jadi nggak enak dong?”

“Awalnya sih ya, sekarang sih biasa saja. Ya, orang Leya cinta sama aku kok. Cinta kan nggak bisa dipaksa.”

“Ya of course lah!” Aku meninju lengannya.

Kami memasuki halaman rumah Seno.

“Sen! Tadi Leya ke sini, cari kamu. Aku bilang kamu jalan sama Aldrin.” Sambut Sapto di teras rumah sambil menaruh bukuku, buku karangan Tina K, yang tengah dibacanya. “Tadi dia tunggu kamu lama, tapi karena kamu nggak kunjung datang, akhirnya dia pulang.”

“Ada pesan nggak?”

Sapto menggeleng.

“Memangnya kamu jalan nggak bawa handphone, Sen?”

Seno menggeleng.

“Pantas dia bilang dia telepon ke hapemu berkali-kali, tapi nggak dijawab.” Sapto menjelaskan. “Ya, siap-siap saja kalau dia ngambek, salahmu sendiri soalnya akhir-akhir ini kamu jalan terus sama Aldrin, dan nggak punya waktu untuk dia!”

Jantungku berdebar kencang. Hatiku gundah, mendadak aku merasa bersalah pada Seno. “Aduh Sen, aku jadi kuatir Leya jangan-jangan marah sama kamu gara-gara aku.”

“Nggak mungkin, lagian aku juga sudah bilang sama dia, kalau ada kamu yang mesti aku temani. Dia aku ajak jalan nggak mau ikut, karena sibuk penelitian.”

“Tapi.. Sen.”

“Sudahlah, percaya sama Seno. Everything will be fine.” Seno menarik tanganku ke dalam. “Ayo minum dulu!”

Aku mengekor Seno, sementara sempat kulihat Sapto melirikku dengan sinis. Mungkinkah dia tidak menyukai kedekatanku dengan Seno?

Seno membuka kulkas, menyodorkan sekaleng coke untukku.

“Tunggu sebentar ya, coba aku telpon Leya dulu.”

Aku duduk di ruang makan. Menanti Seno.

Tiba-tiba Sapto menghampiri dan duduk di hadapanku.

“Makanya, jangan jalan sama cowok orang, Drin!”

“Hey,” aku menaruh kaleng coke-ku di meja. “Aku juga nggak pilih Seno untuk menemaniku jalan. Hanya kebetulan memang Seno yang punya inisiatif untuk menemaniku, bahkan sejak awal dia juga yang menjemputku, dan…”

“Oh, Seno lebih baik dari aku, itu kan maksud pembicaraanmu?” potongnya cepat.

“Bukan begitu…”

“Ah, sudahlah. Semua orang juga lebih suka dengan Seno, semua cewek juga lebih dekat sama Seno. Bahkan kamu yang baru kenal, juga merasa enak jalan sama dia, kan? Jujur saja!”

Ucapannya membuat darahku mulai mendidih, maka dengan terpaksa aku bicara,

“Sapto, kamu ingin aku jujur? Baik, aku bicara jujur! Seno memang pribadi yang lebih menyenangkan daripada kamu. Puas?!”

“Ada apa nih kok sepertinya rame banget?” tiba-tiba Seno muncul.

Sapto terdiam. Begitu pun aku.

“Oh ya, Drin, aku nggak bisa antar kamu sore ini ke Bantimurung,” Seno menatapku. Lalu berpindah menatap Sapto. “Kamu bisa antar Aldrin, kan To?”

“Oke. Mau berangkat jam berapa, Drin?” Sapto cepat menjawab, lalu menatapku sambil mengerlingiku, seakan tak ada lagi ketegangan yang terjadi di antara kami.

Ya Tuhan, keusilan apalagi yang sudah berkutat di otaknya yang akan dilakukannya untukku jika dia yang mengantarku ke Bantimurung nanti?

“Ah, aku nggak pergi, juga nggak apa-apa!” ujarku buru-buru, karena aku enggan mendapatkan keusilan jika kelak pergi bersamanya.

“Lho kenapa? Bukannya kamu ingin beli hiasan kupu-kupu di Bantimurung untuk oleh-oleh?” Seno mengingatkanku.

“Ah, dia maunya diantar kamu, Sen!” tembak Sapto cepat. “Dia mulai naksir kamu, Sen? Makanya dia hanya mau jalan sama kamu! Terbukti kan, aku siap mau mengantarnya, tapi dia nggak mau?”

Wajahku memanas.

“Bukan, bukan begitu maksudku!”

“Hey, lalu apa? Bukankah sudah jelas-jelas, aku yang sudah berbaik hati menawarkan jasa, kamu menolaknya. Padahal sebelumnya punya rencana buat jalan ke sana, kan? Berarti kan jelas, maunya cuma ditemani sama Seno!”

“Bukan begitu, aku nggak mau jalan ditemani kamu, karena takut kamu usil padaku!”

Seno tertawa.

“Makanya, To, jangan usil, supaya disenangi cewek. Kapan kamu punya cewek kalau cewek segan dekat sama kamu.”

“Aku nggak usil, hanya bercanda!”

“Sudahlah, Drin. Aku jamin kamu akan baik-baik saja. Jalan deh sama Sapto sana!” Seno menepuk pundakku. “Oh ya, To, aku pinjam motormu ya, kamu antar Aldrin ke Bantimurung pakai mobilku saja.”

“Tapi, Sen…”

“Aku janji, aku nggak iseng lagi, Drin. Percaya deh!” Sapto menatapku sambil tersenyum simpul.

Aku terdiam. Sungguhkah ia dengan kata-katanya?

“Oke aku jalan dulu, kalian baik-baik ya berdua! Aku mau ke rumah Leya.”

Seno bergegas pergi ke garasi setelah saling menukar kunci kontak dengan Sapto. Aku hanya menatap punggungnya yang menghilang di balik tembok dengan sedih.

“So, mau berangkat jam berapa, Non?” Sapto menimang kunci kontak Greyhound, sambil tersenyum padaku.

Aku menatapnya tajam.

“Janji ya, jangan iseng lagi!”

Dia mengangguk pasti.

“Ya sudah, ayo jalan!”

Greyhound ini melaju cepat meninggalkan rumah, menuju Bantimurung di daerah Maros. Sapto memencet-mencet tombol stereo set mobil Seno, mencari lagu yang diinginkannya. Tapi berhubung semua CD yang di stereo set itu adalah CD Phil Collins, maka tampaknya dia menyerah dan akhirnya membiarkan It don’t matter to me mengalun.

“Gila, semuanya Phil Collins!” celotehnya dengan nada sebal kemudian. “Dasar Seno!”

“Dia memang paling suka Phil Collins,” komentarku membelanya. “Aku juga!”

“Well… well!” komentarnya sinis. “Pantas kalian cocok! Tapi ingat dia sudah punya cewek, Drin!”

“Hey, kenapa bicara begitu sih? Kalau aku suka sama Seno, apa artinya aku pengen jadi ceweknya?”

“Alaa… jujur saja, kamu naksir dia, kan?”

“Nggak!” jawabku tegas.

Sapto kulihat tersenyum sinis, membuat hatiku mendadak panas.

“Dengar nih, To!” aku mengecilkan volume suara Phil Collins. “Kamu tahu, nggak, kamu cowok norak! Cowok kampungan, yang pikirannya cuma sebesar kotak korek api! Cowok yang suka iseng, berprasangka negatif, susah bergaul dengan yang namanya kaum cewek!”

“Oh ya?” Sapto tiba-tiba menepikan mobilnya, di tepi jalan. Lalu dia menatapku tajam. “Terus, apalagi?”

“Pokoknya, kamu cowok paling norak, cowok yang nggak akan pernah bisa menarik kaum cewek karena sikapmu menyebalkan! Dan aku sebeeeel… sama kamu!” Aku dengan santainya memuntahkan isi hatiku.

“Oke. Sekarang, dengar aku mau bicara soal kamu! Kamu tahu, kamu cewek apa?” matanya yang tajam bagai mata elang menatapku dalam-dalam, membuat jantungku tiba-tiba berdegub kencang.

Dia mencengkeram bahuku keras. “Kamu cewek manis yang menggemaskan dan itu membuatku jatuh cinta padamu!”

Blarr! Aku bagai kejatuhan bom. Jantungku melompat-lompat seketika.

“Aku tahu kamu jujur, Drin, aku tahu kamu nggak menyukai Seno. Aku hanya suka mempermainkan emosimu, yang kadang suka meledak-ledak itu.” Dia lalu menatapku lama. “Kamu mau kan jadi pacarku? Aku tahu sebetulnya kamu juga suka sama aku. Aku bisa merasakannya waktu kita sama-sama berenang di Malino.”

Aku tertunduk malu.

“Aku nggak akan mengecewakanmu, Drin. Kalau kamu mau jadi pacarku, maka kamulah cinta pertamaku.”

Aku tak menjawab, karena rasanya memang tak perlu. Aku tahu persis Sapto mengerti apa yang bergejolak dalam hatiku saat ini.

Sapto mengelus rambutku, dan tersenyum mesra.

Perjalanan ke Bantimurung ini kini tak lagi penuh ketegangan. Tangan kiri Sapto menggenggam erat tangan kananku, sambil berkendara. Aku percaya dan bisa merasakan, bahwa Sapto benar-benar jatuh cinta padaku.

Satu hal yang kusesali berkutat di benakku, mengapa kami baru akrab, di saat-saat hari-hariku di Makassar akan segera berakhir esok? Ah, terbayang sudah di Jakarta nanti separuh hatiku akan tertinggal di negeri selatan ini, ya separuh hatiku yang tercuri olehnya dan akan selalu bersamanya!

SELESAI



Cerita ini telah dimuat di media cetak:
STORY TEENLIT MAGAZINE
EDISI 5/Th.I
25 NOVEMBER-24 DESEMBER 2009

Jumat, 22 Januari 2010

PEREMPUAN YANG SEMPURNA (Bag.5)

Handphoneku bernyanyi nyaring. Nama Pak Anton Wijaya yang tertera di layar LCD handphone menunjukkan bahwa bos besar itu ingin berkomunikasi denganku. Hatiku mendadak berdebar-debar. Ada apa gerangan? Apakah Pak Anton juga akan ikut campur dalam masalah hubunganku dengan Ernest?

“Hallo?”

“Val, apa kamu bisa ke Rumah Sakit Medistra, sekarang?”

Aku kebingungan.

“Memang ada apa, Pak?”

“Ernest kecelakaan, mobilnya selip dan terbalik di jalan tol dalam kota saat hujan deras mengguyur Jakarta siang tadi. Kondisinya parah.”

“Ya Tuhan…” handphone kucengkeram erat-erat.

“Kamu datang ke sini, ya? Siapa tahu, kehadiranmu memberikan kekuatan baginya untuk bertahan hidup, karena dia mencintaimu.”

Tubuhku gemetar.

“Baik Pak, saya akan datang secepatnya.” Ujarku dengan air mata menggenang.

Aku langsung melarikan Pantherku dari Tangerang menuju Rumah Sakit Medistra. Tak peduli janjiku pada beberapa peternakan yang harus aku datangi hari ini, yang ada dalam benakku hanya bayangan Ernest yang begitu baik di mataku. Ya, Tuhan, berikanlah kekuatan untuk dia bertahan hidup di dunia ini lebih lama lagi.

“Val!” Pak Agung rupanya sudah menantiku di lobby rumah sakit.

“Bagaimana kondisinya, Pak?”

“Belum sadar.”

“Hah?” Air mataku meluncur.

“Pak Anton bilang, menurut suster jaga dia sempat mengigau namamu tadi!”

“Sungguh?”

“Ayo ke atas, kita ketemu Pak Anton!”

Aku menuju lantai ICCU, ditemani Pak Agung.

Pak Anton yang melihatku, langsung memelukku.

“Doakan dia kuat ya, Val. Lima hari yang lalu dia bicara, bahwa dia ingin menikah denganmu, tetapi saya tidak menanggapinya secara sungguh-sungguh.”

Lagi-lagi air mataku meluncur.

“Agaknya dia sungguh menyukaimu, Val.”

Aku menggigit bibir.

Tiba-tiba seorang suster memanggil nama Pak Anton. Pak Anton bergegas masuk ke dalam ruang perawatan ICCU. Hatiku semakin kacau. Aku berusaha mengikuti Pak Anton, tetapi suster itu melarangku. Tak lama laki-laki bertubuh tegap itu keluar dengan kuyu dan mata tak bercahaya.

“Dia sudah pergi….”
Pandangan mataku gelap seketika, dan aku merasa tubuhku ringan melayang.

***

Kompleks pemakaman OASIS yang mewah di Jatake, salah satu sudut Tangerang itu menjadi tempat peristirahatan terakhir Ernest. Air mataku tak habis-habisnya meluncur tatkala beberapa kenalan dekat dan juga keluarga turut menyalamiku di antara deretan keluarga Pak Anton Wijaya. Dalam suasana duka ini, aku benar-benar pasrah, jika namaku menjadi buah bibir. Aku sendiri tak menyangka jika hampir kebanyakan kerabat dekat, tahu bahwa Ernest menyukaiku dan ingin segera menikah denganku.

“Val, saya menemukan amplop yang ditujukan untukmu ini, di dalam lemari Ernest. Saya tidak tahu benda apa yang ada di dalamnya, karena saya sendiri tak berhak membukanya. Simpanlah, mungkin ini kenang-kenangan dari Ernest untukmu.”

Aku terkaget-kaget dan gemetar ketika Ibu Anton Wijaya menyerahkan sebuah amplop berwarna biru padaku, benar di bagian depan memang tertulis namaku.

“Simpanlah, dia pasti ingin kamu menyimpannya.”

“Terima kasih, Ibu.” Aku tak sanggup berkata banyak. Kupegang erat amplop itu. Sungguh, aku turut menyesal, mengapa Ernest pergi secepat ini. Andai saja, saat dulu bersamanya aku menerima cintanya, tentunya dia akan bahagia meskipun ia harus pergi jauh saat ini.

Satu persatu manusia meninggalkan komplek pemakaman mewah ini. Aku melangkah menuju Panther-ku. Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku, dan berjalan di sampingku.

“Dokter Val…”

Aku menoleh. Ko Anthony! Rupanya dia juga datang melayat ke sini.

“Terlalu dini dia pergi, ya?”

Aku hanya mengangguk ringan, sambil terus melangkah menuju mobil.

“Padahal dia orang baik, juga berani.”

Aku tak mengerti maksud pembicaraannya, jadi aku memilih diam.

“Dua hari yang lalu dia main ke peternakanku, dia ngobrol lama denganku.”

Air mataku kembali berlinang.

“Dia banyak cerita tentang kamu, Val.”

Aku menarik napas dalam.

“Sudahlah, Ko, saya harus bekerja kembali. Tadi ada sms yang masuk, agar saya mengunjungi peternakan di Serang, karena ada ayam yang sakit. Permisi, Ko Thony.”

Aku membuka pintu mobil, sempat kulihat wajah Anthony yang memandangku seakan berharap agar aku masih punya waktu untuk berbincang dengannya, tapi aku langsung masuk di belakang kemudi, menutup pintu dan tak lama melesat pergi.

***

Aku duduk menghadap meja kerja di kamar kosku. Malam semakin tua, semakin sunyi, dan semakin terasalah kesunyian hidup yang ada dalam lubuk hatiku ini. Tiba-tiba pandanganku tertuju pada amplop biru yang diberikan Ibu Anton Wijaya saat pemakaman Ernest seminggu yang lalu, yang kugeletakkan di atas meja kerja ini. Ah, andai saja dulu aku mengatakan ‘ya’ pada Ernest, barangkali aku tak lagi sunyi sendiri seperti hari-hari yang lalu di kamar ini. Ya, andai saja dulu aku mengatakan ‘ya’, hari ini aku barangkali sudah menjadi seorang istri, seorang calon ibu, yang sesungguhnya telah lama kudambakan.

Perlahan kusobek amplop itu. Sebuah kotak beludru menyembul dari dalam amplop. Kubuka kotak beludru itu dengan rasa keingintahuanku yang tak terbendung. Sebuah cincin bilah rotan berlapis emas putih dengan dua buah batu berlian mungil berkilau indah! Air mataku berlinang. Dengan hati-hati kulepaskan cincin itu dari dudukannya, dan ketika hendak kusematkan ke dalam jari manis kiriku, mataku tertuju pada tulisan grafir di bagian lingkaran dalam cincin. Anthony! Aku terperanjat. Mengapa di situ tertera nama Anthony? Mengapa bukan Ernest, namanya sendiri? Bukankah dia yang mencintaiku?

Sejenak aku jadi teringat kenangan bersama Ernest saat pulang dari peternakan Anthony dulu, saat ia menepikan mobilnya dan menyatakan cintanya. Berkali-kali dia mendesakku agar mengaku bahwa aku menyukai laki-laki tampan itu.

Ah Ernest…apa maksudmu sesungguhnya memberiku cincin bertuliskan nama Anthony ini? Bukankah antara aku dan Anthony tak ada hubungan apa-apa?

***

Kulalui hari-hariku seperti biasa, bekerja dan mengabdi pada perusahaan, mengendarai mobil menjenguk ayam-ayam di peternakan mulai pagi hari dan terkadang hingga malam menjelang.

Siang yang terik ini kularikan Pantherku meninggalkan Indo Makmur Farm milik Ko Sanjaya di daerah Cirarab, dan ketika kumasuki jalan beraspal yang menghubungkan daerah ini dengan Legok, kurasakan mobil terasa oleng ke kiri. Aku membuka jendela kaca di sampingku. Tiba-tiba seseorang yang duduk dari sebuah mobil kijang bak terbuka yang mendahuluiku berteriak, dan memukul pintu di sampingku.

“Bannya kempes!”

Aku terkejut dibuatnya, dan langsung menepikan Pantherku segera. Kumatikan mesin dan turun, mengecek ban sebelah mana gerangan yang kempes. Ah, benar saja, ternyata ban kiri belakang!

Aku menghela napas. Cuaca panas, jalanan yang berdebu, dan tak ada satu pun pohon rindang di tepi jalan ini membuat keringatku sudah bercucuran, padahal aku belum lagi mengganti ban. Dengan malas aku membuka bagasi belakang, menurunkan dongkrak dan tas kunci. Kujongkokkan tubuhku demi membuka ban serep mobil yang terdapat di bagian bawah bagasi belakang, tepatnya di belakang gardan. Sudah lebih lima belas menit aku berusaha membuka tempat penyimpan ban serep ini, namun ban serep ini belum lagi terlepas dari tempat penyimpanannya. Sungguh, seumur hidupku bekerja di lapangan, baru kali pertama ini aku mengalami ban kempes. Oh what a bad day! Gerutuku dalam hati.

“Kempes, Val!” tiba-tiba kudengar suara seseorang di belakangku, rasa-rasanya aku mulai tak asing dengan suara itu.

Aku menoleh dan tersentak. Anthony! Bagaimana mungkin dia bisa ada di sini? Atau barangkali karena aku terlalu konsentrasi dengan urusan membuka tempat penyimpan ban di panas terik ini, sehingga aku sungguh tak memerhatikan kehadirannya.

“Ko Anthony, kok…kok ada di sini?” tanyaku gagap.

“Saya baru pulang dari peternakan Ko Iwan, lalu saya lihat mobilmu berhenti di sini, jadi saya hentikan mobil saya di depan mobilmu. Itu, mobil saya di depan!”

Aku berdiri, melihat ke arah depan mobilku, untuk meyakinkan memang benar apa yang dikatakannya.

“Ko Iwan yang di daerah Babat?”

Laki-laki itu mengangguk, lalu jongkok di sampingku. Diraihnya kunci Inggris dari tanganku yang tadi kupakai untuk membuka tempat menyimpan ban serep tapi tak kunjung terbuka.

“Ayo saya bantu, Val.”

Aku mendadak salah tingkah.

“Hm…nggak usah, saya juga bisa, Ko!” sergahku sambil menarik kunci yang hendak diambilnya dari tanganku. “Ini sudah resiko pekerjaan.”

“Sudahlah, kamu kepanasan, saya yang akan mengganti ban ini.” Nada bicaranya tak seperti biasa, sungguh menyenangkan, bahkan kali ini ia menatapku dengan sorot mata yang teduh.

Aku terheran-heran sendiri, dan semua itu sanggup menghipnotisku untuk melepaskan kunci yang kupegang.

Tak kusangka ia dapat begitu cepat membuka ban serep dari tempatnya.

“Sudah dari tadi ya, Val?”

“Ehm…iya, Ko.”

“Kamu tunggu di pinggir jalan saja, biar saya yang kerjakan semuanya.”

Entah mengapa tiba-tiba aku jadi menuruti perintahnya. Aku melangkah ke pinggir sebelah kiri belakang mobil.

Kuperhatikan Anthony yang membuka sekrup ban, lalu mendongkrak dan tak lama ban kempes telah digantinya dengan ban serep. Aku menatap wajah kulitnya yang putih bersih, menjadi sedikit kemerahan karena tersengat matahari. Peluhnya berjatuhan dari kepala hingga membasahi baju kausnya, sementara celana jean yang dipakainya menjadi kotor di bagian dengkul dan paha.

“Saya jadi merepotkan Ko Thony!” ujarku dengan perasaan berhutang budi, seraya membuka pintu belakang samping kiri mobil ini, untuk mengambil tissue basah yang akan kugunakan untuk membersihkan tanganku yang kotor. Kubiarkan pintu itu tetap terbuka.

“Nggak apa-apa, kamu juga repot mengurusi ayam-ayam saya!” dia menoleh sesaat dan tersenyum. Aku senang melihat senyumnya, senyum indahnya yang pertama kali kunikmati sejak aku pernah mengenalnya. “Mengganti ban sih nggak repot!”

Tak lama Anthony telah membereskan peralatanku dan memasukkannya ke dalam bagasi belakang mobil.

“Bannya aku taruh di sini saja ya, biar mudah kalau mau ditambal nanti. Jangan lupa nanti mampir ke tukang tambal ban!” pesannya yang terasa penuh perhatian kepadaku. “Jadi kalau ada yang kempes lagi, ada ban serep!”

“Ya, Ko. Pasti!”

Tak lama kemudian ia menutup pintu bagasi belakang, lalu menghampiriku. Aku sendiri tengah sibuk membuka cool box penyimpan air mineral yang kusimpan di kursi belakang mobil ini.

“Oh ya, Ko Thony, ini ada tissue basah, bisa untuk membersihkan tangan Ko Thony yang kotor. Habiskan saja kalau perlu, yang penting tangan Ko Thony bersih lagi.” Aku berbalik dan mengulurkan satu dus kecil tissue basah kepadanya.

Ia mengangguk seraya meraih tissue basah yang kuberikan. Terkejut aku, tatkala kulihat di jari manis tangan kanannya tersemat cincin bilah rotan berlapis emas putih dengan dua buah batu berlian mungil yang berkilau terkena cahaya matahari. Cincin itu persis cincin yang Ernest berikan untukku.

Mendadak hancur rasa hatiku. Jadi dia sudah memilih perempuan lain? Oh, betapa malangnya aku, mengharap cinta dari laki-laki tampan yang tak memiliki hati untukku, sementara telah kutolak cinta suci lelaki yang telah pergi jauh meninggalkanku! Terbayang kini, hari-hari esok akan semakin panjang membentang yang harus kulalui sendiri dan sunyi. Ah, harapanku untuk menjadi seorang perempuan yang sempurna itu, pupus sudah.

“Terima kasih!” ia segera saja membersihkan tangannya.

Aku hanya memandangnya dengan perasaan hampa.

“Panas sekali Tangerang, ya Val!” keluhnya.

Aku tak mengomentari, hanya saja aku buru-buru mengambil dua buah botol air mineral dari cool box di kursi belakang mobilku, lalu kusodorkan satu botol air mineral dingin untuknya.

“Minum, Ko Thony!”

Laki-laki di dekatku ini tak menyambut air mineral yang kutawarkan. Aku menjadi semakin yakin, bahwa aku tak berarti apa-apa untuknya. Aku tahu barangkali dia menolak perhatian dan budi baikku padanya, karena ia setia pada perempuan yang telah menjadi pilihannya, yang namanya pasti tertera di lingkaran dalam cincin yang tersemat di jari kanannya itu.

“Minum, Ko Thony!” aku sekali lagi menawarkan budi baik. Sungguh, aku hanya ingin membalas budi baiknya, aku tak bermaksud mencuri hatinya, karena aku tahu ada perempuan lain yang memilikinya. Aku terlalu teguh memegang prinsip hidupku, bahwa tak layak jika diriku menjadi perempuan yang mencuri hati lelaki milik perempuan lain!

Anthony menoleh, menatapku lekat dan lama. Lalu ia menarik sehelai tissue basah dari dos yang sejak tadi masih di tangannya. Tak kuduga, tiba-tiba ia menghapus keringat yang membasahi keningku!

Jantungku melompat-lompat.

“Sesungguhnya…,” Ia menatapku tak berkedip. “Aku mencintaimu, Val! Tapi, aku tak seberani Ernest untuk mengungkapkannya.”

Aku menatapnya dengan mulut ternganga, tanpa sanggup berkata satu patah kata pun.

“Maukah kamu menikah denganku, dan tak akan kubiarkan kamu menghadapi hal-hal seperti ini sendiri di jalanan sepi.”

Aku kaget sekaligus terharu mendengarnya. Inilah kata-kata yang paling indah yang pernah diucapkannya kepadaku, sejak aku mengenalnya!

“Aku mulai menyukaimu sejak pertama melihatmu dulu.” Tambahnya lagi. “Maafkan aku, jika selama ini aku selalu mencurigai kedekatanmu entah dengan Ko Jo atau Ernest. Aku sungguh mencintaimu, sehingga kadang-kadang aku menjadi cemburu melihat kamu akrab dengan Ko Jo atau Ernest, atau bahkan Ko Hadi sekalipun.”

Mulutku masih ternganga.

“Aku bersungguh-sungguh, Val. Menikahlah denganku, dan peternakanku akan menjadi milikmu, milik kita. Kita berdua bisa bahagia tinggal di sana, mengurus ayam-ayam kita, juga anak-anak kita. Kau ‘kan tahu, selama ini Ko Jo yang mengelolanya untukku. Kini, setelah Ko Jo menetap di Singapura, aku yang akan mengelolanya sendiri. Dan aku ingin mengelolanya bersamamu, selamanya!”

Aku terdiam, tak percaya atas apa yang telah kudengar.

“Tapi, tapi bukankah Ko Thony sudah mempunyai calon istri?” tukasku hati-hati sekali.

“Calon istri?”

“Cincin itu….!” Langsung saja kutunjuk cincin yang melingkar di jari manis tangan kanannya.

“Cincin ini?” ia menatap cincin itu, lalu kembali menatapku. “Val, aku memang belum sempat cerita, ya? Begini, kamu ingat waktu kita bertemu di pemakaman Ernest dulu? Sesungguhnya aku ingin bicara banyak denganmu, tapi saat itu tidak memungkinkan karena kelihatannya kamu tidak menginginkannya dan terburu-buru untuk pergi. Jadi aku mengurungkan niatku untuk menceritakan hal yang sedikit aneh yang kualami ini.”

Aku mengernyitkan keningku.

“Aku mendapatkan cincin ini dari Ernest, ketika dia datang ke peternakanku, dua hari sebelum kecelakaan naas yang merenggut hidupnya. Dia datang malam itu, dan banyak bercerita tentang dirinya, dan juga dirimu. Aku salut atas keberaniannya untuk mengutarakan kepadaku apa pun yang ada di hatinya, seperti perasaannya yang amat mencintaimu. Bahkan dia menasehatiku untuk segera melamarmu, karena dia tahu bahwa sesungguhnya aku mencintaimu. Dia juga bilang, jika dia telah mengajakmu untuk menikah, tetapi kamu tak bisa menerimanya.” Anthony menarik napas sesaat. “Dia ingin membahagiakanmu, Val. Dan sebelum dia pulang, dia memberiku cincin yang di dalamnya ada terukir namamu. Lepas dan lihatlah sendiri, kalau kamu nggak percaya.”

Anthony mengulurkan tangan kanannya, mempersilakanku untuk melepas cincin yang ada di jari manis tangan kanannya, namun aku hanya menggenggam tangan itu, sementara air mataku yang berlinang mulai jatuh meluncur perlahan di pipiku. Sedemikian dalamnyakah cinta Ernest untukku, hingga ia sanggup menyelami rasa cinta yang sesungguhnya di dalam hatiku? Kini terkuaklah teka-teki, mengapa cincin darinya yang ada di mejaku bukan bertuliskan namanya melainkan nama Anthony!

“Ernest juga memberiku sebuah cincin yang bentuknya persis sama dengan cincin ini. Ibunya memberiku saat acara pemakaman dulu,” ujarku lirih kemudian, “dan di cincin itu terukir namamu, bukan namanya!”

“Oh ya?” mata Anthony terbelalak.

Aku mengangguk lemah.

“Jadi, maukah kamu menikah denganku, Val. Aku akan membahagiakanmu, melebihi harapan Ernest untuk bisa membahagiakanmu!”

Di bawah terik mentari yang membakar bumi Tangerang ini, aku tak sanggup berkata-kata. Kuhempaskan diriku dalam pelukan Anthony, sebagai jawaban ‘ya’. Tak kuduga, impianku yang kupikir telah pupus, ternyata siang ini menjadi kenyataan! Ya, aku akan menjadi perempuan yang sempurna, yang mempunyai suami yang kucintai dan mencintaiku, serta yang notabene bukan lelaki yang menjadi milik perempuan lain. Terbayang di mataku, kelak aku akan mengurus usaha peternakan ayam sendiri bersama Anthony yang kucintai. It’s more than just a dream, indeed!

SELESAI

Cerita ini pernah dimuat di KARTINI 2009 Edisi 2249 23 Juli s/d 2253 Oktober (6 episode sbg CER-BER)

Catatan :
1.Kandang batere = kandang di peternakan untuk ayam yang sudah siap untuk
bertelur, bentuknya biasanya bertingkat.
2.Koksidiosis = penyakit unggas yang disebabkan parasit koksidia, yang menyebabkan
perdarahan pada usus
3.Anak kandang = penjaga kandang
4.DOC = bibit/anak ayam yang berusia satu hari
5.Ayam pullet = ayam remaja yang sudah siap untuk bertelur biasanya di atas usia 13
Minggu
6.Litter = persak/kulit bekas padi yang digunakan untuk menutupi /alas lantai
kandang ayam
7.Penyakit tetelo = penyakit yang disebabkan oleh virus Newcastle Disease (ND), yang
dapat menyebabkan banyak kematian pada ayam
8.Uji serologi = uji laboratorium untuk melihat tingkat antibodi atau kekebalan
tubuh biasanya untuk mengetahui kondisi tsb setelah
ayam divaksinasi oleh suatu vaksin.

PEREMPUAN YANG SEMPURNA (Bag.4)

“Halo, Ko Hadi!” sapaku ketika aku tiba di peternakannya.

“Hai, Val!” dengan sumringah beliau menyapaku. “Nggak sama Ernest?”

“Ernest?”

“Ya, Ernest anak big bosmu. Kamu jadi pacaran sama dia, kan?”

“Ah, Ko Hadi ini! Jangan menggosip yang belum pasti deh.” Lalu buru-buru aku mengalihkan pembicaraan, “Gimana, ayam-ayam sehat Ko?”

“Coba kau tengok yang di flock bagian tengah, ayam umur delapan minggu itu, ada beberapa yang mati. Tapi nggak ada gejala sesak napas, pilek atau ngorok.”

“Ya sudah, saya langsung ke belakang, Ko. Kebetulan saya juga sudah bawa tas alat bedah nih!”

Aku melangkah melewati koridor menuju kandang ayam di bagian tengah, kandang ayam usia 8 minggu.

“Kematian sejak kapan, Ko?”

“Sudah dua hari ini, tapi nggak banyak sih!”

“Kenapa Ko Hadi nggak telepon saya dari kemaren-kemaren?”

“Ya, saya pikir pasti kamu minggu ini ke sini. Jadi saya nggak kuatir.”

“Betul, cuma kalau dari dua hari yang lalu saya dikabari, saya bisa periksa, jadi bisa langsung diobati. Lagi pula, meskipun saya punya planning ke farm lain, kalau ada farm yang urgent untuk didatangi, saya akan prioritaskan untuk datang segera, Ko.”

“Ya, saya tahu kamu repot, banyak peternakan lain yang butuh didatangi juga. Jadi kadang saya suka kasihan, dan takut bikin kamu stress saja nanti.”

Tiba di kandang tengah. Aku memeriksa kandang, kulihat kotoran ayam yang terlihat mengandung bercak darah.

“Saya curiga ayam ini kena penyakit koksidia, Ko Hadi!” komentarku. “Kotorannya mengandung bercak darah. Tapi coba saya akan bedah bangkai ayam yang baru mati, dua atau tiga ekor, buat memastikan diagnosanya. Juga ayam yang kelihatannya kuyu-kuyu itu.” Aku menunjuk dua ayam yang berdekatan yang tampak diam dan lesu.

Aku langsung saja memakai kaus tangan steril dan masker di wajahku, lalu mengambil bangkai ayam yang masih hangat, yang artinya belum lama mati. Kuperiksa dahulu bagian luar bangkai ayam mulai dari kepala hingga kaki, lalu kugunting lapisan kulit mulai dari anus hingga pangkal tenggorokan, serta kubuka bagian rongga dada dan rongga perut. Kuamati dengan teliti semua organ dalam tubuhnya. Sistem pernapasan agaknya baik-baik saja, pencernaan bagian atas juga tidak menunjukkan penyimpangan. Di bagian usus yang telah kubuka bagian dalamnyalah yang jelas menunjukkan tanda-tanda penyakit. Ada banyak perdarahan di sana.

“Ini koksidiosis, Ko Hadi. Diobati dengan obat antikoksidiosis tentunya, dan karena ini sudah terkena penyakit maka memakai dosis pengobatan, Ko. Kemudian kandang yang berdekatan, lebih baik diberi dosis pencegahan. Persak kandang akan lebih baik jika disemprot desinfektan.”

Ko Hadi mengangguk-angguk.

“Terima kasih, Val.”

“Oh ya, Ko. Nanti saya boleh numpang kerja di kantor? Saya mesti mencatat data terakhir total populasi ayam umur delapan minggu ini, sehingga pengiriman jumlah vaksin dapat saya kurangi, sebab jumlahnya sudah nggak sama seperti waktu pertama kali datang DOC.” Ujarku panjang lebar. “Kemudian, tindakan kita sekarang harus mengobati dulu koksidiosisnya, lalu jadwal vaksinasi yang jatuh tempo dalam waktu dekat tentunya akan saya ubah sedikit, karena kalau penyakit ini belum tuntas, vaksinasi juga nggak optimal.”

“Oke..oke…silakan.”

“Ayam yang mati dan bekas bangkai yang saya bedah ini harus dibakar ya, Ko! Jangan lupa lalu dikubur dalam-dalam.”

Ko Hadi mengangguk-angguk.

“Ngomong-ngomong jadi kapan rencana pernikahannya?”

Aku mengernyitkan keningku.

“Rencana pernikahan siapa, Ko?”

“Ya kamu dengan Ernest!”

“Ah, Ko Hadi nih! Enggak lah, Ko. Saya ini siapa sih, Ko?”

“Hus, jangan begitu. Kelihatannya kalian berjodoh?”

“Enggak Ko, dia adik bagi saya, Ko.”

“Wah, bisa saja kamu ini. Ntar tahu-tahu bulan depan datang ke sini, cuma untuk mengantar undangan, dan setelah itu nggak tengok-tengok ayam-ayamku lagi.”

“Hus, Ko Hadi! Sudah ya Ko, saya mau ambil laptop dulu di mobil, dan mau ke kantor untuk mengubah data populasi ayam berikut jadwal vaksinasi berikutnya!”

Ko Hadi tersenyum-senyum memandangku.

Setengah jam kemudian, aku sudah meninggalkan kandang Ko Hadi.

Handphoneku berdering. Serta merta aku mengangkat telepon.

“Halo?”

“Dokter Valentine?”

“Ya, saya sendiri.”

“Bisa ke peternakan saya?”

“Ini siapa, ya? Peternakan apa?”

“Ini Anthony, Val. Bumi Java Farm.”

Jantungku berdetak kencang. Aku terdiam sejenak. Hm, berani juga dia meneleponku langsung sekarang!

“Baiklah, Ko. Saya usahakan mampir hari ini.”

“Terima kasih!”

Telepon kututup.

Berat hatiku sesungguhnya untuk datang ke Bumi Java Farm, tapi apa pun keadaannya panggilan tugas ini tak bisa kuabaikan.

“Ko Thony, ada?” tanyaku pada Mbak Tuti sambil menggoyang-goyangkan tas tempat peralatan bedah di tangan kananku, ketika aku memasuki ruang kantor peternakan itu.

“Pergi, Mbak Val.”

“Katanya ada ayam yang sakit? Ayam yang mana, ya? Saya mau kontrol, Mbak.”

“Sebentar, saya antar saja sama Pak Marijan, kepala kandang di sini.”
Aku mengekor Mbak Tuti ke arah kandang.

“Pak Marijan, katanya ada ayam yang sakit? Dokter Val mau periksa.” Mbak Tuti menepuk lengan Pak Marijan yang tengah berdiri di depan salah satu kandang batere.

“Oh ya, ayam itu, Mbak. Ayam dua belas minggu kurang nafsu makan, kayaknya makanan yang dijatah nggak seperti biasa, nggak habis. Ayo kita ke kandang saja!”

“Oke!”

“Mbak Val, saya kembali ke kantor ya!” Tuti menepuk pundakku.

“Oke, terima kasih sudah diantar ke sini.”

Mbak Tuti tersenyum dan sebentar saja sudah melenggang meninggalkanku.
Aku mengekor Marijan menuju kandang.

“Saya sudah kasih vitamin, Mbak, tapi nggak ada perubahan. Coba, Mbak Val periksa saja, ya!”

“Tenang saja, selama saya bisa Bantu, pasti saya bantu.”

“Nah ini kandangnya, Mbak.”

Aku memandang dengan seksama kandang ayam usia dua belas minggu itu.

“Ayamnya kurus-kurus ini. Berat badannya kayaknya kurang untuk ayam seusia ini lo. Kotoran ayam juga normal-normal saja. Ada ngorok atau pilek, nggak?”

“Nggak ada, Mbak, cuma nggak ada nafsu makan.”

“Ada kematian?”

“Ada, hari ini ada tiga ekor!”

“Boleh bawa ke sini, nanti saya lihat bangkainya ada perubahan apa, kalau bisa ayam yang baru mati saja.”

“Iya, justru ini memang baru mati.”

Aku memasang masker di wajahku, lalu memasang sarung tangan steril, dan ketika Marijan mengantar bangkai serta merta aku memeriksa kondisi luar serta membedahnya untuk memeriksa organ vital bagian dalam.

“Saya lihat rangkaian alat pernapasan baik-baik saja. Tembolok juga nggak ada masalah. Lalu hatinya juga bagus. Coba akan saya buka bagian ususnya, ya.”

Aku menggunting usus ayam itu sehingga bagian dalamnya tampak jelas.

“Wah, lihat ini ayam banyak cacingnya, Pak! Apa nggak pernah diberi obat cacing, ya?”

“Kayaknya belum, Mbak.”

“Kan sudah saya programkan untuk pemberian obat cacing, karena infeksi cacing juga bisa mempengaruhi daya tahan tubuh.”

“Tapi seingat saya, belum diberi obat cacing.”

“Coba kalau begitu saya minta ayam yang kelihatannya lemas-lemas, satu ekor saja, buat pembanding. Dipotong dulu ya, jadi saya tinggal bedah bagian dalamnya!”

“Oke, Mbak!”

Aku mencuci gunting bedah dan pinsetku yang kotor. Kutunggu Pak Marijan yang tengah menangkap ayam yang tampak tak sehat, lalu dia menyembelihnya.

“Ini, Mbak!” diberikannya ayam yang sudah tak berdaya itu.

Seperti tadi, aku memeriksanya dengan teliti. Tidak tampak gejala penyakit yang mencolok pada sistem pernapasan dan pencernaan, terkecuali keberadaan cacing yang banyak di dalam saluran usus ayam.

“Lihat, kan, seperti tadi, cuma di bagian usus yang banyak cacing.”

Pak Marijan mengangguk-angguk.

“Jadi kenapa ayamnya?” tiba-tiba Anthony sudah di belakangku.

Aku tersentak, kulihat Pak Marijan yang juga tampak kaget karena juga tak menyangka bosnya sudah muncul di situ. Lalu, entah mengapa pegawai kandang itu langsung meninggalkanku begitu saja.

“Ayamnya infeksi cacing, Ko Thony! Ini lihat saja.” Kutunjukkan bagian dalam usus ayam yang penuh dengan cacing, bentuknya ada yang seperti benang mulus berwarna putih, bahkan ada pula yang berbuku-buku yang tak lain adalah cacing pita. “Apa nggak dijalankan program obat cacing yang sudah saya jadwalkan, Ko?”

Anthony membungkukkan badannya, lalu menatap usus dari ayam-ayam yang sudah kubuka bagian dalamnya itu. Entah mengapa, aku malah leluasa dan nikmat memandangi wajahnya. Hm, kalau saja ketampanannya seimbang dengan tutur katanya yang manis…

“Jadi bagaimana?” tiba-tiba dia balik menatapku, tatapnya mengingatkanku ketika salah satu dosen senior Bakteriologi sedang menguji, penuh keingintahuan.

Jantungku berdebar kencang, tapi bukan karena takut tak bisa menjawab seperti ketika dulu menghadapi sang dosen, namun takut jika laki-laki tampan ini tahu bahwa sesungguhnya aku menyukainya. Aku segera mengalihkan pandanganku pada bangkai ayam.

“Ya diobati!” Jawabku tegas.

“Tidak terlambat?” Aku tahu dia hanya pura-pura bodoh di hadapanku, memancingku. Mana mungkin dia tidak tahu, bukankah dia juga seorang dokter hewan? Sialan!

“Ko, tidak ada kata terlambat. Hanya saja semestinya kemaren diberi obat cacing dengan dosis pencegahan, maksudnya supaya hal ini tidak terjadi. Kalau sudah begini ya kita mesti obati, dengan obat cacing sesuai dosis pengobatan.”

“Ya sudah, nanti biar disiapkan obat cacingnya.”

Hm, benar kan? Dia cuma memancing pengetahuan dan keahlianku saja!

“Oh ya, Ko, karena ayam-ayam ini mau diobati dulu cacingannya, maka jadwal vaksinasi untuk ayam periode ini akan saya revisi sedikit saja. Semua datanya ada di laptop saya, jadi nanti boleh ‘kan saya menumpang kerja sebentar di kantor depan? Pengiriman kuantiti vaksin juga akan saya revisi, supaya tidak berlebihan, karena jumlah ayamnya juga sudah berkurang.”

Anthony menatapku.

“Terima kasih.”

“Oh ya Ko, kenapa sih program pencegahan cacing yang sudah terjadwal kok nggak dijalankan?” keluhku kemudian. “Nanti saya nggak mau kalau program vaksinasi juga sampai lupa dijalankan. Tahu-tahu ayam mati kena penyakit, dan produk dari perusahaan saya lagi yang disalahkan.” Tambahku ketus.

“Kenapa juga sih kamu membela habis perusahaan? Karena sebentar lagi jadi menantu pemilik perusahaan itu?”

Aku menatap dengan sebal.

“Bukan begitu. Sering kalau terjadi kasus, peternakan akan komplain bahwa ayam sudah divaksin tapi kok masih sakit, vaksinnya yang dibilang nggak bermutu. Padahal, mungkin saja kegagalan vaksinasi terjadi karena terlambat dari jatuh tempo jadwal vaksinasi yang seharusnya, sehingga kekebalan sudah menurun, virus menyerang, baru kemudian melakukan proses vaksinasi. Bisa juga proses vaksinasinya yang tidak benar, atau faktor-faktor lain, Ko. Itu maksud saya.” Lalu aku tambah mengoceh lagi. “Nanti kalau ayam banyak mati, tinggal komplain ke kantor, dan akhirnya saya lagi yang ditegur kantor. Padahal saya sudah memberikan apa pun yang terbaik untuk membantu kesehatan ayam-ayam yang menjadi pelanggan produk perusahaan. Ko Thony senang ya, kalau saya sampai dipecat dari pekerjaan?”

“Jadi kamu marah sama saya?” balasnya dengan sorot mata tajam, membuatku tersadar bahwa aku terlalu banyak mengoceh.

“Bukan, maksud saya…”

“Sudahlah,” potongnya cepat. “Jangan takut, nggak mungkin kamu dipecat, kamu kan calon menantu bos?” Dia lalu tersenyum sinis.

Aku tersentak, dan mendelik. Aku tak tahu pasti apakah “gossip gila” ini sudah beredar luas di kalangan peternak, atau memang dia saja yang senang menyerangku seperti ini? Yang jelas aku benar-benar tak tahan lagi dengan ucapannya itu.

Aku menatapnya tak berkedip.

“Ko, maafkan saya kalau saya cerewet,” ujarku menahan emosi, “semua itu karena saya menyayangi ayam-ayam Ko Thony, seperti ayam ini milik saya sendiri, Ko.”

Laki-laki tampan itu langsung terdiam.

“Oh ya, saya mohon Ko Thony jangan lagi bicara bahwa saya calon menantu bos. Saya nggak suka!” serbuku lagi.

Mulutnya terkunci.

“Permisi, Ko. Saya mau mencuci tangan dan alat bedah.” Aku berdiri dan melangkah menuju keran yang terdekat dengan kandang ini. Dari tempat aku mencuci, kudengar Anthony yang memerintah pegawai kandang untuk membakar dan mengubur bangkai ayam yang telah kuperiksa.

Usai membersihkan alat dan tanganku, kembali kuhampiri Anthony.

“Saya ke kantor ya, Ko. Saya mau merevisi program vaksinasi ayam-ayam periode ini. Jadi nanti, pengiriman vaksin berikutnya akan sesuai dengan jadwal yang saya revisi ini.”

Laki-laki itu mengangguk pelan. Aku langsung membawa tas bedahku, dan melenggang ke mobil. Kutaruh alat bedah, dan mengambil laptop lalu masuk kembali ke kantor peternakan yang sunyi.

“Kamu sendiri ke sini?” Ko Thony tiba-tiba saja muncul dari ruang kerjanya mengagetkanku.

“Sendiri, Ko.”

“Tidak ditemani Ernest?”

Aku duduk, lalu menyalakan laptop. Tak kujawab pertanyaan bodoh itu, hanya kulirik Anthony sesaat dengan sebal, sambil mencengkeram geraham. Hm, mengapa manusia satu ini masih ingin berkonfrontasi denganku? Mengapa ia tak bisa bersikap sedikit manis padaku? Andai saja dia tahu betapa aku menyukainya…

“Terakhir kamu ke sini, kamu dikawal Ernest, kan? Dan bosmu pun menawarkan anaknya itu untuk menjadi suamimu, ketika di pesta pernikahan anak Ko Agus dulu. Tentunya, sebentar lagi kamu jadi istri pewaris tahta perusahaan besar!”

Telingaku semakin panas saja mendengarnya. Ingin rasanya aku menangis diberondongi kata-kata seperti itu. Kalau saja dia bukan pelanggan perusahaan, barangkali aku lebih leluasa untuk menampar wajahnya detik ini juga.

“Ya, terserah Ko Thony deh, mau bicara apa!” Itu, ya hanya itu, yang sanggup keluar dari mulutku.

Tak kusangka, laki-laki tampan itu langsung terdiam. Tapi aku sendiri tak mengerti, entah mengapa separuh hatiku merasa menyesal telah berbicara seperti itu.

“Ko Thony, please…” ujarku kemudian dengan nada lemah, untuk mencairkan suasana di antara kami. “Sebelumnya saya mohon maaf. Saya ingin bicara sebentar. Saya nggak mengerti dengan sikap Ko Thony. Kemaren ini, Ko Thony bilang saya suka sama Ko Jo. Saya perempuan yang mengejar suami orang. Lalu ketika saya kemari dahulu dan kebetulan ditemani anak bos yang hanya sekedar ingin jalan-jalan ke peternakan, Ko Thony bilang saya punya pengawal pribadi, calon mantu boslah! Aduuh Ko Thony, besok apa lagi yang mau Ko Thony bilang sama saya, kalau saya kemari lagi dengan laki-laki yang lain lagi?”

“Tapi memang benar kan, Ernest calon suamimu?”

Aku menggigit bibir.

“Sudahlah, saya datang ke sini untuk urusan ayam, bukan yang lain!” ujarku kemudian sambil sibuk bekerja dengan laptopku.

***

“Bu, aku punya masalah,” akhirnya aku curhat melalui telpon dengan Ibu, setelah beberapa hari ini kucoba untuk memendamnya sendiri. “Ada anak bos di kantor yang menyukaiku dan ingin menikah denganku! Dia keturunan cina, usianya tujuh tahun lebih muda dariku. Orangnya baik, Bu, dan kelihatannya dia serius menyukaiku, Bu.”

Ibu terkekeh di seberang sana.

“Terserah kamu saja,” jawab Ibu dengan santainya dari seberang sana, yang terasa sejuk di telingaku. “Kamu yang akan menjalani hidup bersamanya, Val. Siapa pun pilihanmu, Ibu tidak masalah, yang penting kalian seiman atau paling tidak dia mau seiman denganmu, dan kalian saling mencintai sehingga bisa saling membahagiakan?”

Aku terdiam.

“Kamu juga mencintainya, Nduk?”

“Aku lebih merasa bahwa dia cocok jadi adikku, Bu.”

Ibu tertawa renyah.

“Ya sudah, bicara saja baik-baik dengannya. Katakan apa yang kamu rasakan sejujurnya. Meski pun memang kejujuran itu terasa pahit untuknya, namun itulah yang terbaik, Val.” Nasehat Ibu bak malaikat yang menjernihkan hatiku.

“Ibu percaya, kamu cukup bijak untuk menyelesaikan masalah ini, Val. Dan Ibu ingatkan lagi, yang terpenting pernikahan itu atas dasar cinta, bukan harta. Persamaan iman di antara kalian, juga akan melancarkan urusan dalam mendidik anak-anakmu kelak. Ibu percaya kamu akan mendapatkan laki-laki yang kamu cintai dan yang bertanggung jawab serta membahagiakanmu. Setiap malam Ibu selalu berdoa untuk kebahagianmu.”

Aku terharu.

“Ya sudah, Bu. Saya mengerti maksud Ibu. Terima kasih, Bu! Doakan saya agar mendapatkan laki-laki yang terbaik ya, Bu.”

“Ibu selalu mendoakan yang terbaik untuk anak-anak Ibu.”

“Salam untuk Bapak, Bu!”
(BERSAMBUNG KE BAG.5)

PEREMPUAN YANG SEMPURNA (Bag.3)

Semua peternakan yang kujadwalkan untuk kudatangi selama seminggu ini sudah kudatangi, kecuali satu, Bumi Java Farm! Aku enggan sekali untuk mengontrol ayam-ayam peternakan itu. Aku pun tak peduli, meskipun aku sudah punya janji untuk mengantar hasil asli pemeriksaan serologi tetelo yang sudah dikirim dari laboratorium virology Institute Pertanian Bogor.

“Val, tadi ada telepon dari Bumi Java Farm. Ko Thony tanya hasil asli tes darah ayamnya. Dia bilang kamu janji mau antar minggu ini!” Pak Agung menatapku ketika aku memasuki ruang meeting hari Sabtu ini.

“Oh ya?”

“Makanya jangan suka janji.”

“Saya memang janji mau ke sana. Hasilnya juga sudah ada dari Bogor. Hanya kemarin nggak sempat ke farm. Nanti sepulang kantor sajalah, saya ke sana.”

“Ya sudah, sekarang saja kamu ke sana.”

“Lalu saya nggak ikut meeting lagi hari Sabtu ini, Pak?”

“Nggak apa-apa. Kepuasan langganan lebih penting, Val.”

Aku menggigit bibir.

“Ya sudah, saya jalan langsung ke sana, Pak!”

“Oke!”
Kuseret kakiku keluar dari ruang meeting, setelah menyambar tasku. Kuturuni tangga menuju ruang bawah, sambil mengecek isi tasku, demi meyakinkan jika surat tes serologi dari laboratorium virology IPB ada di dalam tasku.

“Darr!”

Aku tersentak.

“Kalau turun dari tangga, jangan sibuk dengan isi tas, nona!” Ernest, anak Pak Anton Wijaya, yang hendak ke ruang atas tersenyum padaku. “Masak aku mau ditabrak?”

“Sorry, Ernest!”

“Forget it. Sudah mau pulang?”

“Boro-boro pulang, mau ke farm! Mesti antar surat ini nih!” aku mengeluarkan surat yang kucari-cari tadi dari dalam tasku, dan mengacung-acungkannya di udara, lalu memasukkannya kembali ke dalam tasku.

“Farm mana?”

“Bumi Java, di daerah Dandang dekat Serpong.”

“Ayo aku temani kalau begitu!”

“Hah?” mulutku ternganga. “Mau ikut?!”

“Iya. Boleh ‘kan, Val?”

“Ngapain ikut ke farm. Bau!”

“Enggak juga. Dulu aku juga sering ke kandang ayam di Serang, ikut papa. Udah lama juga aku nggak ke kandang nih. Boleh, ‘kan?”

Aku menggigit bibir. Mana mungkin aku melarang anak bosku? Tapi aku punya jurus lain untuk menolaknya.

“Tapi mobil kerjaku nggak sebersih mobilmu, Nest! Nanti kamu jijik dan kotor, gimana?”

Ernest menggeleng.

“Ngga apa-apa, atau kalau begitu pakai mobilku saja. Enak juga kita ke farm pakai Wrangler!”

“Jangan, nanti mobilmu kotor!” kukeluarkan jurus jitu yang lain.

“Kotor tinggal dicuci ke bengkel. Apa susahnya sih?” Ernest menatapku sambil menimang kunci kontak. Dasar anak orang kaya! Huh, susah juga bicara dengan anak bos yang satu ini!

“Tapi, nanti aku jadi merepotkanmu karena mesti ke kantor lagi buat ambil mobilku?”

“Aku nggak merasa direpotkan, kok?”

Skak! Aku kehabisan kata.

“Tunggu sebentar ya, Val! Aku mau ke atas dulu, ke ruang papa.”

“Oke.”

Aku menunggu di teras kantor, tak lama Ernest muncul kembali.

“Yuk!” ajaknya penuh semangat. Ditariknya tanganku agar aku cepat mengikutinya.

“Aku saja yang setir, Nest. Kamu ‘kan nggak tahu lokasinya.”

“Nggak usah, aku yang setir, aku tahu jalan ke arah Serpong, aku pernah main ke daerah sana, tapi kalau menuju daerah Dandang nanti kamu bilang saja ke kiri, lurus atau ke kanan, oke?!”

Aku mengangguk.

Tak lama Ernest sudah melarikan Wranglernya, menemaniku menuju Bumi Java Farm.
“Kamu termasuk hebat juga ya, tiap hari bawa mobil berkeliling ke peternakan. Nggak capek, Val?” Ernest menatapku sesaat, lalu menyalakan CD, terdengarlah alunan Phil Collins membawakan lagu ‘True Colour’, salah satu lagu yang dulu dipopulerkan oleh Cindy Lauper.

“Capek sih, ya namanya kerja Nest! Kamu sih enak ya, kerjanya duduk manis di kantor ber- ac!”

“Capek juga, Val. Kadang-kadang jenuh kalau kelamaan kerja di depan komputer.”

Aku tersenyum.

“Jadi sama saja ya, kerja memang capek. Kalau kamu mau nggak capek, sebetulnya ikut di perusahaan orangtuamu saja.”

“Mereka sih maunya aku seperti itu. Tapi aku nggak mau. Aku lebih suka cari kerja sendiri dan bukan dikasih usaha dari orangtua.”

Diam-diam aku kagum juga dengan pendirian anak muda yang satu ini. Ya, walaupun dia anak boss, anak orang kaya, tapi dia enggan memanfaatkan fasilitas usaha yang telah dibina orangtuanya.

“Buatku, orangtua ‘kan sudah cukup repot membiayai sekolah kita dari kecil, jadi ya masak kerja masih juga dibantu orangtua.” Tegasnya lagi. “Oh ya, kamu keberatan nggak nanti kita mampir dulu di Tamani Café di Plaza BSD, ini ‘kan sudah lewat jam makan siang, jadi lebih baik kita lunch di sana dulu?”

“Boleh saja. Tapi aku yang bayar, ya!”

“No. Aku yang ajak, jadi aku yang bayar!”

“As you wish-lah!”

Jam satu siang, kami meninggalkan Tamani Café. Kali ini aku yang mengemudikan Wrangler, itu pun setelah aku setengah mati memaksa Ernest untuk memberiku kesempatan membawa mobilnya.

“Beda ya, rasanya bawa mobil mahal!” komentarku, setelah membawa mobil itu keluar meninggalkan Plaza Bumi Serpong Damai.

“Ah, kamu bisa saja, Val!” Ernest tertawa.

“Swear!”

“Sebetulnya mobil seperti ini memang lebih pantas buat jalan ke peternakan.”

“Cuma, biaya operasionalnya tinggi!”

“Tepat.”

Setengah jam kemudian kami tiba di Bumi Java Farm. Seperti biasa, aku membunyikan klakson dan pintu gerbang peternakan itu langsung dibuka.

“Apa selalu langsung dibuka seperti ini, Val?”

“Iya. Mereka juga sudah kenal.”

“Bahaya juga, kalau tiba-tiba yang datang tujuannya mau merampok?”

“Mereka lihat dulu juga, yang datang sudah dikenal atau nggak.” Ujarku seraya membuka kaca di sampingku dan melambaikan tangan pada Pak Tirta yang membuka pintu.

“Eh, Mbak Val! Mobilnya bagus amat, Mbak?” Pak Tirta menyambutku.

Aku tersenyum.

“Terima kasih, Pak. Tapi ini bukan mobil saya, ini mobil beliau, Pak!” ujarku sambil menunjukkan jempol kiriku ke arah Ernest.

Pak Tirta mengangguk-angguk.

“Wah, calonnya Mbak Val, ya?”

Aku tertawa. Begitu pun Ernest.

“Pak Tirta! Ada-ada saja!” komentarku. Memang pantas aku pacaran dengan laki-laki yang tujuh tahun di bawah usiaku? Anak bosku lagi!

Mobil melaju lambat ke dalam halaman parkir peternakan, seperti biasa kami melewati kolam desinfeksi dan alat semprot desinfeksi mobil. Kuparkir Wrangler di depan kantor peternakan.

“Ayo turun, Nest!” ajakku setelah mematikan mesin, dan menyerahkan kunci kontak pada Ernest.

“Nggak apa-apa nih, aku ikut?”

“Nggak apa-apa. Atau mau kutinggal di sini?” kutatap Ernest lekat. “Ayo turun saja!”

Ernest mengangguk, lalu mengikutiku turun dari mobilnya.

Aku melangkah memasuki kantor peternakan.

“Ada Ko Thony, Mbak?” tanyaku pada Mbak Tuti.

“Eh, Mbak Val. Tumben hari Sabtu ke sini!” Mbak Tuti bangkit dari kursinya dan menghampiri kami. “Ko Thony ada di messnya.”

“Iya, kemaren-kemaren nggak sempet ke sini, jadi hari ini. Oh ya, kenalkan Mbak, ini anaknya bosku di kantor, kebetulan dia lagi pengen jalan ke farm, jadi ikut aku.” Aku menunjuk Ernest. “Ernest ini Mbak Tuti, bagian administrasi farm sini. Farm ini langganan obat dan vaksin dari kantor kita, semua program vaksinasi aku yang buatkan.”

Ernest serta merta bersalaman dengan Mbak Tuti. Senang aku melihatnya, meski dia anak orang kaya, tapi sama sekali tidak sombong dan mau berkenalan dengan pegawai peternakan.

“Tunggu ya, duduk dulu saja, saya mau panggilkan Ko Thony supaya ke kantor.”

“Apa nggak menganggu, Mbak? Kalau mengganggu, saya titip saja surat asli tes serologi darah ayam yang minggu lalu saya ambil.”

“Nggak, justru Ko Thony pesan kalau Mbak Val ke sini, dia minta dikasih tahu.”
“Begitu, ya? Ya sudah, saya tunggu di sini.”

Aku duduk menanti dengan sabar.

“Nest, sorry ya mesti nunggu dulu nih!”

“No problem, Val. Memang pekerjaan kamu harus begitu, namanya orang marketing memang mesti sabar. Pelanggan ‘kan raja!”

Tak lama kemudian Anthony muncul di ruang kantor ini. Matanya menatapku sesaat, kemudian menatap tajam pada Ernest yang duduk di sebelahku.

“Selamat sore Ko Thony!” aku langsung berdiri dan menyodorkan tangan kananku untuk menyalaminya.

“Sore!” balasnya dingin, dan tampak enggan membalas uluran tanganku, walau akhirnya ia membalasnya juga.

“Maaf ya Ko, saya mengganggu sore-sore begini ke sini, saya mau mengantar hasil asli tes serologi darah yang kemaren sudah saya janjikan.” Aku buru-buru memberikan amplop dari dalam tasku. “Hasilnyanya sih sama dengan copy yang kemarin saya kirim. Baik ya, Ko. Cuma ‘kan yang itu hanya copy yang saya buat dari email, sedangkan ini yang asli. Ya, kalau ada surat aslinya dari laboratorium Virologi IPB, kita ‘kan jadi yakin bahwa benar-benar ini hasil pemeriksaan dari laboratorium, bukan manipulasi kantor saya. Oh ya, apa ada keluhan dengan ayam di sini, Ko?”

Laki-laki itu menerima amplop yang kusodorkan.

“Ayam sehat-sehat saja sepertinya!”

“Syukurlah.” Aku tersenyum lega. Senangnya hatiku karena itu artinya aku tidak perlu ke kandang sore-sore begini untuk mengontrol ayam. “Oh ya, Ko, masih ingat Ernest kan, anak Ko Anton Wijaya, bos saya? Kebetulan dia tadi ingin ikut saya jalan-jalan ke peternakan. Aku menunjuk dan menoleh pada Ernest. “Ernest, ini Ko Anthony, pemilik peternakan yang menjadi pelanggan produk vaksin dan obat perusahaan papa, yang dulu ada juga di pernikahan anak Ko Agus Wijaya.”

Ernest bangkit dari duduknya dan menyalami Anthony dengan segera. Mereka bersalaman sesaat.

“Pantas tadi saya lihat kok ada mobil Wrangler masuk ke sini, tapi Tuti bilang dokter Val yang datang. Jadi dokter Val kali ini datang dengan pengawalan khusus dari perusahaan, ya?” laki-laki itu tersenyum sinis.

Mengapa nada bicaranya tak nyaman begini?

“Enggak juga, Ko.” Untunglah Ernest segera menjelaskan. “Kebetulan tadi saya ke kantor papa, eh ketemu Val, jadi ya….. iseng-iseng saja ikut jalan ke peternakan sama Val. Refreshing juga, sudah lama saya nggak ke peternakan, dulu sih sering main ke breeding farm papa di Serang, sekarang nggak sempat.”

Anthony hanya mengangguk-angguk lemah.

“Jadi ayam sehat-sehat saja, Ko? Nggak perlu saya tengok ke kandang?” tanyaku sekali lagi.

Anthony menggeleng.

“Nggak lah, ini ‘kan jelang malam minggu, jadi ayam-ayam juga tahu diri, nggak mau menyita malam minggu dokter hewannya!”

Aku mengernyitkan kening. Memikirkan nada bicara Anthony yang semakin aneh. Sementara Ernest hanya tersenyum simpul.

“Ya sudah kalau begitu, Ko Thony. Saya dan Ernest pamit dulu, Ko!”

Untuk kedua kalinya aku menyalami Anthony.

“Kalau ada apa-apa, telepon saja ke rumah atau ke handphone, Ko. Karena kalau komplain ke kantor, belum tentu saya ada di kantor!” ujarku sambil keluar meninggalkan kantor peternakan itu.

Anthony tak menjawab, sementara aku dan Ernest keluar dan menuju Wrangler yang terparkir di depan kantor.

“Mana kuncinya, Nest? Biar aku yang setir!”

“Enggak usah, aku saja yang setir. Aku ingat jalannya kok.”

Ernest melarikan Wranglernya meninggalkan peternakan ini. Aku sendiri hanya memerhatikan jalanan di depan sambil menikmati lagu-lagu Phil Collins yang mengalun.

“Kamu kenapa jadi pendiam, Val?”

“Nggak apa-apa. Cuma sedikit kesal sama…”

“Aku?” tembaknya. “Karena aku ikut kamu, dan mengganggu pertemuanmu dengan Ko Thony yang tampan tadi?”

Aku menoleh dan mengernyitkan keningku.

“Ya, ‘kan? Pantas, kamu mau sabtu sore-sore begini mengantar hasil tes tadi, rupanya karena yang punya peternakan itu tampan sekali.”

“Apa?” Aku mendelik. “Ih….!” Dengan gemas kucubit lengan anak bosku ini. Tak peduli dia menggeliat kesakitan, dan berteriak minta ampun agar kulepaskan. Aduuh, kenapa jadi ruwet begini sih? Dari nada bicaranya tadi, Anthony mengira aku ada hubungan khusus dengan Ernest, sementara kini Ernest mengira sebaliknya. Gila! Semuanya gila!

“Hayo….kamu suka sama Ko Thony, kan?”

“Suka sama Ko Thony?! Aduuh, Nest, asal kamu tahu saja, orang itu menyebalkan setengah mati!”

“Memang kenapa?”

“Ah, sudahlah, aku nggak mau menjelekkan orang. Cukup aku saja yang tahu.”

“Apa dia pernah menyinggung perasaanmu?”

Mendadak hatiku tersayat teringat prasangka buruk Anthony yang mengira aku menyukai Ko Johanes, kakaknya yang telah beristri itu.

“Yang jelas dia orang baru, Nest. Dan dia nggak seperti Ko Johanes yang baik hati, yang sebelumnya memimpin peternakan itu.”

“Barangkali dia suka sama kamu, Val! Kadangkala laki-laki kalau naksir perempuan, awalnya suka sengaja bikin kesal perempuan yang ditaksirnya!”

“Enggaklah Nest, memang dia nggak suka saja sama aku. Kamu tahu, sebetulnya aku malas antar hasil tes tadi ke sini, meskipun aku sudah janji padanya.” Aku jadi curhat. “Bukan apa-apa, karena dia suka nyinyir kalau bicara denganku. Sialnya tadi dia telepon ke kantor lagi, mana yang terima Pak Agung, jadinya aku ditegur Pak Agung, makanya aku jadi ke sini dan diijinkan untuk tidak ikut meeting hari ini.”

“Sabar, Val.” Ernest menepuk pundakku. “Tapi kalau aku perhatikan sih, dari sorot matanya aku merasa yakin kalau dia menyukai kamu, tetapi dia tidak tahu harus bagaimana untuk bisa dekat sama kamu. Jadi, ya…. mungkin saja dia cari-cari alasan supaya kamu yang datang ke peternakannya. Aku lihat matanya tadi seakan tidak suka kepadaku. Barangkali dia pikir, aku ini pacar kamu, Val.”

“Ah, itu ‘kan menurut pemikiranmu. Menurutku sih, dia memang menagih janjiku untuk mengantar hasil tes itu. Dan dia telpon ke kantor, supaya kantor tahu aku lalai pada janjiku. Aku pikir, barangkali dia senang kalau aku dipecat dari kantor.”

Ernest menoleh dan menatapku tajam sesaat.

“Jangan berpikir seperti itu.”

“Ah, kamu nggak kenal dia, Nest!”

“Memang kamu kenal dekat sama dia?”

“Nggak juga sih, tapi kenyataan yang kualami…”

“Jangan prasangka yang nggak-nggak dulu.” Ernest menenangkan emosiku. “Aku rasa dia cemburu tadi. Aku bisa tangkap kecemburuan di matanya saat aku bersamamu di sana.”

“Ah, kamu ini pintar mengada-ada!”

“Sungguh!”

Aku mencibir. Ernest tiba-tiba menghentikan mobilnya di tepi jalan dan membungkam Phil Collins yang mengalun. Aku tercengang-cengang.

“Ada apa?”

“Dengar,” ujarnya sambil menatapku lekat. “kalau dia menyukaimu, apa kamu juga akan menyukainya?”

“Apa?” tanyaku sambil tertawa.

“Aku serius. Kalau dia menyukaimu, apa kamu mau menerimanya?”

“Dia nggak menyukaiku, Ernest! Sudahlah, jangan berandai-andai. Yang pasti-pasti saja, hidup ini harus penuh dengan kepastian!”

“Oke, kalau begitu kali ini aku serius, aku nggak berandai-andai. Aku menyukaimu, mau menikah secepatnya sama kamu. Kamu mau?”

Blarr! Aku bagai kejatuhan meteor.

“What?”

“Aku menyukaimu, Val. Aku serius.”

Mulutku mendadak kaku. Laki-laki yang pintar bicara dan berusia tujuh tahun lebih muda dariku ini menatapku tak berkedip, menuntut jawabanku saat ini, sementara aku sendiri mati kata.

“A…aku, tak tahu harus jawab apa?”

“Kenapa? Cuma ‘ya atau tidak’, gampang kok?”

“Tapi…”

“Tapi apa lagi? Ada masalah lain yang harus dipertimbangkan tentang aku? Kurang apa sih aku? Aku laki-laki dewasa, normal, sudah punya pekerjaan, aku juga akan sanggup bertanggung jawab mengurusmu, meskipun usiaku jauh lebih muda dari kamu, Val. Orangtuaku juga memberiku kebebasan untuk memilih calon istriku. Kamu tahu, papa juga sudah tahu kalau aku menyukaimu! Aku sudah sering mengatakan hal ini pada papa, dan dia juga nggak keberatan dengan keinginanku ini. Orangtuaku memang orang cina, Val, tapi mereka sudah berpikiran moderen, tidak memaksakan bahwa anak-anaknya harus menikah dengan sesama keturunan cina.” Ernest nyerocos bersemangat. “So?”

Aku terdiam, memandang jauh ke depan.

“Kamu mau ‘kan menerima cintaku?” Ernest menggenggam jemari kananku.

“Aduh….Nest. I don’t know, aku nggak bisa jawab, Nest.”

“Atau barangkali kamu lebih menyukai Anthony yang lebih tampan dari aku, ya?”

“Jangan bawa-bawa dia!” Aku menarik jemariku dari genggamannya.

“Sesungguhnya, aku ingin sekali kamu jawab ‘ya’ sekarang ini. Karena aku sungguh-sungguh mencintaimu, Val. Mungkin kamu berpikir, aku anak kecil karena aku lebih muda dari kamu, tapi usia bukanlah standar yang pasti. Banyak kok, istri-istri yang bersuami laki-laki yang sudah berumur, tapi justru laki-laki itu tidak bertanggung jawab pada keluarganya.”

Aku menjadi semakin bingung. Menggaruk kepalaku yang sesungguhnya tidak gatal, sambil menoleh untuk menatap wajah putra sulung big bosku yang duduk di sampingku ini, yang tampak kecewa karena aku tak sanggup memberikan keputusan.

“Ernest, aku senang kamu menyukaiku, tapi….”

“Kenapa?” potongnya cepat.

“Karena…”

“Orangtuamu melarang kamu dapat suami orang keturunan cina?”

Aku menggeleng pelan, “Rasanya nggak seperti itu, hanya saja di dalam keluarga maupun saudara dekatku, memang belum pernah ada yang menikah dengan orang keturunan cina.”

Ernest terdiam, sementara aku membunyikan persendian jemari tanganku, habis yang kiri lalu yang kanan. Ingin aku mengatakan yang sejujurnya bahwa aku hanya menganggap dia seperti adikku sendiri, tapi aku tak sampai hati mengecewakan anak big bosku ini.

“Sudahlah, masih banyak perempuan lain yang lebih baik dari aku, dan lebih pantas untukmu, Nest.” Tandasku hati-hati kemudian.

“Klise!”

Aku menarik nafas dalam.

“Ernest, apa sih yang kamu harapkan dari aku? Aku hanya perempuan biasa, dan usiaku juga sudah lewat kepala tiga?”

“Selalu saja umur! Persetan dengan umur!”

“Ernest…”

“Val, bilang saja kalau kamu mencintai laki-laki lain, dan aku akan berhenti mencintaimu. Jujurlah, dengar suara hati nuranimu!”

Lidahku kaku. Anak ini memang benar-benar pintar sekali bicara!

“Ya sudah, kalau itu maumu. Kini kukatakan ‘aku menyukai laki-laki yang lain’! Selesai, kan?”

“Siapa?! Anthony?”

Aku tak menjawab. Tapi jantungku terus terang berdebar amat kencang. Sesaat aku jadi teringat wajah tampan laki-laki keturunan cina yang malam-malam setelah pesta pernikahan anak Ko Agus Wijaya itu datang ke rumah kosku.

“Benar, Anthony, kan?” desaknya lagi, matanya menatapku tajam.

“Kenapa kamu berpikir aku menyukai dia?” balikku.

“Karena aku terlalu mencintaimu, maka aku bisa merasakan hatimu!”

Aku menggigit bibirku. Uh, jago ngomong!

“Dia Anthony, kan?” desaknya lagi.

“Sudahlah, aku ingin pulang, Nest!”

Ernest menatapku sesaat, lalu menjalankan Wranglernya kembali. Aku masih saja menggigit bibir. Ah, semestinya aku mensyukuri kepastian cinta dari seorang lelaki yang sudah di depan mata dan menjanjikan kebahagiaan ini, dengan menerimanya menjadi kekasihku, menjadi suamiku. Bukankah itu yang dapat membuatku menjadi seorang perempuan yang sempurna, seperti yang telah lama kuinginkan? Ya Tuhan, haruskah aku mendustai hati nurani ini, hati nuraniku yang tidak mencintainya??
(BERSAMBUNG KE BAG.4)