Kamis, 08 Juli 2010

Di UJUNG MALAM DI PUNCAK SHANGRI-LA

Hebohnya berita perselingkuhan suamiku dengan Rininta, sahabatku, membuatku bagai disambar petir di siang bolong. Aku benar-benar muak melihat dan mendengar berita, yang menurutku sama sekali jauh dari kebenaran itu, menyebar ke mana-mana dengan mudahnya melalui majalah, tabloid, harian, radio, tv, bahkan juga di internet. Gila! Mana mungkin Gade berbuat sekeji itu padaku! Umpatku sambil meninju telapak kiriku dengan tangan kananku.

Kuintip pemandangan di depan gerbang pintu masuk rumahku dari balik tirai jendela kamarku. Beberapa mobil dan motor berhenti di sana. Tampak pula Wilopo, satpam rumahku, yang sedang menggeleng-geleng pada beberapa orang yang mengerumuninya, yang sudah pasti para pemburu berita yang ingin mencari informasi ke rumah ini. Untung saja aku sudah menyuruhnya agar selalu menjawab ‘tidak tahu’.

Aku menghela napas dalam, jantungku berdebar kencang. Aku tak mengerti, mengapa tiba-tiba saja para kuli tinta itu bisa memaparkan berita ‘bodoh’ bahwa suamiku sudah menikah siri di Palembang dengan Rininta, - sahabatku sekaligus perempuan yang kupercaya menjadi penyanyi latar grup band suamiku. Aku yakin seribu persen, Rininta tak akan senekat itu menyakitiku. Bukankah dulu aku yang mendesak Gade, suamiku, untuk menolongnya menjadikan dia sebagai penyanyi latar di saat ia kehilangan suaminya karena suatu kecelakaan pesawat terbang? Jadi tidaklah mungkin janda satu anak itu tega menusukku dari belakang setelah segala yang kulakukan untuk membantunya bangkit lagi dari kedukaan dan kesulitannya menghadapi hidup ini.

“Yang paling penting, kan Gade tidak berbuat itu, Rene? Kamu sudah konfirmasi sama Gade, kan?” Tiara, managerku, mengelus pundakku.

“Ah, kamu tahu sendiri sifat Gade. Nanti aku tanya, dia malah mengomel, mengapa aku lebih percaya gosip?”

“Ya susah juga kalau begitu, kan kalian harus bicara supaya jika suatu kali ada pers tanya, kalian bisa jawab dengan kompak dan lugas, meskipun kalian tidak berada di tempat yang sama. Tidak seperti ini, kamu terpaksa sembunyi dari pers, karena tak tahu apa-apa.”

“Aku malas mau konfirmasi dengan Gade, mana dia lagi di luar kota. Bicara via telpon kayaknya kok malah nanti makin runyam rasanya. Kadang-kadang aku juga suka emosi, kan?”

“Sebaiknya kamu bicara empat mata dengan Gade, setelah dia pulang nanti.”

“Yah… dua hari lagi dong!” keluhku. “Sementara itu aku harus terus menyuruh satpamku bilang ‘aku nggak ada di tempat’ , begitu?”

“Untuk sementara, itu pilihan terbaik, Rene!”

“Untung aku nggak ada job sampai dua minggu depan.”

Tiara mengangguk-angguk, lalu menepuk pundakku.

“Ya sudah, aku jalan dulu ya. Mumpung di depan sudah sepi!” ujarnya sambil melongok jendela.

“Keep on silence, ya Tiar!” aku memeluknya sambil menitikkan air mata. Aku tiba-tiba merasa teramat sedih, karena managerku ini hendak pergi, sementara aku seorang diri di rumah ini, dan bingung memikirkan masalah besar kemelut gossip rumah tanggaku yang belum pasti kebenarannya, tetapi ada beberapa bukti yang mendukung sehingga seakan-akan benar adanya.

“Jangan kuatir aku nggak akan bicara sama pers. Percayalah. Hidupku kan dari kamu juga, Rene.”

“Thanks, Mam!”

Aku mengantarnya hingga ke mulut pintu kamar, lalu segera masuk ke kamar lagi.

Pukul dua belas malam, handphone-ku berdering nyaring. Nyaris saja membangunkan Eliana anak tunggalku yang tengah tidur di kamarku. Kuangkat handphone di samping bantalku.

“Hallo, Gade? Ada apa?”

“Sudah tidur, Rene?”

“Mana mungkin aku bisa tidur! Kamu baru selesai manggung?”

“He eh.”

“Kamu udah dengar…”

“Berita itu?” Gade langsung saja memotong. “Biar saja, toh…”

“Tapi berita itu tidak benar, kan?” pertanyaan yang sudah kucoba kutahan untuk tidak kuucapkan itu tiba-tiba meluncur begitu saja dari lubang mulutku. Hatiku mendadak ketakutan sendiri, takut jika Gade berbalik marah kepadaku.

“Kita bicarakan saja besok, kalau aku sudah di rumah.”

“Memang kenapa kalau kita bicara di telpon sekarang?”

“Sudahlah, aku cuma menelepon untuk mengecek apa kamu dan Eliana baik-baik di rumah.”

“Lalu, bagaimana kalau pers..?”

“Sudah diam saja sementara di rumah, sampai aku pulang. Aku mau menjelaskan segalanya nanti.”

Aku menggigit bibir. Mencoba untuk menahan emosi.

“Ya sudah.”

“Kamu baik-baik di rumah ya, Rene!”

“Thanks, I love you, Gade. Always.”

“Bye, Rene.”

Telepon sudah kututup, tapi aku tetap tak mampu memejamkan mataku. Kulangkahkan kakiku menuju studio musikku. Kucoba ciptakan sebuah tembang baru di sana.

***

“Jadi,… benar?!” tanyaku lirih dengan mulut ternganga-nganga, ketika Gade berbicara empat mata denganku, di dalam studio musik kami.

Gade menaikkan alisnya sebagai jawaban ‘ya’.

Air mataku tumpah, aku menangis sejadi-jadinya. Kusasarkan tinjuku ke dada Gade berkali-kali.

“Kenapa Gade? Kenapa kamu tega? Apa kekuranganku?” tanyaku tersengal-sengal.

“Aku tak tahu, itu terjadi begitu saja… , mungkin karena kami sering bersama, dan dia begitu manis di mataku.”

Hah? Jadi, Rininta begitu manis di mata suamiku?! Aku mengepalkan kedua tanganku dan memukuli kepalaku sekuat-kuatnya kini. Gade berusaha menahan tanganku.

“Kamu tidak kurang apa pun, Rene. Kamu perempuan yang berjiwa mandiri, istri dan ibu yang sempurna. Aku saja yang brengsek. Aku laki-laki yang rakus, yang tidak bisa memegang komitmen seperti kamu. Laki-laki yang tidak bisa mengekang nafsu kelakianku!”

Aku makin menangis sejadi-jadinya, semua kejujurannya itu benar-benar menghujam dan mencabik-cabik perasaanku malam ini, hingga aku merasa menjadi perempuan yang sama sekali tak bernilai lagi. Bagaimana tidak? Aku amat dan hanya mencintai Gade suamiku, apa pun yang selalu dia inginkan selalu kuturuti, termasuk membatasi kegiatan showku di luar kota.

Gade mencoba merengkuh pundakku, menenangkanku, tapi kusibakkan tangannya. Jijik aku dipegang olehnya saat ini. Aku tak sudi disentuhnya barang sekelebat pun. Tidak!

Aku berlari menuju kamar tamu, dan membanting pintu studio musik kami. Di pembaringan kulepas lagi tangisku sejadi-jadinya. Hingga akhirnya Gade datang menghampiriku.

“Aku berusaha jujur, Rene. Meskipun jujur itu amat menyakitkanmu.” Ujarnya perlahan. “Aku bisa saja berbohong untuk menyenangkan dan menenangkanmu, tapi aku tak mau melakukan itu. Tolong hargai kejujuranku,” tandasnya lagi dengan nada yang mulai menunjukkan kekesalannya atas sikapku yang tak bisa mengerti akan kesalahannya.

Bagaimana aku bisa mengerti? Perempuan mana sih yang mau suaminya menjadi milik bersama dengan perempuan lain?!

“Kalau kamu jujur, semestinya akulah orang yang pertama tahu, bahwa kamu berbuat ini. Bukan pers!” bantahku sambil menghapus pipiku yang basah. “Kamu kan tahu, kalau pria sudah beristri, kalau mau menikah lagi, itu kan harus seijin istrinya!”

“Oke, aku sudah mengaku salah, kan? Dan aku minta maaf. Sekarang maumu apa? Pertengkaran ini nggak akan ada habisnya, Rene!” nada Gade mulai meninggi, yang menurutku sangat tidak lucu. Dia yang bersalah. Aku membenci kesalahannya, tapi kenapa dia yang marah padaku? Lalu, jika dia mengaku salah dan minta maaf, apa masalah ini menjadi selesai? Dia benar-benar tidak memikirkan perasaanku, pun tidak memikirkan betapa sulitnya aku harus menata kembali hatiku, hidupku atas kejadian memalukan ini!

“Aku tidak mau hubunganmu dengan Rininta berlanjut! Itu mauku!” tegasku kemudian, “Atau, kita cerai!”

Gade terbungkam.

“Baik! Aku memang sudah mengakhiri hubunganku dengan Rininta, karena aku tidak mau kita bercerai!” Gade duduk di sampingku. Aku masih saja berurai air mata. “Tapi aku minta tolong, kamu untuk menutupi keadaan ini pada pers.”

“Hm, menutupi pengkhianatanmu pada perkawinan kita?! Enak sekali? Kamu yang makan nangkanya, tapi aku harus ikut kena getahnya!”

“Lantas, kamu mau semua orang tahu, bahwa aku memang benar menikah siri dengan Rininta, begitu?”

Aku langsung terbungkam, walau gejolak api amarah di hatiku belum padam.

“Kamu pikir, perempuan jalang itu juga bisa mengunci mulutnya?!” omelku kesal. “Kenapa harus aku yang menutupi perbuatanmu, bagaimana dengan perempuan itu? Apa dia..”

“Dia sudah pasti akan membantah kebenaran yang ada.” Potongnya cepat. “Dia berjanji untuk itu, Ren. Percayalah padaku. Dia juga merasa nggak enak padamu dengan kejadian ini.”

“Huh! Kenapa dia sendiri membiarkan dirinya masuk dalam situasi ini? Kalau saja dia menghargaiku, tentu dia tidak akan mencuri suamiku!”

“Sudahlah Rene, persoalan ini tidak akan ada habisnya. Yang mesti kita pikirkan adalah bagaimana ke depannya, bagaimana kita menghadapi pers, dan bagaimana kita berbicara baik-baik pada Rininta untuk berhenti dari background vokal grup musikku, dan bagaimana kita bisa membina rumah tangga ini lagi dari awal.”

“Persetan kamu, Gade!”

Gade diam saja. Aku tahu dia tak berani, karena kali ini dia memang sedang terperosok dalam lubang masalah yang ia gali sendiri, yang membuatnya dalam posisi lemah dan kalah.

Aku menghapus sisa air mata yang menyumbat hidungku.

“Bagaimana, Rene? Aku sudah siapkan rencana seperti ini…” Gade menggaruk rambutnya sebentar. “Pertama, kita tetap menyangkal pada pers akan semua kebenaran, semua bukti yang pers punya, mengenai perkawinan siriku dengan Rininta. Kedua, aku akan atur Rininta untuk menjadi penyanyi kelompok vokal baru, jadi dia tidak akan bersamaku lagi. Yang terpenting, dia tetap bisa mencari nafkah untuk keluarganya, dan aku tidak ada kaitan lagi dengannya, karena otomatis dia tidak setim denganku. Ketiga, aku memohon padamu kalau bisa, mulai sekarang kamu menjadi managerku. Jadi, kuminta kamu menghentikan semua kegiatanmu sebagai penyanyi solo, karena terus terang aku kesepian karena kamu terlalu sibuk dengan segala kegiatanmu selama ini mulai dari tour album, temu fans, bahkan kontrak iklan. Kamu tahu, salah satu penyebab mengapa aku tergoda Rininta, adalah karena aku lebih banyak bersama dengannya sementara kamu sibuk dengan urusan panggungmu sendiri.”

Aku menggigit bibir.

“Kenapa ujung-ujungnya kesibukanku yang dijadikan kambing hitam perkawinan sirimu? Kamu yang tidak bisa mengekang nafsu kelakianmu, Gade! Lagi pula, bukankah dari dulu aku sudah mengurangi kesibukanku, sesuai keinginanmu?”

“Ya, tapi aku ingin lebih banyak bisa bersamamu, Rene. Aku ingin setiap aku tour, kamu mendampingiku. Jika mungkin kita ajak Eliana. Meskipun cuma hanya di hotel, aku ingin kita tak pernah menyia-nyiakan waktu kita untuk bersama. Kamu nggak perlu mengkuatirkan masalah ekonomi, bukankah selama ini aku menjamin kamu tidak pernah berkekurangan, kan? Rumah beserta isinya yang aku bangun dari nol untukmu, mobil pribadimu, kendaraan untuk antar jemput Eliana, semuanya.”

“Aku tahu. Tapi tahukah kamu, bahwa kebahagiaan itu, bukan hanya dari materi pemberianmu semata, Gade? Aku juga ingin punya karir yang bisa kubanggakan, meskipun aku tak sehebat kamu! Dan, itu kuperoleh dari karir menyanyiku, lagu-lagu ciptaanku.”

“Tapi aku kan bisa menafkahimu, Rene! Apa pun kebutuhanmu tinggal bilang, kenapa kamu harus bersusah payah menjual suaramu, terbang dari satu kota ke kota lain, meninggalkan aku dan Eliana? Kamu juga masih bisa populer kok, dengan karir yang lain, yang tak terlalu menyita waktumu. Menjadi pencipta lagu, misalnya. Itu juga hebat! Aku pastikan aku jadi orang pertama untuk mempopulerkan lagu-lagu ciptaanmu. Kebetulan aku mau buat grup vokal baru, dan kupikir lagu ciptaanmu bisa mereka populerkan, Rene.”

“Tapi..”

“Tunggu dulu, jangan potong, aku belum selesai bicara!” Gade sedikit membentak. “Dengar, kalau kamu full hanya sebagai pencipta lagu, otomatis kamu masih punya waktu luang yang lebih banyak untuk Eliana, disamping menjadi managerku.”

Aku mencengkeram geraham. Kesal. Bagaimana tidak? Sudah dia yang melanggar komitmen perkawinan kami, aku pula yang dipersalahkan, dan buntutnya aku pula yang harus membunuh karirku sebagai penyanyi solo yang sedang naik daun. Sinting, bukan? Jadi beginikah ego seorang suami? Sungguh tidak adil!

Tidakkah dia berpikir, bahwa aib dan kesalahan yang ia perbuat ini, semestinya tidak perlu terjadi, jika ia punya tanggung jawab moral selaku seorang suami, seorang ayah, untuk selalu menjaga kesucian bahtera perkawinan kami? Itu saja, kan? Sederhana!

“Bagaimana, Rene?”

“Untuk rencana yang ketiga, aku tidak setuju!” ujarku tegas.

“Kenapa? Karena kamu masih ingin menjadi penyanyi?”

“Kalau ya, apa itu dosa?! Menjadi penyanyi tidak lebih nista dari pengkhianatanmu?!”

Gade tak berkomentar. Skak mat! Batinku.

Dia menghela napas dalam.

“Dengar Gade, aku tidak setuju, pertama karena aku tidak mau menjadi managermu. Bukan apa-apa, itu semata-mata karena aku tidak tahu dan tidak pernah menguasai bidang itu. Aku ingin apa pun yang kuperbuat harus profesional. Kedua, karena aku tetap ingin menjadi penyanyi. Itu adalah anugerah indah yang Tuhan berikan padaku.”

Gade lama membisu.

“Kalau gara-gara aku menyanyi dan kamu mau menceraikanku, silakan saja. Yang jelas aku tidak mau meninggalkan karirku, karena aku mencintainya, dan itu satu kebanggaan dalam hidupku.”

“Jadi…”

“Jadi jangan paksa aku berhenti dari karir yang telah kurintis, bahkan sebelum aku mengenalmu!” sambarku secepat kilat, lalu bangkit dan melangkah meninggalkan Gade yang terbengong-bengong menatapku.

***

Seratus hari berlalu sudah. Gosip yang melanda keharmonisan rumah tanggaku pun mereda. Dua rencana yang dijalankan Gade semua berjalan mulus. Aku sendiri dengan terpaksa turut membohongi para kuli tinta yang mewawancarai kami dalam konferensi pers, meski lubuk hatiku yang terdalam merasa bahwa semua ini tak adil, karena Gade-lah menjadi pihak yang paling beruntung, sementara aku yang tak mengerti apa-apa turut menanggung dosa atas kebohongan ini.

Aku juga hampir tak pernah membahas lagi, semua yang telah terjadi antara suamiku dan Rininta. Aku hanya menganggap perempuan jalang itu pernah punya andil dalam kemelut rumah tanggaku, dan bagiku kini ia telah mati!

Hubunganku dengan Gade sejak peristiwa itu terus membeku. Aku selalu mati rasa, meski kami tinggal seatap.

Kini, di ujung malam ini, aku berdiri di ruang terbuka di puncak Hotel Shangri-La, tempat menginapku. Kutatap lampu yang berkelap-kelip di bawah sana, yang seakan tengah bercengkrama dengan gemintang yang bertaburan di langit. Rembulan sebesar tampah tampak indah menemani sisa malamku. Namun tetap saja rasa sunyi, sepi, kosong dan hampalah yang begitu menyesakkan dada, bahkan merasuk hingga ke sumsum tulangku di malam ini. Sukses konserku yang baru usai satu jam yang lalu, hanya sejenak saja mampu membunuh rasa kesepianku yang selama ini selalu setia menemaniku, sejak hubunganku dan Gade membeku.

“Rene…”

Aku tersentak, ketika kudengar suara Gade menyapaku, dan tiba-tiba dia sudah memeluk pinggangku dari belakang. “Aku merindukanmu. Kamu jangan membenciku terus, ya Rene?” bisiknya di telingaku.

Aku memberontak, tapi Gade tetap saja memeluk pinggangku, bahkan semakin erat. Jantungku berdegub begitu kencang. Sungguh aku tak tahu jika Gade menyusulku ke kota ini, malam ini.

“Apa yang mesti kuperbuat untuk menebus dosaku, Ren. Aku ingin kita bisa kembali seperti dulu.”

Aku hanya membisu, dan mematung.

“Aku teramat mencintaimu, Rene. Aku hanya manusia biasa yang bisa saja berbuat dosa, mengapa kamu belum juga bisa memaafkanku, sementara Tuhan Mahapengampun, Mahapemberi tobat pada semua umatnya?”

“Aku bukan Tuhan!” tegasku dingin, dan menyibakkan tangannya dari pinggangku.

“Dengar, aku sudah tak lagi dengan Rininta sejak pertengkaran kita dulu. Aku juga tak lagi bermain api dengan perempuan lain. Yang kumau hanya kamu, hanya kita bisa seperti dulu.” Ujarnya penuh pengharapan. “Aku memang sudah mengacaukan rumah tangga ini, Rene. Aku memang salah, tapi aku sudah bertobat, Rene. Tolonglah, aku butuh kamu, aku amat merindukanmu. Maafkan aku, jika aku terlalu mengatur kebebasanmu berkarir selama ini. Jujur, semua itu kulakukan karena aku takut kelak kamu akan lebih hebat dariku, Rene. Kini aku sadar, bahwa apa pun yang digariskan Tuhan untuk manusia, aku tak akan kuasa mengingkarinya, seperti jika Tuhan mau kamu menjadi penyanyi yang lebih hebat dariku kelak!”

Aku berbalik, mendelik tajam pada mata Gade yang menatapku memohon, dan tanpa banyak komentar kutampar bergantian kedua pipinya dengan telapak tangan kananku, lalu berlari pergi hendak kembali ke kamarku. Tetapi sial…..aku terjatuh karena kakiku tersandung blok beton yang tergeletak di situ, yang tak tampak oleh mataku!

“Rene…!” Gade berteriak dan berlari menolongku. “Kamu tidak apa-apa, Rene?”

Aku meringis kesakitan, merasakan nyeri di kaki kananku yang luar biasa.

Gade memeriksa kakiku yang tampaknya terkilir.

“Ini pasti sakit sekali, ayo kugendong kau ke kamar, Rene.”

Tanpa menunggu jawabanku, Gade membopongku meninggalkan puncak hotel ini.

“Berpeganglah pada leherku, Rene.”

Mau tak mau aku menuruti perintahnya, karena aku takut terjatuh lagi. Jantungku melompat-lompat, ketika kukalungkan lenganku pada lehernya. Aku menjadi sadar betul jika aku masih memiliki getar-getar cinta padanya, dan sesungguhnya aku pun teramat merindukan lelaki yang telah sepuluh tahun ini menjadi suamiku. Kutatap merah pipinya akibat tamparan kerasku tadi.

“Mana kunci kamarmu, Rene?” tanyanya ketika ia membaringkanku di depan pintu kamarku. Ah, rupanya dia tahu betul, kamar tempat di mana aku menginap di hotel ini.

Aku merogoh saku belakang celana jeanku, kuserahkan kunci pintu padanya tanpa berkomentar.

Tak lama pintu terbuka, aku hendak berdiri dan melangkah masuk sendiri, namun serta merta Gade membopongku lagi, lalu menaruhku hati-hati di pembaringan.

“Aku coba urut ya, pakai lotion seadanya saja.” Dia menggulung celana jeanku hingga sebatas dengkul, lalu meraih lotion dari meja rias.

Aku terpejam dan meringis menahan sakit, ketika Gade mengurut kaki kananku, namun di antara rasa kesakitanku, sesekali kucuri pandang wajah lelaki itu.

Tiga puluh menit kemudian, dia menyelimutiku.

“Aku pulang ke kamarku, ya Rene. Sebetulnya aku ingin di sini menemanimu, tapi aku tahu, aku terlalu kotor untuk bisa bersamamu lagi, setelah apa yang kulakukan padamu.” Gade tampak kuyu, tak berdaya. Inilah pertama kalinya kulihat Gade yang kukenal benar-benar berbeda dari Gade yang biasanya, -Gade yang otoriter dan penuh ketegasan.

“Kalau kau perlu aku, telpon saja. Aku akan datang. Selamat tidur, Rene!” pamitnya tanpa menyentuhku lagi.

Dia melangkah gontai menuju pintu kamarku. Aku menoleh menatap punggungnya yang membelakangiku. Entah mengapa, hatiku mendadak terenyuh.

“Gade…..”

Gade menoleh. Membalikkan badannya.

“Kamu memanggilku, Rene?”

Aku mengangguk.

Ada apa?” Ragu-ragu, ia kembali melangkah mendekati pembaringanku. “Apa lagi yang bisa kulakukan untukmu, Rene?”

Kulihat derita di matanya, namun sekelibat aku teringat peristiwa yang mencabik-cabik perkawinanku. Air mataku tumpah. Aku masih mencintainya, tapi aku begitu terluka dan sulit melupakan peristiwa pahit itu.

“Sudahlah Rene, jangan menangis. Aku tahu, apa yang pernah kulakukan padamu, tak akan pernah hilang sepanjang hidupmu. Tapi ketahuilah, sesungguhnya aku juga tersiksa melihatmu sedih sepanjang hidupmu, Rene. Kau kira hanya kamu yang terluka? Aku pun terluka melihatmu seperti ini, melihat kita yang menjadi semakin jauh meskipun dekat satu sama lain.” Ujarnya dengan nada sedih. “Kini, aku hanya bisa bersabar menantimu, hingga kamu bisa mencintaikuku lagi seperti dahulu.”

Gade meraih jemari tangan kananku, menciuminya penuh kasih, membuatku semakin tersedu. Lalu dengan lembut di hapusnya pipiku yang membasah dengan punggung tangannya.

“Sudahlah, sudah dini hari. Istirahatlah, Rene. Aku menunggumu di luar, ya!” Gade hendak berlalu, namun aku cepat menarik jemarinya.

“Jangan pergi, De…” Pintaku lirih.

“Sungguh?” Gade menoleh, menatapku tak percaya.

“Aku mau kau di sini.”

“Rene….” Gade menciumi keningku dan berbisik. “Aku bersumpah tak kan pernah membuatmu terluka lagi, Rene!”

Aku menarik napas dalam, memejamkan mataku. Dan kubiarkan bibir Gade melumat bibirku dengan penuh nafsu. Perlahan, aku pun menjadi bergairah membalas kecupannya yang semakin membara. Ah, pergilah luka, pergi jauh dariku, agar dapat lagi kurangkai kebahagiaan hidup bersama Gadeku, seperti dahulu.

SELESAI

(Cerita ini telah dimuat di Majalah Kartini “Edisi Khusus Hari Kartini”, 23 April 2009, dalam bonus Kumpulan Cerpen Kartini)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar