Kamis, 08 Juli 2010

DILEMA CINTA GIRINDRA

Suara Whitney Houston yang luar biasa indah itu terdengar membawakan All At Once di sebuah radio yang tengah diputar Maira di kamar kos kami Minggu malam ini. Aku yang tengah tengkurap berkutat dengan diktat Ilmu Bedah di tempat tidurku mendadak terdiam. Kurasakan perlahan air mataku menggenang. Mau tak mau lagu itu membuat ingatanku sesaat terbang ke perasaan yang paling menyedihkan di sepanjang hidupku, yang terjadi ketika aku pulang ke rumahku di Jakarta hari Sabtu yang lalu dan bertemu Aisya kakakku yang tiba-tiba menyerangku tak karuan.

“Kamu jangan begitu dong, Ndra. Yang kenal dulu dengan Ageng kan aku!” protes Aisya kakakku yang hanya berbeda usia tiga tahun denganku itu. “Aku nggak suka Ageng jalan sama aku, tapi selalu menanyakanmu, mengorek-ngorek apa kesukaan dan kebiasaanmu.”

“Maksudmu apa sih, Sya?” Aku tak mengerti dengan sewot yang tiba-tiba dimuntahkan Aisya saat itu.

“Jangan pura-pura nggak tahu, Ageng menyukaimu.”

Mulutku ternganga. Ageng menyukaiku? Sungguhkah? Sungguhkah cowok sahabat Raditya kakakku itu, menyukai aku yang tidak cantik pula berkulit hitam dan bertubuh kurus ini? Ah…mustahil!

“Dia juga tanya apa kamu sudah punya pacar waktu tadi kuajak menonton pameran buku di Senayan. Tentu saja kubilang ‘sudah’, bukankah si Wisnu Wardhana, temanmu yang melanjutkan kuliah S2 di Australia, itu naksir kamu, kan?”

Lidahku tercekat.

“Jadi…?”

“Ya! Aku bilang kamu sudah punya pacar anak S2. Biar saja, biar dia nggak jadi menyukaimu, karena aku menyukainya!”

Aku menggigit bibir.

“Tapi sialnya, rasanya Ageng bukan type laki-laki yang mudah percaya.” Aisya mengomel lagi. “Dia malah membeli beberapa buku, dan buku yang dibelinya itu dititipkannya padaku untuk diberikan padamu. Nih!” Aisya melempar tas kantung dari kertas berisi sejumlah buku ke pangkuanku.

Aku tersentak.

“Kamu memang raja tega, Ndra! Bahkan kekasih kakakmu sendiri, tega kaucuri!”

Aku ternganga.

“Sya, jangan bicara begitu. Aku tak tahu menahu jika Ageng menyukaiku, aku pun tak pernah bertemu dengannya. Kau kan tahu sendiri, aku sibuk kuliah di Bogor, jarang pulang ke Jakarta, mana mungkin aku ketemu dia. Aku tahu dia juga cuma melihat dari fotonya waktu wisuda bersama Raditya. Aku juga tahu, Raditya ingin menjodohkan dirimu dengannya, makanya dia mengajakmu di acara wisudanya, bukan aku.” Tegasku lagi. “Lagi pula, aku juga tak menyukainya!” dustaku, demi menjaga hati Aisya tentu saja.

“Ah…munafik! Pasti kamu titip salam pada Raditya untuk Ageng setelah melihat fotonya karena kamu naksir dia kan, sehingga Ageng sering menyebut namamu setelah Raditya menyampaikan salammu untuknya!”

“Ya…ampun, Sya! Sungguh, aku nggak kenal, nggak pernah titip salam juga untuknya pada Raditya. Jangan berpikiran begitu dong!”

“Lantas dari mana dia tahu dirimu?”

“Aku tak tahu! Kenapa kau tak tanya sendiri padanya?”

“Hey…kenapa ribut sih?” tiba-tiba Raditya yang baru pulang kantor mengagetkan kami.

“Itu Dit, si Aisya, curiga aku merebut Ageng yang ditaksirnya! Padahal aku nggak pernah ketemu Ageng!” Protesku kesal.

Raditya tersenyum.

“Sebenarnya sih Ageng memang naksir kamu, Ndra! Dia lihat fotomu yang kubawa saat jaman kuliah di ITB dulu, dan dia sudah lama ingin mengenalmu, cuma rasanya aku lebih suka jika dia sama Aisya. Umurmu terlalu beda jauh untuk jadi kekasih Ageng. Tujuh tahun, rasanya ketuaan bagi Ageng buat jadi pacarmu, Ndra!” Raditya menaruh pantatnya di sofa. “Makanya kukenalkan saja dia pada Aisya. Jadi walau nggak sama kamu, masih dapat adikku juga!”

“Tuh kan, aku innocent, Sya! Dia yang tahu diriku sendiri, bukan aku yang ingin mengenalnya! Cemburu sih cemburu tapi jangan asal tuduh dong!” ujarku sambil ngeloyor ke kamarku malam minggu itu, tentu saja sambil membawa tas berisi buku yang dibelikan Ageng dan dilempar Aisya padaku tadi. Tak baik menolak rejeki, kan?

Di kamar, kunikmati buku-buku pemberian Ageng tadi. Aku bahagia sekali membaca bermacam buku puisi karya pengarang terkenal yang dibelinya untukku.

Detik itulah, aku baru memiliki rasa percaya diri bahwa secara fisik diriku tak lebih buruk dari Aisya walau aku memang jauh lebih hitam dan kurus, sementara Aisya cantik, putih dan tinggi semampai. Ya, sikap ketertarikan Ageng padaku benar-benar menumbuhkan rasa percaya diriku bahwa secara fisik aku tak seburuk yang selama ini selalu kutanamkan dalam benakku.

Tiba-tiba suara bel berdering nyaring berkali-kali. Aku keluar dari kamarku, sambil bersiul membawakan Once Upon A Time-nya Earl Klugh yang amat kusuka.

Serta merta kubuka pintu ruang tamu.

“Selamat malam!” seorang cowok, tersenyum dan menatapku tak berkedip.

Mulutku ternganga. Ageng! Ya, aku ingat, aku ingat benar wajahnya persis seperti fotonya ketika saat wisuda dulu, yang kulihat di album foto wisuda sarjana milik Raditya.

“Selamat malam.”

“Pasti kamu yang namanya Girindra, ya?” tanyanya dengan tatap yang masih saja terarah tepat di bola mataku.

Aku mengangguk. Jantungku mendadak berdebur kencang. Kualihkan mataku ketika mata kami beradu.

“Aku Ageng, sobat Raditya.” Tangannya terulur ramah padaku. Aku membalasnya tanpa berani menatapnya. “Raditya banyak cerita tentang kamu. Tumben ada di Jakarta? Lagi pulang?”

Aku hanya mengangguk dan lalu menunduk lagi. Aku takut benar jika cowok harapan Aisya ini, tahu isi hatiku, bahwa sesungguhnya aku pun menyukainya.

“Ya, kebetulan lagi ingin pulang ke rumah, bosan di tempat kos.” tambahku masih tanpa menatapnya. “Ayo masuk! Mau ketemu Raditya?” Aku hendak berbalik, namun tangannya menyergahku.

“Bukan! Aku mau ketemu kamu!”

What?!” Aku terkaget-kaget. “Aku?”

Cowok di hadapanku itu tersenyum dan mengangguk.

“Kamu lucu, Ndra! Very innocent!”

Mendadak hatiku resah, dan semakin bertambah resah tatkala tiba-tiba Aisya muncul.

“Hey, Ageng! Sudah lama, ya?”

“Nggak, baru saja!” Ageng menatap Aisya sesaat, “Oh ya, Sya, tadi aku beli buku buat Girindra sudah…”

“Sudah!” potongku seketika. “Terima kasih, ya! Aku suka bukunya. Sudah ya, aku ke dalam. Itu sudah ada Aisya, kan! Dia yang akan menemanimu.” pamitku seraya hendak ke dalam.

“Tunggu, Ndra…” Ageng melarangku ke dalam. “Ngobrol dulu di sini saja!”

Aku menggeleng.

“Aku harus belajar, Senin ada ujian!” dustaku dengan hati perih, karena terpaksa menekan rasa keinginanku yang sesungguhnya masih ingin bisa berbicara bersamanya, menikmati wajahnya yang menawan hatiku itu.

Aku melenggang ke dalam, membuat Aisya tersenyum bahagia, dan melambaikan tangannya padaku, sempat kulihat wajah Ageng yang tampak kecewa, tapi aku tak punya pilihan sama sekali. Aku sangat mencintai Aisya dan tak ingin menyakitinya, walau apa yang kulakukan sesungguhnya teramat menyakitkan hatiku.

Di kamarku, kuhabiskan malam mingguku untuk membaca buku-buku puisi yang diberikan Ageng, hingga akhirnya pukul sepuluh malam Aisya menyerbu masuk ke kamarku.

“Ndra! Awas ya, kalau besok-besok kamu menemui dia lagi! Aku nggak suka! Kamu nggak usah pulang ke Jakarta kalau perlu, sampai nanti kalau aku sudah jadian dengannya!”

Aku tersentak. Akankah kelak Ageng menyukai Aisya? Oh…

Minggu siangnya, aku melangkahkan kakiku ke depan kompleks perumahan. Budi baik Raditya yang akan mengantarkanku ke tempat kosku di Bogor kutolak mentah-mentah. Entahlah, aku memang sedang ingin menyendiri dan ‘menyiksa diri’ saat ini, saat kutahu aku memiliki rasa yang sama seperti Aisya terhadap Ageng, namun bedanya aku tak mungkin menggapainya, sementara Aisya sebaliknya.

Sebuah mobil yang masuk kompleks perumahanku tiba-tiba mengklaksoniku di depan pintu kompleks perumahan ini, bahkan berhenti tepat di depanku. Aku terkaget-kaget. Ageng, pengemudinya cepat berlari turun dan memburuku.

“Mau ke mana, Ndra?”

“Ageng? Aku mau ke terminal, mau cari kendaraan, hari ini aku mau pulang ke tempat kos, ke Darmaga di Bogor!”

“Aku antar, ya?”

Aku menggeleng.

“Nggak usah. Aku biasa jalan sendiri.”

“Nggak apa-apa! Ayolah!” Ageng sedikit memaksaku.

Aku menggeleng.

“Jangan, Ageng. Nanti ada yang cemburu padaku.”

“Apa? Cemburu? Siapa?”

Aku terdiam sejenak. Ragu untuk mengutarakannya, namun entah mengapa tiba-tiba saja mulutku…

“Aisya! Dia mencintai dan mengharapkanmu!”

Ageng terbelalak.

“Tapi aku menyukaimu!”

Aku menatapnya lekat. Dan dengan hati hancur kukuatkan mulutku untuk menegaskan lagi dengan kalimatku selanjutnya,

“Dia sangat mencintaimu, Ageng. Aku pun berharap kamu kelak bisa menjadi kakak iparku!”

Ageng terdiam. Aku sendiri menghapus dahiku yang mulai berkeringat karena tersengat matahari siang bolong ini.

“Sudah ya, aku jalan dulu. Sampai ketemu lagi, dan terima kasih atas buku-buku puisi yang kauberikan untukku.” Ujarku sambil buru-buru melangkah pergi, aku tak ingin ia mencium kesedihanku.

Sempat kulihat Ageng menatapku nanar. Tentu saja aku tak mampu menganalisa apa arti di balik tatapnya padaku itu. Mungkinkah dia terluka dengan ucapanku, di kala ia sendiri juga menyukaiku? Ah…Ageng, kalau saja kamu tahu, bahwa aku lebih terluka lagi dengan ucapanku tadi!

Handphoneku berdering nyaring tepat pukul sebelas malam, membuyarkan lamunanku. Aisya menghubungiku, aku tahu dari tulisan di layar handphoneku. Aduuuh, kemarahan apa lagi yang akan dimuntahkannya padaku malam ini? Bukankah aku tak memberikan kesempatan sedikitpun pada diriku, yang sesungguhnya menyukai Ageng, untuk mengganggu pertemanannya dengan sahabat Raditya itu, meski laki-laki itu juga menyukaiku?

“Halo, ada apa lagi, Sya?” sambutku setelah memijit tombol bicara.

“Ndra! Akhirnya malam ini aku jadian sama Ageng!”

Blaarrrr! Jantungku bagai tertimpa meteor dari atas langit sana malam ini.

“Waaaah…selamat, ya!” ujarku dengan air mata berlinang. Entahlah, tiba-tiba saja aku merasa sedih mendengar suara sejuta kebahagiaan dari Aisya di Jakarta sana!

“Maafkan aku ya, Ndra. Ternyata aku salah menduga padamu, aku sempat benci padamu karena Ageng membelikan buku-buku puisi hanya untukmu. Kini aku tahu pasti, dia mencintaiku seperti aku mencintainya.”

“Lupakan, Sya!”

“Oke, selamat tidur, Ndra!”

“Bye, Sya!”

Aku menggigit bibir, sambil mematikan tombol bicara handphone. Dari pembaringanku, kutatap sedih buku-buku puisi pemberian Ageng yang berserakan di mejaku. Sementara itu masih kudengar suara Whitney Houston membawakan lagu All At Once, lagu melankolis yang kini semakin membuat butir-butir air mataku menggelinding, dan terus menerus menggelinding.

Inilah saat terperih dalam hidupku. Saat aku harus mengenyahkan rasa cinta dari hatiku, demi kebahagiaan seorang Aisya! Biarlah…biarlah kusimpan rahasia cintaku ini, hingga tak kan seorang pun tahu bahwa sesungguhnya aku mencintai Ageng yang menyukaiku namun dicintai Aisya! Aku cukup bahagia, bisa memiliki dan menyimpan buku-buku puisi pemberiannya. Aku cukup bahagia, karena aku tahu sesungguhnya dia pun menyukaiku, walau aku tak mungkin membalas cintanya.

SELESAI

Cerita ini dimuat sebagai cerita utama pada majalah Say! Edisi 07 Juni 2010

1 komentar: